
Dokumentasi Pribadi
“Akhirnya muncul juga kau! Kukira sudah mati dilumat badai”. Kata syahbandar yang terlihat tak senang atas kedatanganku. “Iya Tuan, mungkin hari ini adalah hari keberuntunganku. Badai semalam memang ganas, tapi ia akhirnya menyerah padaku!” Balasku sombong. “Aku senang masih bisa sampai di bandar jorok milikmu ini, Tuan. Tapi aku sedih, aku masih harus melihat hidupmu yang menyedihkan ini”. Lanjutku dengan sinis.
“Keparat! Tak usah kau nampakkan wajahmu dihadapanku lagi. Aku tak sudi melihatnya! Yang kau anggap menyedihkan ini memang uzur, tapi asal kau tahu, aku lebih berani dari pada mulut besarmu! Aku memutuskan pensiun jadi pelaut karena sudah tak ada lagi samudra yang membuatku takut! Tolol!”. Balas syahbandar dengan sedikit meracau.
“Ah sudahlah Tuan, simpan dulu cerita yang sering kau ulang-ulang itu. Aku memang sial, setelah setahun aku tak lihat daratan, malah aku disuguhkan wajah kau yang jelek itu lengkap dengan bau anggur busuk yang akupun enggan meminumnya. Sekarang, berbelas kasihlah padaku, tunjukkan dimana aku bisa mendapatkan anggur terbaik yang rasanya sepuluh kali lipat dari anggur yang baru saja kau tenggak”. Kataku dengan nada yang mulai lelah.
“Ayo ikut aku, tapi kau harus bayar semua anggur yang aku minum. Bagaimana?” Minta syahbandar dengan culas. “Baik Tuan, minumlah sampai kau mati”. Balasku.
Lalu kami berdua beriringan menuju kedai anggur yang tak pernah menyajikan anggur yang enak. Dengan tawa, canda dan lupa. Kami bercerita tentang kengerian gulungan ombak ditengah malam. Begitulah pelaut, mereka anggap semua masalah hidup yang terjadi di daratan adalah lelucon.
-FA-