NASIB

Museum Fatahillah, Kota Tua Jakarta.
Dok. Pribadi

Diam, lapar, pasrah. Tak banyak yang bisa kulakukan. Apalagi ada rantai yang melingkari tangan dan kakiku. Sudah tiga bulan aku dibiarkan menggelandang diluar penjara dengan tangan dan kaki terbelenggu seperti ini. Karena penjara yang jadi tempatku sebelumnya sedang diperbaiki.

‘Stadhuis Van Batavia’, para kompeni sialan itu menyebut gedong di hadapanku ini demikian. Aku mendiami penjara dibawahnya sejak setahun lalu, tahun 1706 tepatnya. Salahku tak seberapa, hanya mencuri setangkai bunga dari halaman rumah milik noni Belanda. Dia tak terima dan segera mengadu pada seorang opas brengsek yang langsung menangkapku tanpa bertanya lagi duduk perkaranya. Padahal kalau dia tanya kenapa aku curi setangkai bunga indah itu, aku akan menjawab tanpa ragu, “bunga ini akan aku berikan pada Ramlah, gadis yang paling aku cintai, silahkan belenggu tangan dan kakiku, asalkan bunga ini tetap sampai ditangannya yang indah”.

Sekarang oleh Gubernur kompeni yang baru, gedong itu dibongkar. Aku lumayan senang. Karena penjara bawah tanah yang aku tempati itu hampir ambruk. Pengap dan gelap sekali di dalam. Setidaknya kalau sudah selesai dibangun ulang, bisa lebih manusiawi.

Rasa penasaranku akhirnya ku tumpahkan pada seorang opas yang saban hari mengawasiku dan orang hukuman lain di emperan kantor pos yang di jadikan penjara sementara ini. “Tuan Opas yang penuh kasih, bolehkah aku bertanya barang sedikit? Sudikah memberitahu kami jika kelak gedong itu telah selesai dibangun ulang, apakah penjara tempat kami bernaung akan lebih baik dari sebelumnya?” tanyaku dengan nada merendah serendah-rendahnya.

“Jangan banyak mimpi anjing kurap! Tak akan ada sinar matahari yang masuk ke dalam sel mu! Kau akan mati karena kolera atau sesak nafas! Silahkan kau pilih saja! Nikmati waktumu selagi gedong itu masih dibangun..” hardik sang opas brengsek itu.

Aku kembali diam. Sambil jauh memandang sebuah bangunan berlantai satu yang letaknya di belakang gedong yang sedang diperbaiki itu. Kata orang, bangunan itu juga dipakai untuk menahan orang hukuman. Namun bukan penjara yang pengap. Tiap hari sinar matahari diperbolehkan masuk. Tak ada kolera dan sesak nafas. Tapi orang hukuman disana harus membayar beberapa gulden pada kompeni sialan itu. Sejak saat itu, aku mengerti bahwa orang hukuman juga ada kelas-kelasnya. Dunia memang cilaka.

-FA

Tinggalkan Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s