PARADOKS

Warung makan ‘Nasi Kapau Bukit Tinggi Salingka Agam’, Kwitang, Senen, Jakarta. Dok. Pribadi

Setelah capek mencari buku lama di Kwitang untuk keperluan tugas akhir kuliah, gue mampir makan siang di warung Nasi Kapau Khas Bukittinggi yang lokasinya hanya tinggal menyebrang dari deretan kios toko buku langganan gue.

Gue mahasiswi jurusan Hukum semester akhir. Siang itu kebetulan gue ajak temen deket gue dari SMA, Orin namanya. Dia mahasiswi semester akhir jurusan Ekonomi, di kampus yang sama dengan gue, sebuah kampus swasta ternama di Jakarta.

Pesanan datang ke meja kami setelah gue pesan satu porsi nasi kapau lengkap dengan dendeng kering balado dan tunjang dengan kuah santan yang kental. Sedangkan Orin, dia pesan nasi kapau setengah porsi dengan hanya satu ayam bakar. Sambil menikmati nasi yang lezat itu, tiba-tiba Orin bahas sesuatu yang bikin gue sadar dan berupaya mikir pakai otak gue yang terbatas ini. Cuma mau kasih tahu aja, dari dulu Orin memang lebih pintar dari gue.

Kata dia, “lo tahu nggak? sebenarnya dunia lagi gak baik-baik aja”. “Maksud lo gimana Rin? Kok tiba-tiba ngomong gitu?” Kata gue penasaran.

“Kemarin gue baru baca artikel menarik, jadi ternyata sekarang orang-orang lagi mengalami “kekenyangan” massal!”, jelas Orin. “Hah? Gimana-gimana maksudnya?!”, tanya gue makin penasaran. Lalu dia melanjutkan dengan nada lebih semangat, “jadi asal lo tau ya, saat ini jumlah orang meninggal karena kelaparan di dunia itu sebelas orang tiap menitnya. Sedangkan yang meninggal akibat diabetes sudah dua belas orang per menitnya. Belum lagi ditambah kematian akibat penyakit degeneratif lain seperti hipertensi, stroke, gagal ginjal dan lain-lain”.

“Secara agregat dibanding peradaban zaman dulu, kondisi kita sekarang udah jauh lebih baik dalam konteks menyelesaikan masalah kemiskinan. Kesejahteraan itu terasa kok dibanding zaman dulu. Minimal cukuplah. Ini lumayan merata diseluruh dunia walaupun kesenjangan juga ada dan malah makin lebar kayaknya”. Lanjut Orin. “Tapi ternyata kita punya masalah baru, makin banyak makan, kita makin punya masalah kesehatan!”, kata Orin dengan nada penuh sesal. “Bener juga yang lo pikirin Rin, terus kita harus gimana menurut lo?”, tanya gue dengan berusaha susah payah ikut mikir kayak dia.

“Ya kita harus cari solusinya bareng-bareng. Gue banyak belajar di kuliah gue soal ini, ada yang meng-istilahkan “Paradoks Keberlimpahan”. Mulai banyak yang mikirin jalan keluarnya. Termasuk koneksi peran antara sektor ekonomi dan kesehatan. Tapi menurut gue sih harus mulai dari diri sendiri dulu, dengan cara sering-sering nahan nafsu makan misalnya”, lanjut Orin yang bikin gue langsung agak tersedak. Masalahnya ini tunjang kuah santan enak banget, sayang kalau gak gue sikat habis, tinggal dikit kok hehe.

Setelah nasi kapau di piring gue ludes. Gue tutup dengan minum Es Tebak. Dan Orin cuma minum air putih hangat yang disediakan gratis. Gue mikir jelek deh ke nih anak sekarang, dia lagi gak mau kenyang massal kayak yang tadi dia jelasin apa lagi irit ya? Ah, namanya juga anak ekonomi!

-FA

Tinggalkan Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s