WARKOP

Dok. Pribadi

Namaku Maman. Aku sudah 3 tahun di Jakarta. Mengadu nasib seperti orang kebanyakan. Aku datang dari sebuah desa di kaki gunung Ciremai. Sembawa, nama desaku itu. Desaku asri dan indah sekali. Walaupun sudah tak sedingin seperti ketika aku kecil dulu, namun angin yang datang dari gunung masih terasa segar.

Entah apa sebabnya udara di desaku itu tidak sesejuk dulu. Aku yang hanya tamatan SMP ini tak mengerti istilah ‘perubahan iklim’. Pak Kades yang pertama kali mengucap istilah itu, dalam pidatonya, Pak Kades bilang kalau dia dengar istilah itu dari Pak Camat. Ingin rasanya aku tanya Pak Camat, dari mana dia mendengar istilah ‘perubahan iklim’ itu?

Tapi belum kesampaian, karena aku keburu pergi ke Jakarta. Juragan yang mengajakku kerja, ternyata tak sabar. Aku harus segera membuka warung kopi atau warkop miliknya. Warkop itu hanya sekedar nama. Di dalamnya bukan hanya kopi, ada bubur kacang hijau lengkap dengan ketan hitam, ada indomie rebus berbagai rasa juga indomie goreng yang hanya satu rasa. Juga ada bermacam gorengan; tahu, tempe, bakwan dan pisang. Kadang, kalau waktuku cukup, aku juga menjual bubur ayam dan kupat tahu khas daerahku.

Warkop tempat kerjaku ini bukan warung kopi seperti tempat minum kopi yang sedang menjamur seperti sekarang. Bukan, bukan kafe yang banyak didatangi anak muda yang kalau datang kesana yang mereka beli malah bukan kopi, aneh. Anak-anak muda yang datang kesana, mereka biasanya membuka laptop, lalu ber-swafoto di latar dan objek yang menarik untuk dipajang di media sosial mereka. Atau ada juga yang duduk bersama, namun saling tidak bercengkerama. Masing-masing cuma sibuk dengan telepon pintarnya. Makin aneh, janjian untuk bertemu tapi malah bercengkerama dengan orang yang entah dimana.

Warkop tempatku kerja biasanya dihuni oleh pengangguran, tukang ojek, tukang parkir, tukang kredit. Paling canggih didatangi karyawan rendahan. Darimana aku tahu kalau mereka karyawan rendahan? Kicauan sesama mereka tak lain dan tak bukan hanya keluhan. Mereka punya atasan yang galak bukan kepalang, punya hutang ke sesama teman, kerjaan yang tak kelar-kelar dan lain-lain. Selama aku dengar, tak ada bagus-bagusnya tempat kerja mereka itu, isinya cuma keluhan. Lebih baik jadi barista gadungan seperti aku ini.

Namun memang warung kopi tempatku kerja memang tempat yang cocok untuk menumpahkan keluh kesah. Para pengangguran dan tukang-tukang itu pasti sudah tertekan di pekerjaannya, tertekan pula dirumahnya. Yang kutahu, bini-bini mereka seperti malaikat pencabut nyawa. Kurang setoran, kurang pelayanan. Mereka pulang bawa uang sedikit, hilang sudah jatah malam sampai pagi. Makanya lebih baik di warkop, mau kopi tinggal bilang, mau indomie tinggal minta dibuatkan. Boleh kas bon pula. Tinggal catat saja, akhir bulan aku tagih, jika tidak bayar, tak akan aku keluarkan lagi kopi bikinanku walaupun hanya setengah gelas. Biasanya mereka akan menyerah, mereka takut tak ada lagi yang berbuat manis dalam hidup mereka selain warkop ini.

Tahukah kawan? Mereka yang biasa duduk di warkop tempat aku kerja ini, kalau sudah bicara tentang politik, kalah pula itu pengamat yang ada di televisi. Begitupula kalau sudah bicara tentang sepak bola, bisa lebih seru dari pertandingannya! Semua bebas bicara, semua bebas berekspresi. Bahkan, ada yang berjudi. Dulu, pertama kali aku bekerja, sebagian dari mereka main togel, rasanya aku ikut bahagia melihat mereka menunggu kabar penuh harap kalau tebakan mereka bakal keluar. Kalau sekarang, selain judi bola, mereka ikut main slot. Ah, aku tak terlalu paham permainan judi model sekarang. Buatku selama mereka tak murung, aku sudah senang, artinya mereka punya harapan untuk bayar utang-utangnya padaku.

Si tukang ojek online, Boneng nama panggilannya. Aku tak tahu nama aslinya. Dahulu dia adalah seorang tukang ojek pangkalan. Sempat menolak masuknya ojek online. Sumpah serapah saban hari namun akhirnya dia menyerah. Menyerah pada teknologi. Makin dia bertahan di pangkalan, makin susah dia dapat penumpang. Boneng punya anak dua, bininya buka warung kecil di kontrakannya. Dan kelihatannya warung kecil itu sebentar lagi juga akan kalah.

Si tukang parkir, Doblang panggilannya. Aku juga kurang tahu nama aslinya. Dia jaga parkir sekitar warkop ini baru beberapa tahun belakangan. Tak jauh dari sini ada komplek pertokoan, dulu dia jaga parkir disana. Tapi setelah perusahaan parkir datang, dia akhirnya minggir. Dia sudah berusaha minta ikut dipekerjakan, tapi dia kalah saing dengan preman kampung belakang komplek pertokoan tersebut. Yang menurutku hebat dan aku angkat hormat buat Doblang, dia punya dua bini. Keduanya tinggal di kontrakan yang bersebelahan dan masing-masing punya anak dari Doblang.

Si tukang kredit punya nama Dedet. Lagi-lagi aku tak tahu persis nama aslinya. Dia yang secara ekonomi lebih kelihatan beruntung sedikit dari kedua orang tadi. Dulu dia keliling bawa barang perabotan rumah sambil dipikul, agar bisa di kredit oleh ibu-ibu kampung. Sekarang sudah dua bulan ini dia keliling sudah menggunakan mobil bak terbuka. Mobil itu dia kredit ke salah satu perusahaan leasing. Tukang kredit ambil kredit di perusahaan kredit. Dan diantara semuanya tadi, Dedet yang paling mengerti tentang cara kerja uang; bunga-berbunga.

****

Suatu malam, ketika Doblang mulai menarik bayaran terakhir dari motor yang parkir depan warkop, Boneng datang setelah seharian bekerja antar orang, makanan dan barang. Wajahnya terlihat lelah sekali, ditangannya ada bungkusan warna hitam yang masih rapih dan rapat. Dia duduk dan langsung memanggilku yang saat itu masih di dalam bilik warkop tempatku istirahat.

“Man, kopi satu biasa Man”, minta Boneng.

“Siap!, capek bener kayaknya?”.

“Iya, gue kayaknya tadi apes. Ada orang minta gue anterin barang ke satu alamat rumah, tapi alamat rumahnya ternyata gak ada. Pas gue balik lagi, ke rumah itu yang punya barang, orangnya udah gak ada. Trus gue tanya tetangga deket situ, katanya gak ada orang yang tinggal disitu dengan ciri-ciri yang gue sebutkan.. kan aneh Man”, sambung Boneng.

“Bungkusan apa, Neng?”, tanya Doblang yang tiba-tiba muncul di pintu warkop.

“Gak tahu gue Blang..kalau sampe besok gak ada yang nyari, ya gue buang aja deh”, jawab Boneng.

“Gak lo buka aja, Neng? Kali aja isinya duit hehe”, kata Doblang iseng.

Boneng mengangguk mendengar usulan Doblang. Sambil tersenyum kecil, dia mulai menyeruput segelas kopi susu yang aku bikin. Setelah itu dia keluarkan sebatang rokok dari bungkusnya lalu ia bakar. Melihat Boneng merokok, Doblang ikutan dengan sebelumnya meminta sebatang pada Boneng.

“Hari ini rame yang parkir, Blang?”, tanya Boneng.

“Ya.. lumayanlah.. tapi gak kayak biasanya Neng … tanya aja tuh si Maman, hari ini kayaknya dia lebih sering nonton siaran ulang bola di youtube daripada nyeduh kopi sama indomie”, jawab Doblang sambil melihat kearahku.

“Iya gak terlalu rame kayak biasanya, tuh gorengan masih banyak yang sisa”, jawabku.

Malam itu berakhir seperti itu saja, Boneng pulang ke bininya. Begitupula Doblang, tapi aku tak tahu dia pulang ke bininya yang mana. Terserah dia saja, aku tak peduli. Aku sendiri, kembali ke dalam bilik di dalam warkop. Oh iya, aku lupa ceritakan diawal kalau warkop tempat kerjaku ini biasanya buka 24 jam. Karena aku tidur, makan, mandi, buang air disini. Jadi kapanpun pelanggan datang, akan aku layani. Kecuali jika aku enggan dan ingin sendiri saja. Seperti malam itu.

Esok paginya, Boneng datang lagi. Doblang yang sudah datang lebih pagi menyapanya. Dan bertanya tentang nasib bungkusan paket yang tak jelas pemiliknya. Boneng menggeleng mulai sedikit bingung. Bungkusan yang masih ditangannya itu sebenernya tak ingin jadi mengganggu pikiran dan waktunya. Tapi Boneng mulai penasaran apa isinya.

“Jangan-jangan benar apa yang dibilang Doblang, isinya duit”, gumam Boneng.

“Udahlah Neng, lo buka aja deh. Kalau isinya berharga, jangan lupa bagi gue! Hehe”, kata Doblang semangat.

Mereka berdua memintaku dibuatkan masing-masing segelas kopi hitam dengan sedikit gula. Sambil tersenyum ceria seolah tak sabar untuk mengetahui apa isi bungkusan itu. Segera aku buatkan kopi yang mereka pesan, dari balik meja warkop yang dibatasi oleh kompor-kompor yang diatasnya ada berbagai macam bubur, aku melihat kedua tangan Boneng saling mengusap, lalu mulai membuka bungkus paket itu dengan hati-hati. Disampingnya, Doblang setia melihat satu demi satu proses ‘unboxing’ bungkusan misterius itu.

Sebelum Boneng membuka lapisan terakhir dari bungkusan misterius itu, dari pintu warkop terdengar suara Dedet yang baru datang. Tiap pagi dia memang biasa datang untuk sarapan bubur sebelum dia keliling menawarkan perabot dengan sistem kredit.

“Kenapa lo berdua? Seneng banget kelihatannya? Bungkusan apa tuh, Neng?”, tanya Dedet.

“Boneng dapet bungkusan misterius”, kataku bantu menjawab. Karena Boneng dan Doblang kelihatan fokus enggan diganggu.

Setelah membuka bungkusan itu, bersamaan dengan kopi hitam panas yang baru saja aku suguhkan. Betapa terkejutnya Boneng, ternyata isi bungkusan itu ada selembar amplop yang tidak terlalu besar. Di dalamnya ada sebuah kertas yang tertera nama Bank, nomer seri, tanda tangan dan tertulis nominal angka dan huruf seratus juta rupiah!

“Isinya ternyata cek, Neng!… bener kan kata gue! Ini duit neng! Lo jadi orang kaya sekarang!”, kata Doblang terus semangat.

“Gu..gue.. beneran Blang, jadi orang kaya? “, tanya Boneng sambil mulai berair matanya, bingung antara senang dan masih tak percaya.

“Itu bungkusan memang gak ada yang punya? Hati-hati lho nanti yang punya nyariin. Zaman sekarang mana ada orang lupa sama duit segede itu.. lagi pula itu cek, lo harus cairin dulu itu ke bank.. iya kalau ada isinya, kalau kosong?”, kata Dedet dengan nada yang agak skeptis.

Semua diam.

“Ya gue cuma ngasih tau aja, terserah lo Neng”, lanjut Dedet.

Semua lanjut diam. Dedet pergi, tak jadi pesan bubur. Kita semua tak mengerti bagaimana menilai Dedet dari perkataannya tadi.

“Dedet kayaknya iri banget sama lo Neng.. gak pengen ngelihat lo seneng dapet duit gede hehehe”, kata Doblang.

“Ah, bodo amat, sekarang gue mau ke bank, mau tanya soal cek ini, bener apa engga, semoga aja bener”, ucap Boneng sambil bangkit berdiri dan segera meraih motornya.

“Gue ikut Neng!”.

Doblang langsung melompat duduk di jok belakang motor milik Boneng yang masih tersisa cicilan 3 bulan lagi.

Aku melambaikan tangan pada mereka yang tengah asyik masyuk itu. Berharap mereka benar-benar dapat uang itu. Harapanku hanya satu; mereka membayar lunas semua deretan angka kas bon yang mulai panjang di dalam buku catatanku.

Tapi ternyata harapanku terlalu tinggi.

****

Dua bulan berlalu setelah lambaian tanganku pada Boneng dan Doblang. Selama itu aku tak pernah lagi melihat batang hidung mereka. Aku tak tahu kelanjutan cerita soal cek 100 juta itu. Apakah bisa dicairkan atau malah ada pemiliknya yang datang mengambil cek itu. Aku benar-benar tidak tahu. Dan selama dua bulan itu, aku bekerja seperti biasa, melayani pelanggan warkop yang makin ramai.

Tugas Doblang sebagai tukang parkir, digantikan oleh Udin. Entah datang darimana manusia satu itu. Setelah tiga hari Doblang tak nampak wujudnya, tiba-tiba Udin datang dengan tubuh penuh tato yang terlihat hampir diseluruh tangan dan lehernya. Kulihat hanya wajahnya saja yang tak kena tato. Dia mengaku utusan Bang Qodir, ketua ranting ormas yang poskonya tak jauh dari warkop. Tapi kulihat udin lebih rajin bekerja daripada Doblang. Dan walaupun fisiknya menakutkan, dia ternyata lebih ramah kepada orang-orang yang menitipkan motor atau mobilnya disini.

“Terimakasih Bang… semoga cepat balik lagi kesini…”, sapa Udin tiap kali habis terima recehan dari pelanggan yang parkir.

Aku pikir ramainya warkop akhir-akhir ini ada peran si Udin juga. Sudah begitu, si Udin jarang sekali kas bon. Jika dia mau dibuatkan kopi hari itu, malamnya setelah tutup parkir dia akan pamit sambil menanyakan padaku berapa harga kopi yang dia minum hari itu, lalu dengan segera membayarnya lunas. Memang luar biasa si Udin ini, beda seratus delapan puluh derajat dengan si Doblang. Payah.

Suatu sore, sayup-sayup aku dengar keributan di depan warkop. Aku menghampiri sumber keributan itu, berjalan kedepan warkop dan terbelalak melihat Udin sedang adu mulut dengan Doblang. Ya, Doblang! Tampak baru bangkit dari kuburnya.

“Lapak parkir ini punya gue! Sekarang lu pergi dari sini! Kalau macem-macem gue abisin lo!”, ancam Doblang dengan nada penuh emosi.

“Lo siapa Bang? Gue pertama kali datang ke lapak ini kosong gak ada yang jaga! Lo jangan ngaku-ngaku deh! Gue disuruh Bang Qodir.. lo tanya sendiri sama dia!”, balas Udin dengan nada yang sama.

Beberapa orang hanya melihat adu mulut itu sambil kelihatan bersiap-siap jika berubah jadi adu fisik. Tanpa menunggu jotosan pertama yang entah bakal datang dari siapa, aku mulai menengahi mereka.

“Sudah Bang Doblang… Udin… gak usah ribut disini… kita omongin baik-baik di dalam yuk…”, kataku menenangkan.

Mereka setuju dan mulai meredam emosi. Bukan apa-apa, kalau sampai terjadi perkelahian yang tak terkendali, aku khawatir kesan buruk akan menimpa warkop tempat kerjaku ini. Karena dua bulan ini, imaji warkop ini mulai berubah, mulai banyak ibu-ibu atau perempuan muda yang mulai datang untuk sekedar membeli bubur kacang hijau atau indomie yang aku tambahkan kornet dan keju seperti menu kekinian yang disediakan di kafe.

Setelah mereka masuk ke dalam, aku menawarkan kopi pada mereka berdua. Hanya Doblang yang mengiyakan. Udin hanya bilang terima kasih, memang dia enggan minum kopi sore-sore.

Sambil menyeduh kopi, aku ceritakan dengan sejelas-jelasnya, duduk perkara sejak Doblang terakhir kali terlihat di warkop ini sampai beberapa saat lalu dia datang dengan mulut penuh ceracau. Aku minta dia tidak menyalahkan Udin yang mulai tersenyum tenang, dalam benaknya seperti menemukan kemenangan.

Mendengar ceritaku, Doblang hanya terdiam. Setelah aku tutup ceritaku tadi dengan meminta dia jelaskan kemana dia selama ini. Aku pun menanyakan kabar si Boneng juga.

Setelah Doblang terdiam agak lama, kopi yang kusuguhkan juga tinggal setengah gelas, akhirnya dia bicara. Tapi sebelumnya dia minta Udin untuk keluar. Dan Udin justru senang, dia merasa cerita Doblang bukan urusannya sehingga dia tak mau tahu. Lebih baik dia kembali menjaga parkir.

“Gue bangkrut Man. Si Boneng juga. Cek itu beneran cair. Siang itu gue berdua bener-bener seneng bukan main. Baru pertama kali gue lihat duit segitu banyak. Boneng bilang bakal kasih gue bagian tapi gak terlalu banyak. Karena dia musti bayar utang sana-sini; kontrakan 3 bulan, lunasin cicilan motor, bayar utang kas bon ke lo”, ucap Doblang lirih.

“Tapi waktu itu, gue kayak gak terima kalau gue cuma dapet bagian sedikit. Gue maunya belah dua dong. Kan, kalau bukan gue yang kasih tahu dia untuk buka aja itu bungkusan, mungkin si Boneng udah nyariin pemiliknya sampe ketemu, atau malah dia lapor polisi kalau dia udah nemu bungkusan yang gak jelas siapa yang punya… kan itu anak kadang bloon Man”, lanjut Doblang merasa berjasa besar.

Aku diam mendengarkan cerita Doblang. Sambil bertanya, siapa yang bodoh sebenarnya? Boneng? Doblang? Atau malah diriku sendiri.

“Akhirnya gue usul ke dia Man, kalau duit 100 juta itu kita puter aja dulu. Biar tambah banyak! Dia awalnya gak mau, tapi gue bujuk berkali-kali, lama-lama mau juga!”, sambung Doblang.

“Trus kalian puter dimana itu duit, Bang?”, tanyaku penasaran.

“Judi! Hehehe”.

Setelah itu aku mulai enggan mendengarkan Doblang bercerita. Karena setelah dia ungkap soal judi, kisah berikutnya hanya kesengsaraan yang tak putus. Walaupun sebelum mereka kalah judi, mereka mengalami kemenangan beberapa kali. Tapi setelah itu buyar. Amblas sudah semua uang yang mereka dapat secara tidak sengaja itu.

Sekarang Doblang bingung harus bagaimana dan melakukan pekerjaan apa. Istrinya sudah minggat satu, yang satu lagi juga sudah bersiap-siap pulang ke rumah orang tuanya. Sedangkan Boneng tidak beda kondisinya; motornya ditarik leasing karena 2 bulan sudah tidak membayar cicilan, dia juga sudah diusir dari kontrakannya. Yang tersisa dari kedua orang itu hanya kas bon yang masih menumpuk di warkop tempat kerjaku ini.

Setelah Doblang pergi entah kemana, Dedet datang setelah dia seharian keliling menjajakan perabotan menggunakan mobil baknya. Dia memesan es teh manis dan seporsi indomie goreng. Sambil Dedet menikmati makanannya itu, aku sengaja ceritakan ulang padanya kisah Boneng dan Doblang, dua temannya yang biasa duduk penuh keakraban di warkop ini.

Dia tertawa lega sambil terbahak-terbahak, merasa apa yang dia sampaikan dua bulan lalu ternyata ada benarnya.

“Man, tabiat rezeki tuh harus diupayakan. Kalau tiba-tiba kita dapet rejeki nomplok, kayak duren jatoh, justru kita harus hati-hati, Man. Cepat atau lambat, pemiliknya yang asli pasti ambil lagi. Gue yakin itu. Makanya, gue mending begini aja deh, sabar-sabarin. Lama-lama juga gue punya supermarket perabot! ya kan?”, ucap Dedet penuh keyakinan.

Beberapa saat kemudian, datang seorang tukang ojek online, wajahnya terlihat lelah sekali. Sambil membuka jaketnya, dia pesan satu gelas kopi hitam dengan sedikit gula. Setelah kopi itu aku suguhkan, dia mengeluarkan bungkusan hitam dari saku jaketnya. Bungkusan itu agak kecil namun terbungkus rapih dan rapat. Lalu dia berkata;

“Aneh nih Bang, ini bungkusan udah saya anter tapi ternyata alamatnya gak jelas, waktu saya mau balikin, orangnya udah gak ada dirumahnya. Trus saya tanya ke tetangganya, katanya gak ada orang yang tinggal dirumah itu kayak ciri-ciri orang yang saya jelasin.. kan saya jadi bingung.. ini bungkusan mau diapain?”

“Buka aja Bang! Siapa tahu isinya duit! Yang udah-udah begitu soalnya.. kemarin temen saya dapet duit! Mau saya anter ke bank untuk cairin cek? Ayo!”, kata Dedet.

Aku diam.

SELESAI

Tinggalkan Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s