
‘Reinventing Government’ memang bukan ide baru. David Osborne dan Ted Gaebler selesai menulisnya tahun 1992. Ide tersebut mulai dibicarakan secara serius di Indonesia, setelah krisis ekonomi 97 dan perubahan politik 98. Gagasan ‘mewirausahakan birokrasi’ itu menemukan titik relevansinya setelah 32 tahun birokrasi kita ditempatkan secara struktural ke dalam politik kekuasaan.
Kalangan wirausaha (sektor privat), selalu kental dengan 3 hal mendasar; inovasi, efektifitas dan efisiensi. Ketiga hal itu yang coba ditransformasikan kedalam semangat baru birokrasi. Segala upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan pasca reformasi mengarah pada gagasan itu. Apakah sudah terwujud? Jawaban yang paling sahih adalah hari-hari yang kita rasakan sebagai warga negara, apakah negara bagian dari solusi kehidupan kita atau tidak?
Saya sendiri berpandangan, saat ini dimana globalisasi mendapatkan tantangan serius dari kemajuan teknologi, negara dan perangkat birokrasinya harus beradaptasi secepat mungkin. Semua perubahan ini akan memperkuat manusia bukan negara. Karena itu dimasa depan, negara dengan birokrasi sekecil mungkin yang akan survive. Peran-perannya akan tersubtitusi oleh teknologi yang diciptakan oleh pasar.
Kalau mau bertahan, fokus saja pada pelayanan, bukan administrasi yang miskin inovasi dan inefisiensi. Namun, sektor pelayanan pun akan efektif jika menggunakan semangat wirausaha tadi. Dulu saya sempat mendorong sebuah ide untuk membangun ‘super holding’ BUMD di Kota Bekasi yang targetnya melayani semua kebutuhan masyarakat dari mulai, air, gas, sampah, pelayanan keuangan dst ke dalam satu badan usaha milik pemerintah. Kenapa harus badan usaha? Karena mindset-nya harus bergeser; dari ‘cost center’ menjadi ‘profit center’.
Pagi tadi, kami semua direksi BUMD menyepakati integrasi pengelolaan kas pada satu Bank milik Pemerintah Kota. Hal itu memang baru langkah kecil namun kalau terus diseriusi akan memiliki impact yang besar. Semoga tidak berhenti sampai disini.
-FA