
Tak pernah kulewati satu rintik hujan tanpa mengingatmu. Wajahmu jatuh ke dalam kepalaku pada tiap tetes hujan itu. Makin deras, makin tenggelam. Tapi hujan bukanlah kamu, karena pada tiap perginya, kamu tetap di sini.
Hujan selalu saja membawa kerancuan. Antara manis dan pahit bercampur aduk dalam ingatan. Selalu menjadi penjeda disaat terik melalaikan pada hal-hal biasa. Suasana magis yang membawaku pada dunia yang tak semestinya.
Dingin kadang menipiskan udara. Mengeringkan yang lembab. Menyeruak kesegaran yang dihirup masuk ke dalam rongga nafas. Tenang, damai, pejam. Sampai kemudian dihentikan oleh kehangatan.
Manusia selalu membingungkan. Dalam dingin mencari panas. Pada panas mencari dingin. Sejuk dan hangat sengaja diciptakan sebagai kompromi. Oleh fiksi yang lahir sebagai reaksi alami.
Aku tak ingin memenuhi kepalaku ini dengan harapan. Karena hujan terus saja mengalirkan keutuhan rupamu yang tak kuasa kuhalang. Berhentilah, setelah deras ini. Jangan sampai keberkatan ini menjadi derita.
Karena ironi itu selalu indah pada mulanya kemudian sengsara di ujungnya. Kebahagiaan yang meletup-letup seperti hujan deras yang menyebabkan banjir bandang; membawa kekelaman bagi sebagian orang.
Hujan yang berangsur pelan. Menyibak aroma kering dan basah. Menyelesaikan tugasnya membawa belas kasih. Sejuk dan hangat menyertaiku memanggil pelangi. Seperti membawaku untuk berhenti berharap keutuhan dirimu.
-FA