
Oleh: Fikri Aziz*
Teori Strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam “The Consitution of Society” (1984), ternyata masih relevan untuk kita jadikan sebagai pisau analisis dalam memotret dinamika politik lokal. Giddens mengajukan kerangka pikir tentang pelaku (agency) dan struktur di tengah masyarakat, dimana diantara keduanya terdapat relasi dualitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pelaku didefinisikan sebagai aktor atau elit politik sedangkan struktur adalah sejumlah aturan (rules) dan sumber daya (resources). Dalam relasi yang saling mempengaruhi tersebut acapkali terjadi pasang surut, elit politik sebagai pelaku dapat mengalami pembatasan (constraining) atau pemberdayaan (enabling) oleh struktur. Dari proses pasang surut tersebut, akan lahir satu diantara dua kesadaran yaitu kesadaran praktis (practical consiousness) dan atau kesadaran diskursif (discursive consiousness).
Kesadaran praktis adalah ketika struktur dapat memenjarakan atau membatasi elit dengan cara memaksa melakukan rutinitas tindakan. Sedangkan kesadaran diskursif adalah ketika elit dapat merubah struktur melalui praktik sosial baru dengan cara melakukan de-rutinisasi tindakan. Kesadaran praktis biasanya hidup dengan leluasa dalam praktik sistem otoriter. Dan sebaliknya, kesadaran diskursif seharusnya dapat tumbuh dalam sistem demokrasi. Diantara dua jenis kesadaran yang harus dimiliki oleh elit politik ini, kesadaran diskursif adalah yang paling relevan dengan dinamika masyarakat lokal yang terhubung secara intens dengan isu-isu nasional, regional dan global. Pertanyaannya, apakah kesadaran diskursif benar-benar hadir dalam dinamika politik lokal setelah genap seperempat abad kita berada pada suasana demokratis? Atau yang terjadi malah jauh panggang dari api, para elit politik lokal telah tunduk pada rutinitas sejumlah aturan dan menyerah pada dinamika (kelimpahan atau kelangkaan) sumber daya.
Hilangnya kesadaran diskursif elit dalam sistem politik lokal yang demokratis adalah anomali yang lahir dari dua kontradiksi: Pertama, kurangnya kaum intelektual (cendekia) yang bertransformasi menjadi elit politik lokal. Sehingga dialektika politik lokal hanya diisi seputar otot dan perut. Tidak ada otak apalagi akal. Padahal untuk mendapatkan kesadaran diskursif yang memadai hingga sampai pada perubahan struktur melalui praktik sosial baru memerlukan nalar yang hidup. Seringkali imajinasi elit tidak menjelma menjadi imajinasi publik. Seperti ada jarak yang notabene disebabkan oleh kecenderungan sebagian besar elit politik lokal yang enggan percaya pada pikirannya sendiri dan lebih bergantung pada populisme; mereka berusaha menemukan persamaan-perasamaan dengan mayoritas publik tanpa perlu bersusah payah berproses pada warna perjuangan politik tertentu dan juga malas berupaya mencari intisari dari nilai dasar masyarakat yang akan dipimpinnya. Penyakit populisme itu yang kemudian membuat elit politik memfokuskan kerja-kerja politiknya pada pencitraan. Setelah mereka berkuasa, mereka akan lebih sensitif terhadap citra sehingga akan mudah terusik pada kritik. Praktik sosial baru yang ingin diwujudkan akan semakin jauh dari kenyataan karena ruang partisipasi publik akan dihalangi demi tetap populis. Oleh sebab itu, pencitraan elit yang berlebihan adalah jalan buntu bagi partisipasi publik. Nalar publik dikuasai oleh politisi salon yang mendadak mengenakan kopiah dan kerudung. Pertukaran ide dan gagasan sebagai inti demokrasi akhirnya tidak terjadi.
Kedua, sistem pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan kapasitas mobilisasi yang sudah barang tentu membutuhkan sumber daya yang besar. Hingga pada praktiknya, mobilisasi dalam kampanye politik dewasa ini lebih menitik beratkan pada besar kecilnya biaya, bukan ide dan gagasan. Persoalan bukan terletak pada diksi pemilihan langsung —upaya koreksi terhadap pemilihan langsung adalah suatu sikap dan tindakan ahistoris yang juga kontradiktif terhadap perkembangan dunia yang semakin partisipatif—, namun akar masalahnya terletak pada mekanisme pembiayaan politik. Dalam sistem demokrasi yang ideal, sumber daya harus mengikuti ide. Penegasan ide dari warna perjuangan politik tertentu akan memunculkan keberpihakan atau minimal simpati dari sebagian publik khususnya kalangan pemilik modal. Tinggal bagaimana sistem membuat mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel, bukan pembatasan-pembatasan yang malah kemudian mudah untuk diakali oleh uang-uang gelap yang tidak diketahui oleh publik. Misalnya, dalam konteks politik lokal, jika ada partai politik atau calon kepala daerah yang memiliki gagasan meningkatkan transportasi publik yang memadai dan terintegrasi lalu kemudian gagasan itu memunculkan simpati dan keberpihakan sebagian warga dan kalangan pemilik modal untuk mendukung kampanye partai politik atau calon kepala daerah tersebut, sebaiknya dibuka ruang partisipasi donasi dan tak perlu dibatasi, namun partai politik atau calon kepala daerah tersebut harus melaporkan penerimaan dan penggunaan donasi tersebut kepada publik secara transparan dan periodik melalui BPK dan KPK. Dengan mekanisme pembiayaan saat ini, yang terjadi malah sebaliknya; ide dan gagasan yang ditawarkan kepada publik sebagian besarnya mengikuti sumber daya. Disitulah sesungguhnya fase pertama tindak pidana korupsi terjadi. Kendati tidak mungkin pembatasan pembiayaan itu dihilangkan maka lebih baik dilarang sama sekali untuk menerima donasi agar kemudian semua pembiayaan partai politik diambil alih oleh anggaran negara secara proporsional. Karena pada akhirnya ujung dari semua opsi tersebut adalah mekanisme pertanggung jawaban yang benar; apakah publik secara keseluruhan atau hanya segelintir kalangan (konstituen) yang dapat menagih realisasi janji elit politik.
Dari fenomena anomali diatas, sesungguhnya yang terjadi adalah kemunduran demokrasi secara struktural. Yang hasilnya adalah penciptaan pola relasi antara elit dengan publik seperti pola relasi antara pelaku dengan korban. Merujuk pada istilah yang diajukan oleh Jeffrey Winters ketika menelaah tentang demokrasi Indonesia pasca reformasi sebagai ‘demokrasi kriminal’. Penyebabnya sejauh ini karena proses kelahiran elit politik lokal lebih banyak didukung berdasarkan status, posisi resmi, kapasitas mobilisasi dan kekerasan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah konsolidasi oligarki yang menguasai struktur (aturan dan sumber daya). Dan kalau kita harus menunjuk hidung pihak yang bertanggung jawab dalam melahirkan kondisi demikian adalah pihak yang selama ini menjadi tempat bagi kelahiran elit-elit politik. Dan pihak tersebut tidak lain adalah partai politik.
Partai politik adalah aksioma di dalam demokrasi. Bahkan di negara otokrasi, partai politik tetap ada walaupun hanya terdapat satu partai politik. Salah satu fungsi terpenting partai politik adalah melakukan rekrutmen bagi calon-calon pemimpin di wilayah dimana tempat partai politik itu berada. Ibarat sebuah pabrik yang sedang mencari bahan baku terbaik untuk menghasilkan produk terbaik. Tugas sejarah partai politik bukan hanya memenangkan pemilu namun atas kemenangan itu pemimpin yang dilahirkan oleh partai politik harus mewujudkan kesejahteraan bersama. Kendatipun harus menyesuaikan dengan sistem yang masih belum ideal, tugas sejarah itu tetap mengikat. Pasalnya, jika sistem mengharuskan kemenangan harus melalui cara-cara yang jauh dari nilai demokrasi, tugas partai politik adalah membuat semacam keseimbangan sistem bukan malah larut pada cara-cara tersebut. Karena efek dari kerusakan partai politik akan dirasakan publik secara masif dan struktural. Misalnya kembali pada tema tentang tuntutan bagi partai politik dalam konteks lokal untuk menguatkan kapasitas mobilisasi, dimana hal tersebut seharusnya tidak serta merta dimaknai sebagai upaya untuk merekrut dan menempatkan calon-calon pemimpin yang hanya memiliki uang. Harus konsisten menerapkan mekanisme di dalam internal partai politik melalui sistem kaderisasi yang berkelanjutan yang di dalamnya terdapat internalisasi ide dan gagasan. Karena politik adalah ikhtiar mulia untuk menyelesaikan persoalan bersama melalui jalan pikiran. Politik akan bergeser jadi barang dagangan jika terjadi proses komodifikasi yang dipimpin oleh pedagang bukan oleh pemikir.
Mungkin cara berpikir itu dianggap terlalu ideal. Namun seandainya saja kita mempersepsikan sumber daya sebagai suatu alat bukan tujuan, maka sumber daya hanya akan menjadi aksioma; harus ada tetapi bukan untuk itu kita mengusahakannya. Sehingga cara pandang kita terhadap uang, logistik, biaya kampanye dan sejenisnya akan proporsional. Karena tidak semua hal di dalam politik bisa dimenangkan dengan menggunakan uang. Rakyat yang akan diwakili oleh calon-calon pemimpin itu juga memiliki akal. Tempatkanlah akal rakyat itu pada posisi yang agung, ajaklah mereka berdialog, bertukar pikiran, sampaikan kepada mereka isi kepala bukan menebar recehan. Karena semua yang diawali dengan hingar bingar pesta akan ada masanya. Tak ada sumber daya yang tidak memiliki batas. Jangan sampai batas itu adalah rasa muak rakyat yang memuncak sehingga mengkristal menjadi perlawanan yang tak terbendung. Partai politik harus menyadari hal semacam ini agar kembali pada tugas sejarah untuk merekrut orang-orang terbaik khususnya dari kalangan cendekia.
Regenerasi calon-calon pemimpin di tubuh partai politik adalah kebutuhan agar terjadi sirkulasi elit di tingkat lokal. Orientasi rekrutmen sebisa mungkin mengedepankan ide dan gagasan. Karena partai politik adalah tempat bertemunya pikiran untuk nantinya dirumuskan secara formal menjadi kebijakan publik. Maka dari itu sangat disayangkan jika ada kebijakan publik yang dicemooh bukan karena kebijakan publik itu kontroversial —karena kontroversi itu hasil dari perbedaan pendapat—, namun karena tidak ada pendapat atau pikiran yang menjadikannya kontroversial maka yang tersisa hanya cemooh publik.
Apa yang bisa publik harapkan dari kebijakan publik yang dihasilkan oleh pimpinan partai politik yang sama dengan pimpinan partai politik 5 bahkan 10 tahun lalu? Dengan wakil rakyat yang sama dengan 2 atau bahkan 3 periode yang lalu? Tak ada yang tersisa selain pembangunan yang stagnan. Namun kemudian untuk menciptakan sirkulasi elit agar terjadi pembaharuan kebijakan publik, partai politik malah menutup pintu pada mereka yang memiliki gagasan dan integritas. Partai politik hanya memberi tempat terhormat bagi mereka yang memiliki uang atau mempersilahkan kedudukan yang layak bagi anak-anak pejabat partai yang notabene —maaf— tidak memiliki kapasitas pemikiran dan keberpihakan dalam ranah kebijakan publik. Jadi, wajar jika oligarki tercipta karena partai politik sengaja memfasilitasinya.
Kendati kita menemukan kerusakan struktural di tubuh partai politik, namun secara adil kita juga harus memberikan kritik pada kalangan inteligensia atau para cendekiawan, kaum cerdik pandai. Mereka yang memiliki intelektualitas diatas rata-rata orang kebanyakan seringkali menyerah terhadap fenomena sosial. Ali Syari’ati menyebut mereka sebagai ‘intelektual candu’; kelompok pemikir yang tidak tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktek, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Pada era ini sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengimani jargon “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,” karena ancaman terhadap manusia saat ini adalah ancaman eksistensial. Bukan lagi persinggungan antara kelas borjuasi dan kelas proletar. Politik kita harus dipenuhi oleh narasi kemajuan tentang eksistensi manusia ketika terjadi interseksi dengan kecerdasan buatan. Politik kita harus diisi dengan perbincangan mengenai upaya memperlambat kerusakan iklim. Bukan tanpa sebab kritik ini diajukan, karena faktanya kaum intelektual saat ini banyak yang masih tertinggal jauh dari jenis narasi kemajuan semacam itu.
Kedepan kita berharap hubungan antara partai politik dengan kaum intelektual seperti hubungan antara gelas dan air. Keduanya saling mengisi dan memanfaatkan. Sehingga memiliki dampak pemberdayaan yang signifikan, bukan relasi yang saling membatasi. Hingga selanjutnya terjadi sirkulasi elit yang sehat. Karena ketegangan antara partai politik dan kaum cerdik pandai membuat sirkulasi elit menjadi tersumbat. Sikap menyerah dari kaum intelektual membuat politik kita semakin disesaki oleh dagangan bukan pikiran.
*Founder Komunitas Langit Biru