SIRKULASI ELIT POLITIK LOKAL

Oleh: Fikri Aziz*

Teori Strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam “The Consitution of Society” (1984), ternyata masih relevan untuk kita jadikan sebagai pisau analisis dalam memotret dinamika politik lokal. Giddens mengajukan kerangka pikir tentang pelaku (agency) dan struktur di tengah masyarakat, dimana diantara keduanya terdapat relasi dualitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pelaku didefinisikan sebagai aktor atau elit politik sedangkan struktur adalah sejumlah aturan (rules) dan sumber daya (resources). Dalam relasi yang saling mempengaruhi tersebut acapkali terjadi pasang surut, elit politik sebagai pelaku dapat mengalami pembatasan (constraining) atau pemberdayaan (enabling) oleh struktur. Dari proses pasang surut tersebut, akan lahir satu diantara dua kesadaran yaitu kesadaran praktis (practical consiousness) dan atau kesadaran diskursif (discursive consiousness).

Kesadaran praktis adalah ketika struktur dapat memenjarakan atau membatasi elit dengan cara memaksa melakukan rutinitas tindakan. Sedangkan kesadaran diskursif adalah ketika elit dapat merubah struktur melalui praktik sosial baru dengan cara melakukan de-rutinisasi tindakan. Kesadaran praktis biasanya hidup dengan leluasa dalam praktik sistem otoriter. Dan sebaliknya, kesadaran diskursif seharusnya dapat tumbuh dalam sistem demokrasi. Diantara dua jenis kesadaran yang harus dimiliki oleh elit politik ini, kesadaran diskursif adalah yang paling relevan dengan dinamika masyarakat lokal yang terhubung secara intens dengan isu-isu nasional, regional dan global. Pertanyaannya, apakah kesadaran diskursif benar-benar hadir dalam dinamika politik lokal setelah genap seperempat abad kita berada pada suasana demokratis? Atau yang terjadi malah jauh panggang dari api, para elit politik lokal telah tunduk pada rutinitas sejumlah aturan dan menyerah pada dinamika (kelimpahan atau kelangkaan) sumber daya.

Hilangnya kesadaran diskursif elit dalam sistem politik lokal yang demokratis adalah anomali yang lahir dari dua kontradiksi: Pertama, kurangnya kaum intelektual (cendekia) yang bertransformasi menjadi elit politik lokal. Sehingga dialektika politik lokal hanya diisi seputar otot dan perut. Tidak ada otak apalagi akal. Padahal untuk mendapatkan kesadaran diskursif yang memadai hingga sampai pada perubahan struktur melalui praktik sosial baru memerlukan nalar yang hidup. Seringkali imajinasi elit tidak menjelma menjadi imajinasi publik. Seperti ada jarak yang notabene disebabkan oleh kecenderungan sebagian besar elit politik lokal yang enggan percaya pada pikirannya sendiri dan lebih bergantung pada populisme; mereka berusaha menemukan persamaan-perasamaan dengan mayoritas publik tanpa perlu bersusah payah berproses pada warna perjuangan politik tertentu dan juga malas berupaya mencari intisari dari nilai dasar masyarakat yang akan dipimpinnya. Penyakit populisme itu yang kemudian membuat elit politik memfokuskan kerja-kerja politiknya pada pencitraan. Setelah mereka berkuasa, mereka akan lebih sensitif terhadap citra sehingga akan mudah terusik pada kritik. Praktik sosial baru yang ingin diwujudkan akan semakin jauh dari kenyataan karena ruang partisipasi publik akan dihalangi demi tetap populis. Oleh sebab itu, pencitraan elit yang berlebihan adalah jalan buntu bagi partisipasi publik. Nalar publik dikuasai oleh politisi salon yang mendadak mengenakan kopiah dan kerudung. Pertukaran ide dan gagasan sebagai inti demokrasi akhirnya tidak terjadi.

Kedua, sistem pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan kapasitas mobilisasi yang sudah barang tentu membutuhkan sumber daya yang besar. Hingga pada praktiknya, mobilisasi dalam kampanye politik dewasa ini lebih menitik beratkan pada besar kecilnya biaya, bukan ide dan gagasan. Persoalan bukan terletak pada diksi pemilihan langsung —upaya koreksi terhadap pemilihan langsung adalah suatu sikap dan tindakan ahistoris yang juga kontradiktif terhadap perkembangan dunia yang semakin partisipatif—, namun akar masalahnya terletak pada mekanisme pembiayaan politik. Dalam sistem demokrasi yang ideal, sumber daya harus mengikuti ide. Penegasan ide dari warna perjuangan politik tertentu akan memunculkan keberpihakan atau minimal simpati dari sebagian publik khususnya kalangan pemilik modal. Tinggal bagaimana sistem membuat mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel, bukan pembatasan-pembatasan yang malah kemudian mudah untuk diakali oleh uang-uang gelap yang tidak diketahui oleh publik. Misalnya, dalam konteks politik lokal, jika ada partai politik atau calon kepala daerah yang memiliki gagasan meningkatkan transportasi publik yang memadai dan terintegrasi lalu kemudian gagasan itu memunculkan simpati dan keberpihakan sebagian warga dan kalangan pemilik modal untuk mendukung kampanye partai politik atau calon kepala daerah tersebut, sebaiknya dibuka ruang partisipasi donasi dan tak perlu dibatasi, namun partai politik atau calon kepala daerah tersebut harus melaporkan penerimaan dan penggunaan donasi tersebut kepada publik secara transparan dan periodik melalui BPK dan KPK. Dengan mekanisme pembiayaan saat ini, yang terjadi malah sebaliknya; ide dan gagasan yang ditawarkan kepada publik sebagian besarnya mengikuti sumber daya. Disitulah sesungguhnya fase pertama tindak pidana korupsi terjadi. Kendati tidak mungkin pembatasan pembiayaan itu dihilangkan maka lebih baik dilarang sama sekali untuk menerima donasi agar kemudian semua pembiayaan partai politik diambil alih oleh anggaran negara secara proporsional. Karena pada akhirnya ujung dari semua opsi tersebut adalah mekanisme pertanggung jawaban yang benar; apakah publik secara keseluruhan atau hanya segelintir kalangan (konstituen) yang dapat menagih realisasi janji elit politik.

Dari fenomena anomali diatas, sesungguhnya yang terjadi adalah kemunduran demokrasi secara struktural. Yang hasilnya adalah penciptaan pola relasi antara elit dengan publik seperti pola relasi antara pelaku dengan korban. Merujuk pada istilah yang diajukan oleh Jeffrey Winters ketika menelaah tentang demokrasi Indonesia pasca reformasi sebagai ‘demokrasi kriminal’. Penyebabnya sejauh ini karena proses kelahiran elit politik lokal lebih banyak didukung berdasarkan status, posisi resmi, kapasitas mobilisasi dan kekerasan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah konsolidasi oligarki yang menguasai struktur (aturan dan sumber daya). Dan kalau kita harus menunjuk hidung pihak yang bertanggung jawab dalam melahirkan kondisi demikian adalah pihak yang selama ini menjadi tempat bagi kelahiran elit-elit politik. Dan pihak tersebut tidak lain adalah partai politik.

Partai politik adalah aksioma di dalam demokrasi. Bahkan di negara otokrasi, partai politik tetap ada walaupun hanya terdapat satu partai politik. Salah satu fungsi terpenting partai politik adalah melakukan rekrutmen bagi calon-calon pemimpin di wilayah dimana tempat partai politik itu berada. Ibarat sebuah pabrik yang sedang mencari bahan baku terbaik untuk menghasilkan produk terbaik. Tugas sejarah partai politik bukan hanya memenangkan pemilu namun atas kemenangan itu pemimpin yang dilahirkan oleh partai politik harus mewujudkan kesejahteraan bersama. Kendatipun harus menyesuaikan dengan sistem yang masih belum ideal, tugas sejarah itu tetap mengikat. Pasalnya, jika sistem mengharuskan kemenangan harus melalui cara-cara yang jauh dari nilai demokrasi, tugas partai politik adalah membuat semacam keseimbangan sistem bukan malah larut pada cara-cara tersebut. Karena efek dari kerusakan partai politik akan dirasakan publik secara masif dan struktural. Misalnya kembali pada tema tentang tuntutan bagi partai politik dalam konteks lokal untuk menguatkan kapasitas mobilisasi, dimana hal tersebut seharusnya tidak serta merta dimaknai sebagai upaya untuk merekrut dan menempatkan calon-calon pemimpin yang hanya memiliki uang. Harus konsisten menerapkan mekanisme di dalam internal partai politik melalui sistem kaderisasi yang berkelanjutan yang di dalamnya terdapat internalisasi ide dan gagasan. Karena politik adalah ikhtiar mulia untuk menyelesaikan persoalan bersama melalui jalan pikiran. Politik akan bergeser jadi barang dagangan jika terjadi proses komodifikasi yang dipimpin oleh pedagang bukan oleh pemikir.

Mungkin cara berpikir itu dianggap terlalu ideal. Namun seandainya saja kita mempersepsikan sumber daya sebagai suatu alat bukan tujuan, maka sumber daya hanya akan menjadi aksioma; harus ada tetapi bukan untuk itu kita mengusahakannya. Sehingga cara pandang kita terhadap uang, logistik, biaya kampanye dan sejenisnya akan proporsional. Karena tidak semua hal di dalam politik bisa dimenangkan dengan menggunakan uang. Rakyat yang akan diwakili oleh calon-calon pemimpin itu juga memiliki akal. Tempatkanlah akal rakyat itu pada posisi yang agung, ajaklah mereka berdialog, bertukar pikiran, sampaikan kepada mereka isi kepala bukan menebar recehan. Karena semua yang diawali dengan hingar bingar pesta akan ada masanya. Tak ada sumber daya yang tidak memiliki batas. Jangan sampai batas itu adalah rasa muak rakyat yang memuncak sehingga mengkristal menjadi perlawanan yang tak terbendung. Partai politik harus menyadari hal semacam ini agar kembali pada tugas sejarah untuk merekrut orang-orang terbaik khususnya dari kalangan cendekia.

Regenerasi calon-calon pemimpin di tubuh partai politik adalah kebutuhan agar terjadi sirkulasi elit di tingkat lokal. Orientasi rekrutmen sebisa mungkin mengedepankan ide dan gagasan. Karena partai politik adalah tempat bertemunya pikiran untuk nantinya dirumuskan secara formal menjadi kebijakan publik. Maka dari itu sangat disayangkan jika ada kebijakan publik yang dicemooh bukan karena kebijakan publik itu kontroversial —karena kontroversi itu hasil dari perbedaan pendapat—, namun karena tidak ada pendapat atau pikiran yang menjadikannya kontroversial maka yang tersisa hanya cemooh publik.

Apa yang bisa publik harapkan dari kebijakan publik yang dihasilkan oleh pimpinan partai politik yang sama dengan pimpinan partai politik 5 bahkan 10 tahun lalu? Dengan wakil rakyat yang sama dengan 2 atau bahkan 3 periode yang lalu? Tak ada yang tersisa selain pembangunan yang stagnan. Namun kemudian untuk menciptakan sirkulasi elit agar terjadi pembaharuan kebijakan publik, partai politik malah menutup pintu pada mereka yang memiliki gagasan dan integritas. Partai politik hanya memberi tempat terhormat bagi mereka yang memiliki uang atau mempersilahkan kedudukan yang layak bagi anak-anak pejabat partai yang notabene —maaf— tidak memiliki kapasitas pemikiran dan keberpihakan dalam ranah kebijakan publik. Jadi, wajar jika oligarki tercipta karena partai politik sengaja memfasilitasinya.

Kendati kita menemukan kerusakan struktural di tubuh partai politik, namun secara adil kita juga harus memberikan kritik pada kalangan inteligensia atau para cendekiawan, kaum cerdik pandai. Mereka yang memiliki intelektualitas diatas rata-rata orang kebanyakan seringkali menyerah terhadap fenomena sosial. Ali Syari’ati menyebut mereka sebagai ‘intelektual candu’; kelompok pemikir yang tidak tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktek, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Pada era ini sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengimani jargon “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,” karena ancaman terhadap manusia saat ini adalah ancaman eksistensial. Bukan lagi persinggungan antara kelas borjuasi dan kelas proletar. Politik kita harus dipenuhi oleh narasi kemajuan tentang eksistensi manusia ketika terjadi interseksi dengan kecerdasan buatan. Politik kita harus diisi dengan perbincangan mengenai upaya memperlambat kerusakan iklim. Bukan tanpa sebab kritik ini diajukan, karena faktanya kaum intelektual saat ini banyak yang masih tertinggal jauh dari jenis narasi kemajuan semacam itu.

Kedepan kita berharap hubungan antara partai politik dengan kaum intelektual seperti hubungan antara gelas dan air. Keduanya saling mengisi dan memanfaatkan. Sehingga memiliki dampak pemberdayaan yang signifikan, bukan relasi yang saling membatasi. Hingga selanjutnya terjadi sirkulasi elit yang sehat. Karena ketegangan antara partai politik dan kaum cerdik pandai membuat sirkulasi elit menjadi tersumbat. Sikap menyerah dari kaum intelektual membuat politik kita semakin disesaki oleh dagangan bukan pikiran.

*Founder Komunitas Langit Biru

ADA YANG TIADA

Petikan gitar terdengar lirih. Berantai setangkai demi setangkai mengeluarkan serangkai. Jari jemari tandas pada satu notasi sedih yang melarut air hingga jatuh menyentuh senar. Tak bisa berlanjut pada lagu berikut.

Tak perlu lirik untuk mengucapkan kekecewaan yang entah pada siapa atau apa. Cukup lagu yang teralun tanpa perlu merdu. Asalkan suara lirih itu keluar dari dada yang sesak. Pada saatnya akan sampai juga pada telinga yang jeli menangkap kesepian di tengah keramaian.

Bayang-bayang tak pernah pergi. Mereka terus bersembunyi di dalam sukma. Merajut semua kemungkinan tanpa sanggup keluar sebagai kata apalagi kenyataan. Tak selamanya diam adalah diam. Sepi yang terdengar lantang lebih berbahaya dari kata yang sempat diteriakkan.

Kita pernah bersama-sama pada satu waktu dan tempat yang penuh keheningan. Lalu berpisah demi keramaian yang fana. Dan kelak akan kembali lagi pada keheningan. Sendiri-sendiri. Abadi.

Apa susahnya sepi yang sementara ini? Toh kelak kita akan sampai pada sunyi yang abadi. Tak ada satupun peristiwa yang pantas berubah menjadi keresahan. Pun jika ada bulir air yang jatuh dari mata, ada getar dalam dada yang berdebar-debar, ada perih yang bersemayam dalam tubuh, ingatlah semua itu fana.

Petiklah senar yang lirih itu. Petiklah selirih mungkin. Bersenandunglah dengan suara yang perih itu. Muntahkan lirik kata yang terlalu lama bersembunyi entah dimana. Serangkai demi serangkai, setangkai demi setangkai, akan sampai pada puncak kehidupan yang entah apa rasanya. Tak pasti bahagia, tak tentu sedih, tak ada yang tahu. Diujung sana yang ada hanya tak ada.

-FA

SEKOLAH DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Anak yang mempertanyakan pertimbangan orang tua ketika membuat keputusan bukanlah anak yang melawan. Pun, anak yang tidak setuju terhadap isi buku atau materi yang disampaikan guru, juga bukan anak yang melawan. Mereka hanya anak yang memiliki rasa ingin tahu.

Pendidikan harus berpihak pada rasa ingin tahu. Karena pada rasa ingin tahu itulah kesinambungan belajar berada. Dan musibah terbesar dunia pendidikan adalah ketika para guru berhenti belajar. Ruang kelas harus segera diubah menjadi ruang belajar bagi guru.

Bagaimana cara guru belajar? Mudah jika ingin. Lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Lebih banyak observasi daripada interogasi. Dan yang paling penting, perbanyak membaca semua hal.

Selama ini para guru mengajarkan anak didik untuk membaca dan berhenti pada mengenal aksara. Padahal, membaca adalah proses menemukan makna. Dan hidup keseluruhannya adalah proses pencarian makna.

Kelak dimasa depan, mereka yang terbiasa mendalami makna adalah yang bertahan dalam persaingan dengan robot dan kecerdasan buatan. Tenggelamlah pada kedalaman realitas objektif. Jangan menyerah pada realitas fiksi. Otentisitas diri itu niscaya.

Karena itu perubahan pada ekosistem pendidikan adalah kunci. Kita tak bisa lagi berharap banyak dari sistem dan kurikulum yang malah menghasilkan lulusan yang harus mempelajari banyak hal dari awal lagi. Sekolah sudah tertinggal dari arus perubahan.

Orientasi sekolah sekarang lebih dominan melakukan validasi eksternal. Mereka mengajarkan anak sampai pintar agar dilevel berikutnya dapat diterima di sekolah favorit. Terus saja begitu sampai diterima di universitas negeri. Fakta: setelah lulus, anak belajar semua hal dari awal.

Mimpi yang dibangun orang tua pada anak-anak mereka agar belajar yang rajin supaya kelak mendapatkan pekerjaan yang layak dan memiliki upah yang tinggi. Kurikulum pendidikan mendidik anak menjadi kelas pekerja. Namun tidak sinkron dengan upaya penciptaan lapangan pekerjaan.

Daya serap lapangan kerja di Indonesia rata-rata hanya 4% pertahun dari total angkatan kerja baru yang lahir tiap tahun. Ironi anak bangsa; dididik di sekolah agar bisa bekerja, setelah lulus pekerjaannya malah tidak ada.

Apalagi saat ini telah terjadi disrupsi pada beberapa sektor. Fungsi manusia sebagai tenaga kerja sedikit demi sedikit mulai digantikan oleh teknologi. Ekosistem pendidikan tidak boleh gagal menalar perubahan. Para stakeholdernya harus membaca utuh gambaran besar perubahan.

Keanehan justru datang dari dunia pendidikan yang seharusnya paling adaptif dan antisipatif terhadap perubahan. Disrupsi pada sektor ini baru menyentuh pada level teknis pengajaran. Padahal ada yang lebih urgent untuk dilakukan; perbaikan kualitas guru.

Mimpi guru harus inheren dengan mimpi murid. Imajinasi guru harus koheren dengan imajinasi murid. Karena dewasa ini teknologi menjauhkan mimpi dan imajinasi keduanya. Jika jaraknya semakin lebar, singularitas akan menemukan momentumnya.

Guru harus mulai mengajar dengan ‘mengapa’. Bukan ‘apa’ dan ‘bagaimana’. Murid harus diajak berpikir asal-usul sesuatu. Bukan sekedar mengenal definisi dan cara. Karena tugas mendefinisikan akan diambil alih oleh komputer dan cara mengatasi masalah akan diselesaikan oleh robot.

Karena di masa depan, manusia yang mengerti tentang nilainya sebagai manusia yang akan bertahan di tengah dominasi robot dan kecerdasan buatan. Di situlah justru ide tentang agama menjadi relevan.

Kemerdekaan seorang muslim adalah fitrah yang dijamin oleh agama. Tauhid itu membebaskan penghambaan seseorang kepada siapapun dan apapun. Selain kepada Allah, seorang muslim dilarang untuk tunduk.

Tauhid menjamin humanisme dapat dilakukan. Manusia secara demokratis dan etis dapat memiliki hak dan tanggung jawab untuk memberi makna pada kehidupanya sendiri. Seperti realitas fiksi yang menopang realitas objektif.

Seperti apa yang pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia yang juga memberi penghargaan pada kemerdekaan orang lain. Ajaran yang sampai saat ini masih relevan untuk kita jadikan tujuan.

Dari twitter : https://twitter.com/muhfikriaziz/status/1549629340370886656?s=21&t=aa5znzumdo5ZhLS0xtIR8w

HUJAN

Tak pernah kulewati satu rintik hujan tanpa mengingatmu. Wajahmu jatuh ke dalam kepalaku pada tiap tetes hujan itu. Makin deras, makin tenggelam. Tapi hujan bukanlah kamu, karena pada tiap perginya, kamu tetap di sini.

Hujan selalu saja membawa kerancuan. Antara manis dan pahit bercampur aduk dalam ingatan. Selalu menjadi penjeda disaat terik melalaikan pada hal-hal biasa. Suasana magis yang membawaku pada dunia yang tak semestinya.

Dingin kadang menipiskan udara. Mengeringkan yang lembab. Menyeruak kesegaran yang dihirup masuk ke dalam rongga nafas. Tenang, damai, pejam. Sampai kemudian dihentikan oleh kehangatan.

Manusia selalu membingungkan. Dalam dingin mencari panas. Pada panas mencari dingin. Sejuk dan hangat sengaja diciptakan sebagai kompromi. Oleh fiksi yang lahir sebagai reaksi alami.

Aku tak ingin memenuhi kepalaku ini dengan harapan. Karena hujan terus saja mengalirkan keutuhan rupamu yang tak kuasa kuhalang. Berhentilah, setelah deras ini. Jangan sampai keberkatan ini menjadi derita.

Karena ironi itu selalu indah pada mulanya kemudian sengsara di ujungnya. Kebahagiaan yang meletup-letup seperti hujan deras yang menyebabkan banjir bandang; membawa kekelaman bagi sebagian orang.

Hujan yang berangsur pelan. Menyibak aroma kering dan basah. Menyelesaikan tugasnya membawa belas kasih. Sejuk dan hangat menyertaiku memanggil pelangi. Seperti membawaku untuk berhenti berharap keutuhan dirimu.

-FA

APA YANG SEDANG KITA HADAPI?

Baca berita ekonomi global, gak ada satupun kabar baik. Semua indikator mengarah ke resesi panjang. Inflasi mulai terjadi dimana-mana.

Tappering dan perubahan global supply chain, yang sebelumnya karena perang dagang kemudian diperparah oleh invasi Rusia ke Ukraina, menjadi faktor pemicu utama. Resesi panjang ini kemudian akan memicu gejolak politik di banyak negara. Dan sudah ada korbannya.

Tappering sebagai langkah yang diambil oleh The Fed memang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi. Tapi kelihatannya, injeksi likuiditas yang konon telah mencapai $ 100 T selama pandemi, terlanjur menyebabkan inflasi di beberapa negara yang kemudian menjalar ke semua negara.

Injeksi likuiditas besar-besaran jika tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas akan menghasilkan inflasi yang tak terkendali. Demand naik tinggi karena orang sedang pegang uang, tapi barang yang mau dibeli hilang karena tak ada produksi. Harga barang sudah pasti naik!

Belum lagi dari sisi produksi, terganggu oleh macetnya jalur supply karena invasi Rusia ke Ukraina. Kedua negara ini adalah penghasil gandum terbesar. Isu soal kelaparan akhirnya meningkat. Karena gandum bahan pokok untuk membuat roti, mie dll.

Lawatan Presiden Jokowi kemarin ke Ukraina dan Rusia, lebih untuk menyelesaikan sumbatan jalur supply gandum, alih-alih urus perdamaian antar kedua negara. Karena yang penting buat Indonesia ya gandum. Soal kepedulian terhadap korban perang cuma gimmick buzzer.

Namun dalam konteks mendorong kepentingan nasional kita, langkah Presiden Jokowi patut mendapat apresiasi. Karena pada resesi panjang ini, semua negara akan berpikir untuk diri sendiri. Aliansi-aliansi global sudah tumpul. Ukraina jadi bukti sahih, aliansi barat kebingungan.

Statement Henry Kissinger tak bisa dianggap enteng, dia menyarankan negara-negara barat merelakan Ukraina untuk diambil Rusia. Cuma itu jalan untuk mengakhiri krisis. Kisingger, pemikir sekaligus pelaku geopolitik paling serius dalam kurun 100 tahun terakhir yang dimiliki dunia.

Ketika awal pandemi, semua negara melakukan lockdown, ekonomi dunia dipaksa mengalami kontraksi. Transaksi hilang dari pasar. Semua orang khawatir terjadi stagflasi. Negara-negara besar melakukan quantitative easing, obligasi diobral ke bank central. Indonesia juga melakukannya.

Agar uang yang telah dicetak itu diserap oleh pasar, bank-bank central menurunkan suku bunga, bahkan negara besar menerapkan ‘zero rate’ alias suku bunga 0. BI sendiri menurunkan rate hingga 3,75%, lalu mencetak uang sampai 500 T. Kemana uang-uang hasil QE itu mengalir?

Uang segar itu mengalir ke pihak yang mampu menyerap bunga rendah namun mampu menjaminkan collateral yang punya value tinggi. Yang bisa melakukannya ya orang-orang berpunya yang selama ini aset-aset mereka mengendap. Mengalirlah uang itu ke bank, venture capital lalu ke start-up.

Karena itu ketika tappering dimulai, banyak start-up kehilangan pembiayaan. Cetak uang berhenti, venture capital sudah tak bisa lagi dapat dana segar, start-up sudah tak bisa lagi bakar uang. Yang tersisa hanya PHK dan tarik fee ke pengguna. Promo? Wassalam!

Muncul pertanyaan; bukannya start-up bakar uang sebelum pandemi?”, betul! Tapi ketika pandemi mereka bakar uang berkali-kali lipat. Dan pesta pun berakhir. Mereka pura-pura lupa kalau nature-nya bisnis itu harus fokus ke generate revenue bukan semata-mata growth.

Jadi kalau disederhanakan, resesi ini terjadi karena imbas tappering yang mengakibatkan USD keluar dari banyak negara termasuk Indonesia. USD pulang ke AS karena disana rate bunga acuan sudah tidak 0. Lalu global supply terganggu berakibat kelangkaan barang khususnya pangan.

Efek langsung terhadap Indonesia? USD langka pasti demand terhadap USD akan naik. Itu yang mengakibatkan kurs IDR terus melemah, USD makin tinggi. Importir pakai USD untuk beli bawang, cabe dll. Ketika USD nya tinggi, mau gak mau mereka akan jual ke pasar dengan harga tinggi.

Pertamina beli minyak impor untuk diolah jadi pertalite dll, menggunakan USD. Tak heran terjadi pembatasan pembelian, caranya saja yang kelihatan canggih; pakai aplikasi! Kalau harga beli minyak naik karena kurs USD nya naik, subsidi dari negara juga bengkak. APBN jebol!

Tiap liter bensin subsidi yang masuk ke motor dan mobil kita, setengahnya ada uang negara dalam bentuk subsidi yang diambil dari APBN. Jadi, kalau harga dari produsennya naik, lalu kurs USD nya naik, ya subsidi naik, subsidi naik akan mengurangi pos-pos APBN yang lain.

“Kalau begitu kita beli minyak mentah yang tidak pakai USD saja, dari Rusia misalnya?” Tak semudah itu. Secara bisnis dan politik punya kendala. Dari sisi bisnis, ongkos logistik tetap pakai standar USD karena supply minyak biasanya menggunakan FOB.

Lalu disisi teknis, kalau minyak Rusia masuk, kilang-kilang yang ada perlu penyesuaian spesifikasi, itu butuh waktu dan biaya. Yang paling susah disisi politik, urusan energi terlanjur berkiblat pada negara-negara barat. Akan ada konsekuensi yang didapat Indonesia.

Kemudian yang bakal bikin APBN tambah berat karena kenaikan nilai USD adalah bayar utang luar negeri! Di tahun 2021 kemarin, pemerintah membayar bunga utang luar negeri sebesar 373 T. Angka itu hanya bayar bunga saja! Ditengah gencar pembiayaan infrastruktur dll, akan makin berat

Jadi ekonomi Indonesia hingga tahun depan akan rentan mengalami kontraksi. Jika tak dikelola dengan baik, kita akan ikut terseret masuk kedalam resesi panjang global. Ukuran negara bangkrut itu sederhana; sudah tidak bisa bayar utang yang jatuh tempo.

Pemerintah punya dilema serius. Rasio pajak sebagai sumber penting pendapatan negara masih dibawah 10%, yang terendah di Asia Tenggara. Satu-satunya jalan adalah terus mencetak utang. Tapi dengan kondisi nilai tukar yang tinggi, pasti hal itu adalah langkah yang amat menantang.

Efisiensi mutlak harus dilakukan. Harusnya pembiayaan infrastruktur fokus pada yang mendesak saja. Yang ada hubungannya sama proyeksi politik ditunda dulu. Pembangunan infrastruktur harus memiliki nilai tambah langsung pada kenaikan angka pertumbuhan ekonomi.

Setelah efisiensi pada pembiayaan infrastruktur, pemerintah harus fokus pada jaring pengaman sosial. Bansos dalam bentuk cash harus ditambah. Kalau tidak, jumlah orang yang turun kelas akan membesar dan itu berbahaya bukan hanya bagi ekonomi tapi pada gejolak sosial dan politik.

Buat individu, ditengah ketidakpastian global ini. Mengedepankan sikap berhemat paling utama. Menjaga cash menjadi pilihan penting. Jika ingin investasi, masuklah pada kelas aset yang memiliki resiko rendah dengan likuiditas yang tinggi. Bukan kripto atau properti.

Mengejar keuntungan investasi pada situasi seperti saat ini sebisa mungkin dihindari. Fokus pada minimalisir resiko. Kalau mau taruh uang ke dalam instrumen investasi apapun, pastikan dulu dana pokok-nya tidak hilang. Baru menghitung margin. Jangan tergoda tawaran margin tinggi.

Hanya produktifitas yang akan menjamin kehidupan ekonomi berangsur-angsur membaik. Karena ketika menghasilkan sesuatu entah itu barang atau jasa, akan tercipta transaksi. Akumulasi transaksi akan menciptakan pasar. Pasar hidup, ekonomi hidup. Jadi tetaplah produktif! -END-

From : https://twitter.com/muhfikriaziz/status/1544470680770531329?s=21&t=yJlaD86fAclNMmlq7p7E4A

SEMOGA

‘Reinventing Government’ memang bukan ide baru. David Osborne dan Ted Gaebler selesai menulisnya tahun 1992. Ide tersebut mulai dibicarakan secara serius di Indonesia, setelah krisis ekonomi 97 dan perubahan politik 98. Gagasan ‘mewirausahakan birokrasi’ itu menemukan titik relevansinya setelah 32 tahun birokrasi kita ditempatkan secara struktural ke dalam politik kekuasaan.

Kalangan wirausaha (sektor privat), selalu kental dengan 3 hal mendasar; inovasi, efektifitas dan efisiensi. Ketiga hal itu yang coba ditransformasikan kedalam semangat baru birokrasi. Segala upaya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan pasca reformasi mengarah pada gagasan itu. Apakah sudah terwujud? Jawaban yang paling sahih adalah hari-hari yang kita rasakan sebagai warga negara, apakah negara bagian dari solusi kehidupan kita atau tidak?

Saya sendiri berpandangan, saat ini dimana globalisasi mendapatkan tantangan serius dari kemajuan teknologi, negara dan perangkat birokrasinya harus beradaptasi secepat mungkin. Semua perubahan ini akan memperkuat manusia bukan negara. Karena itu dimasa depan, negara dengan birokrasi sekecil mungkin yang akan survive. Peran-perannya akan tersubtitusi oleh teknologi yang diciptakan oleh pasar.

Kalau mau bertahan, fokus saja pada pelayanan, bukan administrasi yang miskin inovasi dan inefisiensi. Namun, sektor pelayanan pun akan efektif jika menggunakan semangat wirausaha tadi. Dulu saya sempat mendorong sebuah ide untuk membangun ‘super holding’ BUMD di Kota Bekasi yang targetnya melayani semua kebutuhan masyarakat dari mulai, air, gas, sampah, pelayanan keuangan dst ke dalam satu badan usaha milik pemerintah. Kenapa harus badan usaha? Karena mindset-nya harus bergeser; dari ‘cost center’ menjadi ‘profit center’.

Pagi tadi, kami semua direksi BUMD menyepakati integrasi pengelolaan kas pada satu Bank milik Pemerintah Kota. Hal itu memang baru langkah kecil namun kalau terus diseriusi akan memiliki impact yang besar. Semoga tidak berhenti sampai disini.

-FA

SETAHUN SUDAH

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku masih ingat senyum Ibu yang teduh itu. Senyum yang selalu aku rindukan ketika lelahku datang. Senyum yang memberikan ketenangan pada jiwaku. Tak pernah ada lagi senyum yang seperti itu.

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku masih mampu mencium aroma tubuh Ibu ketika mendekapku. Aku masih saja tertawa kecil mendengar omelan sayang Ibu padaku. Aku masih saja duduk di meja makan seperti yang selalu Ibu suruh ketika Ibu sedang memasak rawon kesukaanku. Sayangnya, rawon Ibu yang paling enak di dunia itu sudah tak bisa kunikmati lagi…

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku ingin Ibu tahu kalau aku masih mengenakan mukena yang selalu Ibu pakai untuk bersujud. Dan aku masih membasahi mukena itu pada setiap sujudku. Aku ingin terus berlama-lama mengenakan mukena itu agar aroma kesucian Ibu terus menempel dalam diriku.

Setahun sudah Ibu pergi…

Hari itu aku membawa Ibu ke rumah sakit. Virus yang jahat itu pun tak sanggup menang melawan keikhlasan Ibu. Aku malu dengan diriku sendiri jika melihat kesabaranmu…

Setahun sudah Ibu pergi…

Tidak seperti aku yang baru sakit sedikit saja sudah mengadu, mengeluh, ingin diperhatikan oleh Ibu. Tapi Ibu, tanpa aku minta, Ibu pasti mendekapku agar panas ditubuhku sedapat mungkin berpindah pada tubuhmu, iya kan Bu? Aku ingat dulu ketika aku demam, Ibu tak tidur semalaman demi menjagaku. Ibu sengaja korbankan kesehatan Ibu hanya untuk melihatku tidak sakit lagi…

Setahun sudah Ibu pergi…

Anak macam apa aku ini? Yang tak bisa apa-apa ketika Ibu sedang merasakan sakit. Yang tak ada di samping Ibu ketika Ibu pergi. Maaf bu.. maafkan aku.. aku menyesal… sungguh menyesal.

Setahun sudah Ibu pergi…

Bu.. aku masih ingin bercerita semua hal tentang hidupku. Walaupun aku masih sesak membayangkan saat Ibu harus sesak diujung nafas hidupmu. Aku memang anak tak tahu diri Bu, aku tahu Ibu terima semua sifatku, keadaanku, prinsipku, pilihanku dan semua yang telah aku putuskan. Aku tahu Bu, namaku selalu ada dalam doa panjangmu. Aku tahu Bu, namaku selalu ada pada tangis didalam sujud panjangmu.. sungguh Bu, aku tahu..

Setahun sudah Ibu pergi…

Bu.. aku tahu Ibu selalu menerima kebodohanku. Ibu selalu menerima kegagalanku. Ibu selalu membelaku dalam setiap masalahku. Walaupun terkadang tak pernah Ibu tunjukkan demi kedewasaanku. Demi kematangan sikapku. Demi tanggung jawabku. Aku tahu semua itu Bu.. aku sungguh tahu..

Setahun sudah Ibu pergi…

Bu.. aku tahu sebagian tangis Ibu karena bantahan yang datang dariku. Aku tahu sebagian tangis Ibu karena aku melawan nasihatmu. Aku tahu sebagian tangis Ibu karena keras kepalaku. Aku tahu Bu.. Dan itu pelajaran yang amat berharga. Sekarang aku merasakan sebagian tangis Itu..

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku menyesal tak bisa melihat wajah Ibu yang teduh untuk terakhir kalinya. Aku menyesal belum memenuhi semua keinginan Ibu. Aku menyesal telah melakukan hal-hal yang Ibu tak suka tapi dilakukan juga olehku. Aku menyesal susah mendengar nasihat-nasihatmu. Tapi Bu.. aku tak ingin larut dalam penyesalan ini. Karena aku tahu Ibu pasti melarangku membawa penyesalan ini kemanapun aku pergi. Kalau Ibu masih disini, pasti Ibu yang memarahiku. Betulkan, Bu? Tapi Bu.. sekarang tidak apa-apa Ibu marah padaku.. marahlah Bu.. yang penting aku bisa memeluk Ibu. Sebentar saja.. aku mohon..

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku ingin mimpi itu.. datanglah Bu.. aku rindu.. aku ingin mengadu pada Ibu.. datanglah Bu dengan senyum teduh yang selalu Ibu beri untukku.. aku tahu Ibu akan mengatakan seperti biasa;

“Tenang saja Ibu tidak apa-apa. Doakan saja ya, Nak.”

Setahun sudah Ibu pergi…

Aku ingin mendengar sekali lagi suara Ibu yang lembut itu.

“Nak, kamu datang? Sudah makan? Mau ibu masak? Tunggu ya.”

“Hati-hati dijalan, Nak. Sudah malam.”

“Ada apa, Nak? Coba cerita sama Ibu.”

Dan semua kasih sayang Ibu yang tak sempat tersampaikan padaku.

****

Setahun sudah Bu…

Tak akan pernah kering air mata ini.

Aku mohon Bu…

Kali ini biarkan aku menangis.

Aku sekarang mengerti..

Arti ketabahan itu.

Aku sekarang mengerti..

Makna keikhlasan itu.

Setahun ini, Ibu telah mengajarkanku.

Aku sekarang mengerti Bu..

Aku sayang Ibu..

Maafkan aku.

SELESAI

*untuk semua yang ditinggalkan oleh Ibu setahun yang lalu.

WARKOP

Dok. Pribadi

Namaku Maman. Aku sudah 3 tahun di Jakarta. Mengadu nasib seperti orang kebanyakan. Aku datang dari sebuah desa di kaki gunung Ciremai. Sembawa, nama desaku itu. Desaku asri dan indah sekali. Walaupun sudah tak sedingin seperti ketika aku kecil dulu, namun angin yang datang dari gunung masih terasa segar.

Entah apa sebabnya udara di desaku itu tidak sesejuk dulu. Aku yang hanya tamatan SMP ini tak mengerti istilah ‘perubahan iklim’. Pak Kades yang pertama kali mengucap istilah itu, dalam pidatonya, Pak Kades bilang kalau dia dengar istilah itu dari Pak Camat. Ingin rasanya aku tanya Pak Camat, dari mana dia mendengar istilah ‘perubahan iklim’ itu?

Tapi belum kesampaian, karena aku keburu pergi ke Jakarta. Juragan yang mengajakku kerja, ternyata tak sabar. Aku harus segera membuka warung kopi atau warkop miliknya. Warkop itu hanya sekedar nama. Di dalamnya bukan hanya kopi, ada bubur kacang hijau lengkap dengan ketan hitam, ada indomie rebus berbagai rasa juga indomie goreng yang hanya satu rasa. Juga ada bermacam gorengan; tahu, tempe, bakwan dan pisang. Kadang, kalau waktuku cukup, aku juga menjual bubur ayam dan kupat tahu khas daerahku.

Warkop tempat kerjaku ini bukan warung kopi seperti tempat minum kopi yang sedang menjamur seperti sekarang. Bukan, bukan kafe yang banyak didatangi anak muda yang kalau datang kesana yang mereka beli malah bukan kopi, aneh. Anak-anak muda yang datang kesana, mereka biasanya membuka laptop, lalu ber-swafoto di latar dan objek yang menarik untuk dipajang di media sosial mereka. Atau ada juga yang duduk bersama, namun saling tidak bercengkerama. Masing-masing cuma sibuk dengan telepon pintarnya. Makin aneh, janjian untuk bertemu tapi malah bercengkerama dengan orang yang entah dimana.

Warkop tempatku kerja biasanya dihuni oleh pengangguran, tukang ojek, tukang parkir, tukang kredit. Paling canggih didatangi karyawan rendahan. Darimana aku tahu kalau mereka karyawan rendahan? Kicauan sesama mereka tak lain dan tak bukan hanya keluhan. Mereka punya atasan yang galak bukan kepalang, punya hutang ke sesama teman, kerjaan yang tak kelar-kelar dan lain-lain. Selama aku dengar, tak ada bagus-bagusnya tempat kerja mereka itu, isinya cuma keluhan. Lebih baik jadi barista gadungan seperti aku ini.

Namun memang warung kopi tempatku kerja memang tempat yang cocok untuk menumpahkan keluh kesah. Para pengangguran dan tukang-tukang itu pasti sudah tertekan di pekerjaannya, tertekan pula dirumahnya. Yang kutahu, bini-bini mereka seperti malaikat pencabut nyawa. Kurang setoran, kurang pelayanan. Mereka pulang bawa uang sedikit, hilang sudah jatah malam sampai pagi. Makanya lebih baik di warkop, mau kopi tinggal bilang, mau indomie tinggal minta dibuatkan. Boleh kas bon pula. Tinggal catat saja, akhir bulan aku tagih, jika tidak bayar, tak akan aku keluarkan lagi kopi bikinanku walaupun hanya setengah gelas. Biasanya mereka akan menyerah, mereka takut tak ada lagi yang berbuat manis dalam hidup mereka selain warkop ini.

Tahukah kawan? Mereka yang biasa duduk di warkop tempat aku kerja ini, kalau sudah bicara tentang politik, kalah pula itu pengamat yang ada di televisi. Begitupula kalau sudah bicara tentang sepak bola, bisa lebih seru dari pertandingannya! Semua bebas bicara, semua bebas berekspresi. Bahkan, ada yang berjudi. Dulu, pertama kali aku bekerja, sebagian dari mereka main togel, rasanya aku ikut bahagia melihat mereka menunggu kabar penuh harap kalau tebakan mereka bakal keluar. Kalau sekarang, selain judi bola, mereka ikut main slot. Ah, aku tak terlalu paham permainan judi model sekarang. Buatku selama mereka tak murung, aku sudah senang, artinya mereka punya harapan untuk bayar utang-utangnya padaku.

Si tukang ojek online, Boneng nama panggilannya. Aku tak tahu nama aslinya. Dahulu dia adalah seorang tukang ojek pangkalan. Sempat menolak masuknya ojek online. Sumpah serapah saban hari namun akhirnya dia menyerah. Menyerah pada teknologi. Makin dia bertahan di pangkalan, makin susah dia dapat penumpang. Boneng punya anak dua, bininya buka warung kecil di kontrakannya. Dan kelihatannya warung kecil itu sebentar lagi juga akan kalah.

Si tukang parkir, Doblang panggilannya. Aku juga kurang tahu nama aslinya. Dia jaga parkir sekitar warkop ini baru beberapa tahun belakangan. Tak jauh dari sini ada komplek pertokoan, dulu dia jaga parkir disana. Tapi setelah perusahaan parkir datang, dia akhirnya minggir. Dia sudah berusaha minta ikut dipekerjakan, tapi dia kalah saing dengan preman kampung belakang komplek pertokoan tersebut. Yang menurutku hebat dan aku angkat hormat buat Doblang, dia punya dua bini. Keduanya tinggal di kontrakan yang bersebelahan dan masing-masing punya anak dari Doblang.

Si tukang kredit punya nama Dedet. Lagi-lagi aku tak tahu persis nama aslinya. Dia yang secara ekonomi lebih kelihatan beruntung sedikit dari kedua orang tadi. Dulu dia keliling bawa barang perabotan rumah sambil dipikul, agar bisa di kredit oleh ibu-ibu kampung. Sekarang sudah dua bulan ini dia keliling sudah menggunakan mobil bak terbuka. Mobil itu dia kredit ke salah satu perusahaan leasing. Tukang kredit ambil kredit di perusahaan kredit. Dan diantara semuanya tadi, Dedet yang paling mengerti tentang cara kerja uang; bunga-berbunga.

****

Suatu malam, ketika Doblang mulai menarik bayaran terakhir dari motor yang parkir depan warkop, Boneng datang setelah seharian bekerja antar orang, makanan dan barang. Wajahnya terlihat lelah sekali, ditangannya ada bungkusan warna hitam yang masih rapih dan rapat. Dia duduk dan langsung memanggilku yang saat itu masih di dalam bilik warkop tempatku istirahat.

“Man, kopi satu biasa Man”, minta Boneng.

“Siap!, capek bener kayaknya?”.

“Iya, gue kayaknya tadi apes. Ada orang minta gue anterin barang ke satu alamat rumah, tapi alamat rumahnya ternyata gak ada. Pas gue balik lagi, ke rumah itu yang punya barang, orangnya udah gak ada. Trus gue tanya tetangga deket situ, katanya gak ada orang yang tinggal disitu dengan ciri-ciri yang gue sebutkan.. kan aneh Man”, sambung Boneng.

“Bungkusan apa, Neng?”, tanya Doblang yang tiba-tiba muncul di pintu warkop.

“Gak tahu gue Blang..kalau sampe besok gak ada yang nyari, ya gue buang aja deh”, jawab Boneng.

“Gak lo buka aja, Neng? Kali aja isinya duit hehe”, kata Doblang iseng.

Boneng mengangguk mendengar usulan Doblang. Sambil tersenyum kecil, dia mulai menyeruput segelas kopi susu yang aku bikin. Setelah itu dia keluarkan sebatang rokok dari bungkusnya lalu ia bakar. Melihat Boneng merokok, Doblang ikutan dengan sebelumnya meminta sebatang pada Boneng.

“Hari ini rame yang parkir, Blang?”, tanya Boneng.

“Ya.. lumayanlah.. tapi gak kayak biasanya Neng … tanya aja tuh si Maman, hari ini kayaknya dia lebih sering nonton siaran ulang bola di youtube daripada nyeduh kopi sama indomie”, jawab Doblang sambil melihat kearahku.

“Iya gak terlalu rame kayak biasanya, tuh gorengan masih banyak yang sisa”, jawabku.

Malam itu berakhir seperti itu saja, Boneng pulang ke bininya. Begitupula Doblang, tapi aku tak tahu dia pulang ke bininya yang mana. Terserah dia saja, aku tak peduli. Aku sendiri, kembali ke dalam bilik di dalam warkop. Oh iya, aku lupa ceritakan diawal kalau warkop tempat kerjaku ini biasanya buka 24 jam. Karena aku tidur, makan, mandi, buang air disini. Jadi kapanpun pelanggan datang, akan aku layani. Kecuali jika aku enggan dan ingin sendiri saja. Seperti malam itu.

Esok paginya, Boneng datang lagi. Doblang yang sudah datang lebih pagi menyapanya. Dan bertanya tentang nasib bungkusan paket yang tak jelas pemiliknya. Boneng menggeleng mulai sedikit bingung. Bungkusan yang masih ditangannya itu sebenernya tak ingin jadi mengganggu pikiran dan waktunya. Tapi Boneng mulai penasaran apa isinya.

“Jangan-jangan benar apa yang dibilang Doblang, isinya duit”, gumam Boneng.

“Udahlah Neng, lo buka aja deh. Kalau isinya berharga, jangan lupa bagi gue! Hehe”, kata Doblang semangat.

Mereka berdua memintaku dibuatkan masing-masing segelas kopi hitam dengan sedikit gula. Sambil tersenyum ceria seolah tak sabar untuk mengetahui apa isi bungkusan itu. Segera aku buatkan kopi yang mereka pesan, dari balik meja warkop yang dibatasi oleh kompor-kompor yang diatasnya ada berbagai macam bubur, aku melihat kedua tangan Boneng saling mengusap, lalu mulai membuka bungkus paket itu dengan hati-hati. Disampingnya, Doblang setia melihat satu demi satu proses ‘unboxing’ bungkusan misterius itu.

Sebelum Boneng membuka lapisan terakhir dari bungkusan misterius itu, dari pintu warkop terdengar suara Dedet yang baru datang. Tiap pagi dia memang biasa datang untuk sarapan bubur sebelum dia keliling menawarkan perabot dengan sistem kredit.

“Kenapa lo berdua? Seneng banget kelihatannya? Bungkusan apa tuh, Neng?”, tanya Dedet.

“Boneng dapet bungkusan misterius”, kataku bantu menjawab. Karena Boneng dan Doblang kelihatan fokus enggan diganggu.

Setelah membuka bungkusan itu, bersamaan dengan kopi hitam panas yang baru saja aku suguhkan. Betapa terkejutnya Boneng, ternyata isi bungkusan itu ada selembar amplop yang tidak terlalu besar. Di dalamnya ada sebuah kertas yang tertera nama Bank, nomer seri, tanda tangan dan tertulis nominal angka dan huruf seratus juta rupiah!

“Isinya ternyata cek, Neng!… bener kan kata gue! Ini duit neng! Lo jadi orang kaya sekarang!”, kata Doblang terus semangat.

“Gu..gue.. beneran Blang, jadi orang kaya? “, tanya Boneng sambil mulai berair matanya, bingung antara senang dan masih tak percaya.

“Itu bungkusan memang gak ada yang punya? Hati-hati lho nanti yang punya nyariin. Zaman sekarang mana ada orang lupa sama duit segede itu.. lagi pula itu cek, lo harus cairin dulu itu ke bank.. iya kalau ada isinya, kalau kosong?”, kata Dedet dengan nada yang agak skeptis.

Semua diam.

“Ya gue cuma ngasih tau aja, terserah lo Neng”, lanjut Dedet.

Semua lanjut diam. Dedet pergi, tak jadi pesan bubur. Kita semua tak mengerti bagaimana menilai Dedet dari perkataannya tadi.

“Dedet kayaknya iri banget sama lo Neng.. gak pengen ngelihat lo seneng dapet duit gede hehehe”, kata Doblang.

“Ah, bodo amat, sekarang gue mau ke bank, mau tanya soal cek ini, bener apa engga, semoga aja bener”, ucap Boneng sambil bangkit berdiri dan segera meraih motornya.

“Gue ikut Neng!”.

Doblang langsung melompat duduk di jok belakang motor milik Boneng yang masih tersisa cicilan 3 bulan lagi.

Aku melambaikan tangan pada mereka yang tengah asyik masyuk itu. Berharap mereka benar-benar dapat uang itu. Harapanku hanya satu; mereka membayar lunas semua deretan angka kas bon yang mulai panjang di dalam buku catatanku.

Tapi ternyata harapanku terlalu tinggi.

****

Dua bulan berlalu setelah lambaian tanganku pada Boneng dan Doblang. Selama itu aku tak pernah lagi melihat batang hidung mereka. Aku tak tahu kelanjutan cerita soal cek 100 juta itu. Apakah bisa dicairkan atau malah ada pemiliknya yang datang mengambil cek itu. Aku benar-benar tidak tahu. Dan selama dua bulan itu, aku bekerja seperti biasa, melayani pelanggan warkop yang makin ramai.

Tugas Doblang sebagai tukang parkir, digantikan oleh Udin. Entah datang darimana manusia satu itu. Setelah tiga hari Doblang tak nampak wujudnya, tiba-tiba Udin datang dengan tubuh penuh tato yang terlihat hampir diseluruh tangan dan lehernya. Kulihat hanya wajahnya saja yang tak kena tato. Dia mengaku utusan Bang Qodir, ketua ranting ormas yang poskonya tak jauh dari warkop. Tapi kulihat udin lebih rajin bekerja daripada Doblang. Dan walaupun fisiknya menakutkan, dia ternyata lebih ramah kepada orang-orang yang menitipkan motor atau mobilnya disini.

“Terimakasih Bang… semoga cepat balik lagi kesini…”, sapa Udin tiap kali habis terima recehan dari pelanggan yang parkir.

Aku pikir ramainya warkop akhir-akhir ini ada peran si Udin juga. Sudah begitu, si Udin jarang sekali kas bon. Jika dia mau dibuatkan kopi hari itu, malamnya setelah tutup parkir dia akan pamit sambil menanyakan padaku berapa harga kopi yang dia minum hari itu, lalu dengan segera membayarnya lunas. Memang luar biasa si Udin ini, beda seratus delapan puluh derajat dengan si Doblang. Payah.

Suatu sore, sayup-sayup aku dengar keributan di depan warkop. Aku menghampiri sumber keributan itu, berjalan kedepan warkop dan terbelalak melihat Udin sedang adu mulut dengan Doblang. Ya, Doblang! Tampak baru bangkit dari kuburnya.

“Lapak parkir ini punya gue! Sekarang lu pergi dari sini! Kalau macem-macem gue abisin lo!”, ancam Doblang dengan nada penuh emosi.

“Lo siapa Bang? Gue pertama kali datang ke lapak ini kosong gak ada yang jaga! Lo jangan ngaku-ngaku deh! Gue disuruh Bang Qodir.. lo tanya sendiri sama dia!”, balas Udin dengan nada yang sama.

Beberapa orang hanya melihat adu mulut itu sambil kelihatan bersiap-siap jika berubah jadi adu fisik. Tanpa menunggu jotosan pertama yang entah bakal datang dari siapa, aku mulai menengahi mereka.

“Sudah Bang Doblang… Udin… gak usah ribut disini… kita omongin baik-baik di dalam yuk…”, kataku menenangkan.

Mereka setuju dan mulai meredam emosi. Bukan apa-apa, kalau sampai terjadi perkelahian yang tak terkendali, aku khawatir kesan buruk akan menimpa warkop tempat kerjaku ini. Karena dua bulan ini, imaji warkop ini mulai berubah, mulai banyak ibu-ibu atau perempuan muda yang mulai datang untuk sekedar membeli bubur kacang hijau atau indomie yang aku tambahkan kornet dan keju seperti menu kekinian yang disediakan di kafe.

Setelah mereka masuk ke dalam, aku menawarkan kopi pada mereka berdua. Hanya Doblang yang mengiyakan. Udin hanya bilang terima kasih, memang dia enggan minum kopi sore-sore.

Sambil menyeduh kopi, aku ceritakan dengan sejelas-jelasnya, duduk perkara sejak Doblang terakhir kali terlihat di warkop ini sampai beberapa saat lalu dia datang dengan mulut penuh ceracau. Aku minta dia tidak menyalahkan Udin yang mulai tersenyum tenang, dalam benaknya seperti menemukan kemenangan.

Mendengar ceritaku, Doblang hanya terdiam. Setelah aku tutup ceritaku tadi dengan meminta dia jelaskan kemana dia selama ini. Aku pun menanyakan kabar si Boneng juga.

Setelah Doblang terdiam agak lama, kopi yang kusuguhkan juga tinggal setengah gelas, akhirnya dia bicara. Tapi sebelumnya dia minta Udin untuk keluar. Dan Udin justru senang, dia merasa cerita Doblang bukan urusannya sehingga dia tak mau tahu. Lebih baik dia kembali menjaga parkir.

“Gue bangkrut Man. Si Boneng juga. Cek itu beneran cair. Siang itu gue berdua bener-bener seneng bukan main. Baru pertama kali gue lihat duit segitu banyak. Boneng bilang bakal kasih gue bagian tapi gak terlalu banyak. Karena dia musti bayar utang sana-sini; kontrakan 3 bulan, lunasin cicilan motor, bayar utang kas bon ke lo”, ucap Doblang lirih.

“Tapi waktu itu, gue kayak gak terima kalau gue cuma dapet bagian sedikit. Gue maunya belah dua dong. Kan, kalau bukan gue yang kasih tahu dia untuk buka aja itu bungkusan, mungkin si Boneng udah nyariin pemiliknya sampe ketemu, atau malah dia lapor polisi kalau dia udah nemu bungkusan yang gak jelas siapa yang punya… kan itu anak kadang bloon Man”, lanjut Doblang merasa berjasa besar.

Aku diam mendengarkan cerita Doblang. Sambil bertanya, siapa yang bodoh sebenarnya? Boneng? Doblang? Atau malah diriku sendiri.

“Akhirnya gue usul ke dia Man, kalau duit 100 juta itu kita puter aja dulu. Biar tambah banyak! Dia awalnya gak mau, tapi gue bujuk berkali-kali, lama-lama mau juga!”, sambung Doblang.

“Trus kalian puter dimana itu duit, Bang?”, tanyaku penasaran.

“Judi! Hehehe”.

Setelah itu aku mulai enggan mendengarkan Doblang bercerita. Karena setelah dia ungkap soal judi, kisah berikutnya hanya kesengsaraan yang tak putus. Walaupun sebelum mereka kalah judi, mereka mengalami kemenangan beberapa kali. Tapi setelah itu buyar. Amblas sudah semua uang yang mereka dapat secara tidak sengaja itu.

Sekarang Doblang bingung harus bagaimana dan melakukan pekerjaan apa. Istrinya sudah minggat satu, yang satu lagi juga sudah bersiap-siap pulang ke rumah orang tuanya. Sedangkan Boneng tidak beda kondisinya; motornya ditarik leasing karena 2 bulan sudah tidak membayar cicilan, dia juga sudah diusir dari kontrakannya. Yang tersisa dari kedua orang itu hanya kas bon yang masih menumpuk di warkop tempat kerjaku ini.

Setelah Doblang pergi entah kemana, Dedet datang setelah dia seharian keliling menjajakan perabotan menggunakan mobil baknya. Dia memesan es teh manis dan seporsi indomie goreng. Sambil Dedet menikmati makanannya itu, aku sengaja ceritakan ulang padanya kisah Boneng dan Doblang, dua temannya yang biasa duduk penuh keakraban di warkop ini.

Dia tertawa lega sambil terbahak-terbahak, merasa apa yang dia sampaikan dua bulan lalu ternyata ada benarnya.

“Man, tabiat rezeki tuh harus diupayakan. Kalau tiba-tiba kita dapet rejeki nomplok, kayak duren jatoh, justru kita harus hati-hati, Man. Cepat atau lambat, pemiliknya yang asli pasti ambil lagi. Gue yakin itu. Makanya, gue mending begini aja deh, sabar-sabarin. Lama-lama juga gue punya supermarket perabot! ya kan?”, ucap Dedet penuh keyakinan.

Beberapa saat kemudian, datang seorang tukang ojek online, wajahnya terlihat lelah sekali. Sambil membuka jaketnya, dia pesan satu gelas kopi hitam dengan sedikit gula. Setelah kopi itu aku suguhkan, dia mengeluarkan bungkusan hitam dari saku jaketnya. Bungkusan itu agak kecil namun terbungkus rapih dan rapat. Lalu dia berkata;

“Aneh nih Bang, ini bungkusan udah saya anter tapi ternyata alamatnya gak jelas, waktu saya mau balikin, orangnya udah gak ada dirumahnya. Trus saya tanya ke tetangganya, katanya gak ada orang yang tinggal dirumah itu kayak ciri-ciri orang yang saya jelasin.. kan saya jadi bingung.. ini bungkusan mau diapain?”

“Buka aja Bang! Siapa tahu isinya duit! Yang udah-udah begitu soalnya.. kemarin temen saya dapet duit! Mau saya anter ke bank untuk cairin cek? Ayo!”, kata Dedet.

Aku diam.

SELESAI

PARADOKS

Warung makan ‘Nasi Kapau Bukit Tinggi Salingka Agam’, Kwitang, Senen, Jakarta. Dok. Pribadi

Setelah capek mencari buku lama di Kwitang untuk keperluan tugas akhir kuliah, gue mampir makan siang di warung Nasi Kapau Khas Bukittinggi yang lokasinya hanya tinggal menyebrang dari deretan kios toko buku langganan gue.

Gue mahasiswi jurusan Hukum semester akhir. Siang itu kebetulan gue ajak temen deket gue dari SMA, Orin namanya. Dia mahasiswi semester akhir jurusan Ekonomi, di kampus yang sama dengan gue, sebuah kampus swasta ternama di Jakarta.

Pesanan datang ke meja kami setelah gue pesan satu porsi nasi kapau lengkap dengan dendeng kering balado dan tunjang dengan kuah santan yang kental. Sedangkan Orin, dia pesan nasi kapau setengah porsi dengan hanya satu ayam bakar. Sambil menikmati nasi yang lezat itu, tiba-tiba Orin bahas sesuatu yang bikin gue sadar dan berupaya mikir pakai otak gue yang terbatas ini. Cuma mau kasih tahu aja, dari dulu Orin memang lebih pintar dari gue.

Kata dia, “lo tahu nggak? sebenarnya dunia lagi gak baik-baik aja”. “Maksud lo gimana Rin? Kok tiba-tiba ngomong gitu?” Kata gue penasaran.

“Kemarin gue baru baca artikel menarik, jadi ternyata sekarang orang-orang lagi mengalami “kekenyangan” massal!”, jelas Orin. “Hah? Gimana-gimana maksudnya?!”, tanya gue makin penasaran. Lalu dia melanjutkan dengan nada lebih semangat, “jadi asal lo tau ya, saat ini jumlah orang meninggal karena kelaparan di dunia itu sebelas orang tiap menitnya. Sedangkan yang meninggal akibat diabetes sudah dua belas orang per menitnya. Belum lagi ditambah kematian akibat penyakit degeneratif lain seperti hipertensi, stroke, gagal ginjal dan lain-lain”.

“Secara agregat dibanding peradaban zaman dulu, kondisi kita sekarang udah jauh lebih baik dalam konteks menyelesaikan masalah kemiskinan. Kesejahteraan itu terasa kok dibanding zaman dulu. Minimal cukuplah. Ini lumayan merata diseluruh dunia walaupun kesenjangan juga ada dan malah makin lebar kayaknya”. Lanjut Orin. “Tapi ternyata kita punya masalah baru, makin banyak makan, kita makin punya masalah kesehatan!”, kata Orin dengan nada penuh sesal. “Bener juga yang lo pikirin Rin, terus kita harus gimana menurut lo?”, tanya gue dengan berusaha susah payah ikut mikir kayak dia.

“Ya kita harus cari solusinya bareng-bareng. Gue banyak belajar di kuliah gue soal ini, ada yang meng-istilahkan “Paradoks Keberlimpahan”. Mulai banyak yang mikirin jalan keluarnya. Termasuk koneksi peran antara sektor ekonomi dan kesehatan. Tapi menurut gue sih harus mulai dari diri sendiri dulu, dengan cara sering-sering nahan nafsu makan misalnya”, lanjut Orin yang bikin gue langsung agak tersedak. Masalahnya ini tunjang kuah santan enak banget, sayang kalau gak gue sikat habis, tinggal dikit kok hehe.

Setelah nasi kapau di piring gue ludes. Gue tutup dengan minum Es Tebak. Dan Orin cuma minum air putih hangat yang disediakan gratis. Gue mikir jelek deh ke nih anak sekarang, dia lagi gak mau kenyang massal kayak yang tadi dia jelasin apa lagi irit ya? Ah, namanya juga anak ekonomi!

-FA

NASIB

Museum Fatahillah, Kota Tua Jakarta.
Dok. Pribadi

Diam, lapar, pasrah. Tak banyak yang bisa kulakukan. Apalagi ada rantai yang melingkari tangan dan kakiku. Sudah tiga bulan aku dibiarkan menggelandang diluar penjara dengan tangan dan kaki terbelenggu seperti ini. Karena penjara yang jadi tempatku sebelumnya sedang diperbaiki.

‘Stadhuis Van Batavia’, para kompeni sialan itu menyebut gedong di hadapanku ini demikian. Aku mendiami penjara dibawahnya sejak setahun lalu, tahun 1706 tepatnya. Salahku tak seberapa, hanya mencuri setangkai bunga dari halaman rumah milik noni Belanda. Dia tak terima dan segera mengadu pada seorang opas brengsek yang langsung menangkapku tanpa bertanya lagi duduk perkaranya. Padahal kalau dia tanya kenapa aku curi setangkai bunga indah itu, aku akan menjawab tanpa ragu, “bunga ini akan aku berikan pada Ramlah, gadis yang paling aku cintai, silahkan belenggu tangan dan kakiku, asalkan bunga ini tetap sampai ditangannya yang indah”.

Sekarang oleh Gubernur kompeni yang baru, gedong itu dibongkar. Aku lumayan senang. Karena penjara bawah tanah yang aku tempati itu hampir ambruk. Pengap dan gelap sekali di dalam. Setidaknya kalau sudah selesai dibangun ulang, bisa lebih manusiawi.

Rasa penasaranku akhirnya ku tumpahkan pada seorang opas yang saban hari mengawasiku dan orang hukuman lain di emperan kantor pos yang di jadikan penjara sementara ini. “Tuan Opas yang penuh kasih, bolehkah aku bertanya barang sedikit? Sudikah memberitahu kami jika kelak gedong itu telah selesai dibangun ulang, apakah penjara tempat kami bernaung akan lebih baik dari sebelumnya?” tanyaku dengan nada merendah serendah-rendahnya.

“Jangan banyak mimpi anjing kurap! Tak akan ada sinar matahari yang masuk ke dalam sel mu! Kau akan mati karena kolera atau sesak nafas! Silahkan kau pilih saja! Nikmati waktumu selagi gedong itu masih dibangun..” hardik sang opas brengsek itu.

Aku kembali diam. Sambil jauh memandang sebuah bangunan berlantai satu yang letaknya di belakang gedong yang sedang diperbaiki itu. Kata orang, bangunan itu juga dipakai untuk menahan orang hukuman. Namun bukan penjara yang pengap. Tiap hari sinar matahari diperbolehkan masuk. Tak ada kolera dan sesak nafas. Tapi orang hukuman disana harus membayar beberapa gulden pada kompeni sialan itu. Sejak saat itu, aku mengerti bahwa orang hukuman juga ada kelas-kelasnya. Dunia memang cilaka.

-FA