#KotaBekasi25thn

Besok 10/03/2022, Kota Bekasi akan mencapai usia perak; 25 thn. Usia yg relatif, tidak juga muda, tidak pula terlalu tua. Tapi, seharusnya cukup matang. #KotaBekasi25thn

Dibawah kepemimpinan Plt Walikota @mas_triadhianto, mengambil tema: “Kebangkitan Daya Saing Ekonomi Sebagai Perwujudan Tahun Perak Melalui Pengembangan Industri Kreatif”. #KotaBekasi25thn

Menurut sy, tema tsb datang tepat waktu. Tersirat adanya harapan setelah kehidupan di kota ini “porak poranda” dilanda pandemi yg berakibat langsung pd aktifitas ekonomi masyarakat. #KotaBekasi25thn

Secara lugas, Pemkot Bekasi meng-address persoalan daya saing ekonomi dgn pengembangan industri kreatif sbg solusinya. Ini menarik sekaligus menjadi tantangan serius. #kotabekasi25tahun

Pertanyaan penting; selama ini sektor ekonomi jenis apa yg men-drive pertumbuhan ekonomi di masyarakat? Industri kreatif kah? Atau yg lain? #KotaBekasi25thn

Lalu kira-kira selama pandemi berlangsung, sektor ekonomi apa yg paling terdampak? Ekonomi kreatif kah? Ini penting utk kita jawab agar penanganan pemulihan ekonomi pasca pandemi mjd tepat. #KotaBekasi25thn

Sy paham latar belakang knp tema itu muncul dlm gempita HUT #KotaBekasi25thn. Namun ijinkan sy mengajukan sedikit gagasan terkait tema tsb, agar benar2 bisa terwujud sbg rencana strategi pembangunan.

Industri kreatif dlm hemat sy setidaknya membutuhkan 3 hal: 1) Ide, 2) Kompetensi, 3) Daya Dukung. Ketiganya harus mendapatkan jaminan “political will” & advokasi dari Pemkot Bekasi. #KotaBekasi25thn

Tentang Ide; kreatifitas gak mungkin enggak lahir dari Ide. Dan Ide atau gagasan lahir dari pikiran & jiwa yg merdeka. Memang terlalu personal. Namun apakah negara bisa berperan? Bisa & harus! #KotaBekasi25thn

Dimana letak peran negara agar anak2 muda terpacu ide kreatif-nya? Negara harus menyediakan lingkungan yg kondusif bg mereka. Caranya? Bangun “public space” sebanyak mungkin! #KotaBekasi25thn

Ciri utama dari ruang publik adl tempat tsb harus bisa dinikmati bersama tanpa ada strata sosial didalamnya. Berarti harus gratis & lengkap dg segenap fasilitas publik spt akses internet serta toilet gratis yg bersih. #KotaBekasi25thn

Lalu soal kompetensi. Lagi2 ini masih personal sifatnya. Namun negara harus berperan & terlibat langsung pd upgrading skill/kapasitas individu anak2 muda. Bgm caranya? Mudah saja; buat program inkubasi. #KotaBekasi25thn

Inkubasi adl program. Ada yg lebih penting dari itu; konten. Kita perlu membuat peta kompetensi prioritas yg dibutuhkan anak2 muda agar industri kreatif berkembang. Banyak anak muda kreatif tp lemah di kompentensi dasar. #KotaBekasi25thn

Kompetensi dasar disini adl skill minimal utk membangun sebuah bisnis. Gak usah mimpi bangun industri klo gagal create bisnis. Gak usah muluk2 bicara industri, klo bisnis skala kecilnya gak sustain. #KotaBekasi25thn

Minimal ada 3 skill dasar yg harus dibuat pd masing2 inkubator: 1) financial literacy, 2) manajemen, 3) digital marketing. Hal2 ini yg akan menentukan bisnis kreatif skala kecil menengah bisa survive atau engga. #KotaBekasi25thn

Terakhir soal daya dukung. Ini maha penting. Banyak bisnis kreatif mati muda krn kehabisan nafas. Akses likuiditas tidak ramah thd bisnis mereka. Negara wajib melakukan advokasi pd skala bisnis ini. Caranya? Guyur likuiditas! #KotaBekasi25thn

Buka akses modal dg cara memberikan kredit murah kpd pelaku usaha kreatif. Skema pemberian stimulus bisa diterapkan. Efek domino ekonomi nya besar. Dan harus tidak berhenti disitu, insentif dlm bentuk tax free jg harus diberikan. #KotaBekasi25thn

Pemkot bisa juga menugaskan BUMD yg bergerak dlm jasa keuangan untuk memfasilitasi kebijakan ini. Likuiditas harus didistribusikan agar ekonomi berjalan dan ketimpangan makin kecil. Semua pihak harus berperan. #KotaBekasi25thn

Ketiadaan aset yg akan dijaminkan utk mendapatkan kredit juga harus dicarikan solusinya. Dg seleksi ketat hasil inkubasi, harusnya negara sdh mampu meyakinkan atau bahkan menjadi penjamin agar institusi jasa keuangan dpt mempermudah kredit pd pelaku ind kreatif. #KotaBekasi25thn

Kuncinya ada pada keberpihakan yg berlandaskan kebijakan sbg turunan dari strategic planning. Harus ada visi besar yg diemban. Sy tahu persis Plt Walikota @mas_triadhianto punya mimpi yg gak sederhana pd #KotaBekasi25thn. Harus kita dukung!

Akhirnya, sy ucapkan selamat HUT #KotaBekasi25thn. Di kota ini mimpi & asa terajut menjadi satu bersama langkah & kerja besar. Betapa kita cinta pd kota ini, jgn pernah mengkhianatinya lagi! Tks. #End

https://twitter.com/muhfikriaziz/status/1501576088526356483?s=21

“The Psychology of Money” & Masa Depan Ekonomi Perilaku

Di satu pesta yang diadakan seorang miliarder di Shelter Island, Kurt Vonnegut memberi tahu kawannya, Joseph Heller, bahwa tuan rumah mereka, seorang manajer dana lindung nilai, mendapat lebih banyak uang daripada semua yang didapat Heller dari novel sangat populernya Catch-22. Heller menjawab, “Ya, tapi saya punya sesuatu yang dia tak akan punya… rasa cukup.”

 

Penggalan cerita tersebut merupakan salah satu yang berkesan cukup dalam bagi saya dari sekitar sembilan belas cerita yang ditulis oleh Morgan Housel dalam buku The Psychology of Money. “Rasa cukup” istilah yang sangat bertenaga untuk menggambarkan betapa seringkali kita keliru memandang uang. Karena selama ini uang dimaknai sebagai alat transaksi yang dengannya semua menjadi mudah untuk kita dapatkan. Kemudian upaya mendapatkannya selalu menjadi prioritas utama kehidupan semua orang. Setelah kehidupan berjalan seperti yang kita tahu, apakah kita cukup memahami tentang uang? Sayangnya tidak.

 

“Kita semua berpikir kita tahu cara kerja dunia. Namun kita semua hanya mengalami sebagian kecilnya.”, Kata Housel. Dia menjelaskan dengan sangat teliti bahwa sebagian besar  orang menilai uang seringkali melalui cara pandang matematis. Tanpa pernah tahu apa perasaan pialang saham yang mengalami kerugian yang besar lalu pulang dengan pikiran kosong karena harus menjelaskan banyak hal kepada keluarganya. Atau para pekerja lepas harian yang tidak mampu mendapatkan uang atau malah sudah mendapatkan uang tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

 

Secara umum keputusan manusia untuk mendapatkan uang karena ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan keputusan untuk menggunakannya seringkali bukan seperti motivasi pada awal keputusan itu dibuat. Keputusan menggunakan uang tidak berdasarkan spreadsheet rencana pengeluaran namun seringkali lahir dari ruang rapat, makan malam bersama teman, ngopi-ngopi atau kegiatan sosialisasi lain. Jadi ada hubungan yang amat kuat antara uang dengan suasana jiwa manusia, dan sangat terlihat dari cara kita memutuskan untuk menggunakannya.

 

Tak heran jika dari sekian tokoh penerima nobel dalam bidang ekonomi, terselip dua orang berlatar belakang psikologi; di tahun 2002 Daniel Kahneman (penulis buku best seller Thinking, Fast & Slow) dan di tahun 2017 Richard Thaler (penulis buku Mis-behave). Keduanya banyak meneliti tentang perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi (Economic Behavior). Dan dewasa ini ditengah ketidakpastian global, kita tidak lagi memperdebatkan apa mazhab ekonomi yang mampu menyelesaikan krisis berkepanjangan yang sedang dihadapi dunia tanpa tahu ujungnya. Namun yang pasti, dimasa depan yang akan bertahan untuk tetap relevan adalah manusia beserta seluruh perilakunya. Bukan lagi mazhab ekonomi sosialisme, kapitalisme, neo-liberalisme atau apapun. Kita anggap semua itu sudah tamat dengan segala catatan sejarah baik dan buruknya.

 

Psikologi didalam ekonomi sangat membantu sebagian besar orang keluar dari jebakan kerakusan. Perasaan cukup atas apa yang didapat dan dimiliki sejatinya menyelamatkan kehidupan bersama. Tak ada sistem ekonomi yang mampu mengatasi keserakahan. Dan ketamakan sebagian kecil orang di dunia ini terbukti telah menjadi bencana bagi sebagian besar manusia dan bahkan ekologi kehidupan secara umum. Karenanya rasa cukup adalah kosakata radikal ditengah modernitas yang mengedepankan perlombaan gengsi dengan gaya hidup konsumerisme yang nyata-nyata membawa kita pada lorong gelap panjang krisis multidimensi.

 

Ekonomi Perilaku akan semakin relevan tampil dimasa depan karena memiliki potensi digunakan bersama oleh para pelaku ekonomi. Dunia sedang menunggu jawaban atas pertanyaan kronik tentang jalan keluar dari ketimpangan dan ketidaksetaraan ekonomi negara-negara. Cuma masalahnya, para punggawa Ekonomi Perilaku harus mampu memperluas spektrum teori yang tidak hanya berkutat pada penelitian seputar marketing dan keputusan konsumen. Perlu diperluas lebih dalam hingga dinamika ekonomi strukturalis yang termasuk didalamya meneliti tentang korelasi antara ekonomi dengan politik, sosial, budaya dan seluruh sektor penting dunia.

 

Ekonomi adalah manusia itu sendiri. Setiap keputusan manusia untuk dirinya sendiri memiliki efek ekonomi bagi orang lain. Dalam konteks yang lebih besar, negara juga harus berpikir demikian. Keputusan membelanjakan sesuatu hanya untuk kepentingan yang tidak penting apalagi tidak mendesak harus nihil didalam “otak” negara. Ilmu ekonomi dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bersama dalam skala yang besar, namun akar filsafatnya sebenarnya sama. Dalam skala apapun, baik individu maupun negara, hutang tidak boleh lebih besar dari pendapatan. Itulah mengapa untuk hidup sejahtera dan memiliki kesan “cukup kaya” yang diperlukan adalah cukup masuk akal bukan rasional.

 

Memiliki hutang yang besar walaupun disertai dengan pendapatan yang sama besar adalah tindakan rasional. Namun apakah hal terebut masuk akal? Tentu saja tidak. Hal tersebut yang terjadi di Amerika Serikat pada rentang waktu antara 1945 hingga 1960 ( pasca Perang Dunia II, di awal Perang Dingin ). Akibatnya dirasakan bangsa Amerika 20-30 tahun kemudian. Istilah mudahnya, semua hutang harus dibayar lunas, waktu hanya bisa menundanya. Dan kita hidup saat ini pada zaman ketika semua hutang tersebut sedang jatuh tempo. Apakah fenomena tersebut terjadi juga di Indonesia? kurang lebih sama.

 

Kerakusan tak bisa diselesaikan oleh kerakusan berikutnya. Namun sayangnya otot pengetahuan kita saat ini amat terbatas untuk keluar dari jebakan hutang. Membayar hutang dengan menciptakan hutang baru bisa jadi benar secara teori ekonomi, apalagi jika yang melakukannya adalah negara. Namun disisi lain kita sebagai manusia juga punya tanggung jawab peradaban. Perilaku kita sebagai spesies ekonomi akan memiliki efek mata rantai ekonomi dalam skala besar. Oleh karenanya perlu juga bagi kita untuk berpikir ulang tentang definisi uang.

 

Uang menurut Y.N. Harari hanyalah nilai yang ada dalam imajinasi kita. Bukan kenyataan material, uang merupakan produk psikologis. Kata terakhir harus kita garis bawahi dengan seksama. Karena dalam sejarahnya bentuk uang terus mengalami perubahan. Dari kulit kerang, emas, logam hingga kertas seperti sekarang atau bahkan kode digital berbasis algoritma seperti yang akan datang kemudian hanyalah produk fisik yang disepakati secara kolektif. Namun yang tetap relevan adalah posisi uang dipikiran manusia sebagai produk psikologis yang melahirkan sistem kepercayaan universal. Membuat seluruh manusia saling percaya bertukar kebutuhan yang saling berbeda. Bahkan hal itu yang tak bisa dilakukan oleh agama sekalipun. Hingga kemudian uang menjadi puncak toleransi bagi seluruh manusia apapun latar belakangnya. Sebenci-bencinya Osama Bin Laden dengan Amerika Serikat, kita tak bisa menghindar pada satu fakta bahwa dia senang memiliki Dollar Amerika dan menggunakannya untuk alasan “suci” yang dia yakini.

 

Uang sebagai produk psikologis sangat ditentukan oleh kejiwaan manusia. Dan secara bentuk fisik uang hanyalah produk netral yang bisa dipakai oleh siapa saja. Oleh karena itu penggunaan uang dipengaruhi oleh banyak hal dan sebagian besarnya bukan karena pertimbangan sistem keuangan yang mafhum dikembangkan pada zaman modern. Termasuk cara mendapatkan dan mempertahankannya. Untuk mendapatkannya kondisi psikologis orang harus dominan diliputi optimisme dan keberanian. Sedangkan mempertahankan kekayaan jauh lebih sulit, karena harus berlaku sebaliknya; dominan diliputi kehati-hatian dan rasa takut yang besar.

 

Rasa cukup memang berbeda bagi tiap-tiap jiwa. Namun ada pengertian yang benar tentang kondisi dimana orang sudah memiliki kekayaan yang sebenarnya. Yaitu ketika kita bisa melakukan apa yang kita mau, kapanpun kita mampu melakukannya dan bersama siapapun yang kita inginkan. Untuk mewujudkan semua kemudahan itu, ada dua hal yang harus kita capai terlebih dahulu; flexibility dan freedom of time.

 

Ketidakpastian global mengarahkan kita untuk kembali duduk merenung sejenak. Berpikir dengan tenang tentang masa depan umat manusia beserta seluruh sistem yang menjadi penyebab kerusakan sekaligus sistem yang akan membawa kita keluar dari krisis panjang ini. Pertanyaan paling mendasar hari-hari ini adalah apa yang tersisa nanti dimasa depan? Yang paling lama bertahan yang akan tetap ada. Berusaha tetap relevan adalah tugas kehidupan manusia yang hidup saat ini. Dari sekian banyak cara untuk tetap relevan ditengah kebuntuan gagasan, mengembangkan diskursus mengenai Ekonomi Perilaku yang menyatukan antara konsep psikologi manusia dan teori-teori ekonomi yang ada adalah salah satu upaya untuk lebih menguatkan posisi manusia dihadapan robot-robot ciptaan yang sepertinya akan lebih pintar dari penciptanya.(*)

 

Pandemi & Narasi Kemajuan (Belajar Dari Sejarah)

Satu demi satu korban berjatuhan. Menit demi menit kabar duka datang berseliweran. Seolah semua sedang menunggu giliran. Wabah ini begitu mengerikan, mudah sekali manusia terpapar, konon katanya hanya dengan berpapasan dapat menular. Virus yang super kecil itu mampu bergentayangan diudara selama beberapa jam. Entah benar atau tidak, mereka yang dinyatakan positif tertular telah tembus puluhan ribu tiap harinya. Itu hanya di Indonesia, belum diseluruh dunia.

 

Kengerian ini makin menjadi-jadi. Fasilitas kesehatan masyarakat seperti rumah sakit dari mulai Instalasi Gawat Darurat (IGD) hingga Intensive Care Unit (ICU) penuh oleh pasien yang mengalami perburukan saturasi oksigen. Rumah sakit mengalami kekurangan daya tampung sehingga tak mampu lagi menerima pasien. Akibatnya, banyak pasien meninggal dunia dalam antrian atau meninggal dalam isolasi mandiri di rumah. Isolasi mandiri ini anjuran petugas atau tenaga kesehatan, jika pasien yang dinyatakan positif Covid-19 hanya mengalami gejala ringan seperti demam atau batuk tanpa ada sesak nafas.

 

Hampir semua informasi tentang virus ini datang dengan berbagai macam versi. Mungkin karena virus ini jenis penyakit baru sehingga hampir seluruhnya masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan bahwa Orang Tanpa Gejala (OTG) yang telah di uji usap dan dinyatakan positif, mereka dianggap bisa menularkan. Namun informasi lain mengatakan tidak karena belum ada penelitian yang menyimpulkan demikian. Gegara simpang siur informasi tersebut, belakangan mengubah persepsi kita tentang istilah “sakit” itu sendiri; mereka yang nampak sehat tanpa ada gejala apapun, kita anggap sakit dan ajaibnya kita percaya mereka bisa menularkan penyakit pula.

 

Kebingungan massal merebak. Wabah ini bukan hanya berimbas pada mereka yang terpapar, tapi juga menjangkiti pikiran semua orang yang masih sehat. Hidup seperti tidak bisa kembali lagi layaknya hidup normal sebelum pandemi terjadi. Hari-hari kita sekarang diliputi panik, cemas dan curiga. Padahal kata ilmuwan, hanya antibodi diri kita sendiri yang mampu melawan virus itu. Dan antibodi ini tak bisa muncul dari jiwa yang takut, panik, dan cemas. Tak disangka kita akhirnya mengalami pergumulan sejarah yang penuh dengan paradoks seperti saat ini.

 

Ditengah situasi penuh paradoks ini saya mengulang membaca sejarah peradaban umat manusia. Muncul pertanyaan dikepala saya, pernahkah umat manusia mengalami peristiwa menakutkan seperti saat ini di masa lalu? Ternyata pernah. Membaca sejarah bagi saya bukan hanya diniatkan untuk menambah pengetahuan tentang apa-apa yang kita tidak tahu di masa lalu, tetapi juga amat penting untuk mengalihkan situasi jiwa yang amat membutuhkan teropong yang utuh dalam melihat masalah yang begitu akut kita rasakan seperti saat ini. Pandangan makro dengan cara meneropong jauh kebelakang dirasa perlu untuk sejenak mengalihkan  penglihatan mikroskopis yang terlalu fokus dengan masalah yang belum ada jawabannya. Hal tersebut bisa menghasilkan suasana jiwa yang lain. Setidaknya sedikit memberi perasaan bahwa ternyata didunia ini, bukan hanya kita, manusia yang hidup saat ini yang pernah merasakan situasi mengerikan semacam ini.  

 

Pada abad ke-13, ketika berlangsungnya “Pax Mongolica” atau pengaruh kuat dalam sosial, budaya dan ekonomi yang ditanamkan oleh kekaisaran Mongol yang telah menaklukan sebagian besar Asia dan sebagian kecil Eropa, terjadi pandemi wabah penyakit pes yang disebabkan oleh kuman Yersinia Pestis. Yang menyebabkan wabah ini meluas adalah jejaring inter-komunikasi pada zaman itu yang lazim dilakukan oleh kurir berkuda dari orang-orang Mongol. Kurir mongol rutin berkuda dengan kecepatan tinggi sejauh ratusan kilometer tiap harinya. Kutu yang terinfeksi terbawa oleh penumpang atau kurir yang dapat berpindah hingga ribuan kilometer. Sebagai gambaran saja kurir berkuda saat itu seringkali melakukan perjalanan dari ujung kaki pegunungan Himalaya hingga hutan Siberia.

 

Dengan cara demikian, kutu terinfeksi yang terbawa dari Himalaya sampai ke hutan utara bertemu banyak hewan pengerat, calon inang, yang belum pernah bertemu parasit yang dibawanya. Penyakit berubah menjadi ganas, sebagaimana penyakit bila menemukan inang baru. Keganasan itu berpindah dari sesama hewan pengerat ke tubuh manusia yang sengaja lewat. Kemudian penyakit itu mengalir ke Barat melalui sepanjang jalur sutera. Menginfeksi Eropa hingga menewaskan sepertiga penduduk Eropa saat itu atau sekitar 75 juta jiwa!. Dengan keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu yang dimiliki dunia, peristiwa wabah itu terjadi selama beberapa dasawarsa. Sejarah mencatat peristiwa itu dengan sebutan “Black Death” atau Wabah Hitam.

 

Pada rentang waktu itu, Eropa dan gereja sebenarnya baru selesai kalah perang pada putaran ke delapan dari bagian Perang Salib pendek (1095-1270) di Suriah. Pasalnya, beberapa sejarawan meyakini jika Perang Salib sebenarnya lebih panjang bahkan baru benar-benar berakhir pada abad ke-17. Bisa dibayangkan kondisinya, sudah kalah perang kemudian diserang wabah berpuluh tahun.

 

Yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap gereja katolik secara perlahan. Para pendeta berkhotbah meminta pengikutnya untuk banyak berdoa kepada Tuhan tapi tetap saja mati terpapar wabah. Hingga menjelang akhir abad ke-13, perlawanan makin menjadi. Gereja pada waktu itu masih menggunakan bahasa dan huruf latin dalam Al-Kitab, karena dianggap keramat.  Dimulailah pertentangan oleh mereka yang ingin menerjemahkan Al-Kitab kedalam bahasa lokal sehari-hari. Sebabnya, mereka tidak percaya kalau gereja selama ini  tidak membohongi mereka dalam menjelaskan isi Al-Kitab.

 

Apa respon gereja? Mereka menganggap hal tersebut adalah pelanggaran terhadap kesucian ajaran Kristen dan menuduh para pembangkang sebagai kelompok “bid’ah”. Dan mulai menghabisi mereka satu persatu, mereka yang berani menerjemahkan Al-Kitab dibakar hidup-hidup. Sikap gereja tersebut bukannya mendapat simpati tetapi malah lama kelamaan membuat gelombang perlawanan yang makin membesar hingga bertahun-tahun berikutnya. Dari situ kelak akan lahir sebuah sekte Kristen baru yang sampai hari ini kita sebut sebagai Kristen Protestan.

 

Pada tahun 1519, seorang biarawan sekaligus pengajar bernama Martin Luther di Jerman menerbitkan tulisan; “Sembilan Puluh Lima Kritik atas Gereja Roma”. Kritik utama Sang Teolog ini utamanya tentang “surat pengampunan dosa”. Karena saat itu gereja “mengobral” surat pengampunan dosa dengan tujuan komersil. Penyebabnya ada pada sejarah panjang Perang Salib. Surat Martin Luther tersebut seperti percikan api yang membakar mesiu ditengah upaya gereja bersusah payah mempertahankan kredibilitas setelah perang dan wabah. Dan pergerakan protestan terus berlanjut hingga menghasilkan banyak aliran ajaran Kristen serta kerajaan sekuler.

 

Perang saudara berlanjut hingga dua abad dan berakhir dengan Perdamaian Westfalen pada 1648. Perdamaian itu berisi kesepakatan diantara masing-masing penguasa sekuler untuk menentukan versi ajaran Kristen yang mereka akan anut untuk wilayahnya. Dan pada akhirnya, perang saudara di Eropa ini adalah benih suatu kontrak sosial baru yang kelak disebut sebagai; Negara-Bangsa.

 

Konflik gereja tersebut bukan hanya menghasilkan sebuah tatanan sosial baru yang kelak akan muncul dan masih kita gunakan hingga sekarang. Namun juga menghasilkan pergolakan ilmu pengetahuan. Kebangkitan ilmu pengetahuan yang kelak disebut science serta scientist bagi para punggawanya, berawal dari gesekan konflik didalam gereja. Copernicus, menemukan teori Heliosentris, yang meyakini bahwa matahari adalah pusat dari sistem tata surya sehingga bumi yang kita huni juga ikut mengelilinginya adalah orang gereja. Dia mengoreksi teori Geosentris yang dicetuskan Ptolemeus pada abad ke-2 SM. Copernicus memiliki seorang murid yang bernama John Kepler yang juga orang gereja, yang kemudian menyempurnakan teori Heliosentris. Kepler dengan semangat skolastik ala gereja berpikir bahwa ciptaan Tuhan mesti mencerminkan kesempurnaan Tuhan. Dia menyempurnakan ide Heliosentris dengan menambahkan satu asumsi elegan: bahwa jalur planet yang mengelilingi matahari bukan berbentuk lingkaran, tapi berbentuk elips. Dan posisi planet yang mengelilingi matahari dapat dihitung secara presisi melalui matematika.

 

Hingga abad ke-18 filsuf alam yang kelak disebut scientist, terus bermunculan. Dan kemunculannya bukan atas dasar falsafah materialisme. Ada narasi besar baru yang terbentuk di Eropa Barat. Yang pada zaman itu memiliki saingan berat; Narasi Restorasi di peradaban Timur (baca: Dunia Islam). Narasi besar baru tersebut adalah Narasi Kemajuan, yang lahir dari pergolakan panjang gereja katolik yang berkelindan diantara perang dan wabah. Dan narasi tersebut terbukti mengungguli restorasi peradaban Timur yang terus saja mengulang-ulang kehebatan Madinah abad ke-7.

 

Sampai disini kita bisa memahami, seringkali sejarah membentuk pola. Bencana yang pada awalnya begitu mengerikan kemudian membentuk keteraturan yang langgeng. Tak pernah disangka sebelumnya, bangsa Eropa bersama gereja mengalami kesengsaraan bertubi-tubi karena perang yang tak dapat dimenangkan serta wabah yang panjang. Kemudian menimbulkan reaksi alamiah dari dalam berupa ketidakpuasan yang berujung pemberontakan. Dan pergolakan tersebut kelak melahirkan dua  hal penting bagi peradaban, yaitu terciptanya embrio  Negara-Bangsa dan peletak dasar kemajuan Ilmu Pengetahuan.

 

Akankah pandemi Covid-19 kelak akan melahirkan keteraturan baru? Tergantung narasi apa yang muncul dikepala kita; Narasi Kemajuan atau Narasi Restorasi. Narasi Kemajuan berarti kemampuan merumuskan peta jalan ditengah ketidakpastian sistemik yang melanda seluruh dimensi. Sedangkan Narasi Restorasi biasanya adalah perasaan yang belum selesai dalam konteks mewujudkan mimpi masa lalu. Imajinasi baru tentang dunia dimasa depan sangat penting ditengah bencana yang bertubi ini. Justru disaat ini pikiran kita harus sering-sering dialihkan pada bentuk atau model peradaban seperti apa kelak pasca pandemi. Istilah “New Normal” yang tercetus untuk mendefinisikan cara hidup baru bersama pandemi akankah cukup untuk menggambarkan kelanggengan peradaban kedepan? Tentu saja tidak. Karena tema peradaban adalah tema yang sophisticated. Banyak dimensi yang harus diikut sertakan dan semuanya harus memiliki relevansi yang utuh.

 

Namun yang tidak kalah penting juga, kita harus mendalami fenomena sosial, politik dan ekonomi mutakhir. Misalnya apakah melemahnya posisi negara akibat globalisasi disertai dengan krisis ekonomi dan sosial bahkan politik yang menimpa negara-negara di dunia saat ini, mirip dengan pergolakan antara gereja katolik dengan penganut Kristen yang dilanda kecemasan kolektif pasca perang dan wabah? Disertai pula dis-trust terhadap gereja, apakah juga sama dengan fenomena meluasnya dis-trust rakyat terhadap negara sebagai institusi yang diyakini selama beberapa abad terakhir mampu melahirkan keteraturan? Jika iya, maka sejarah sedang mengulang dirinya sendiri.

 

Cuma masalahnya, kemana gerak langkah narasi kemajuan? Kita termasuk bagian dari narasi tersebut atau tidak. Fenomena “Singularitas” layak kita jadikan sebagai sebuah contoh. Singularitas Teknologi misalnya, adalah suatu masa dimana kecerdasan buatan akan melampaui kecerdasan manusia. Kalau sudah kejadian maka peradaban umat manusia akan berubah. Walaupun  fenomena singularitas sulit diprediksi, tapi satu yang pasti upaya kearah sana makin hari makin terlihat mengalami kemajuan. Saya meyakini fenomena singularitas adalah salah satu narasi kemajuan yang sedang terjadi saat ini. Berikut fenomena lain yang telah dan akan mendisrupsi tatanan dunia yang masih eksis. Sebut saja misalnya Digital Economy, Green Energy, Block Chain dan lain sebagainya.

 

Dan narasi kemajuan tak meminta kita untuk selalu mempercayainya. Banyak diantara kita yang masih mengganggap beberapa fenomena baru yang muncul sebagai konspirasi pihak-pihak yang ingin menguasai dunia. Dan sekali lagi, sejarah mengulang dirinya sendiri. Pada suatu hari ditahun 1307, Raja Perancis Philippe IV memutuskan menghapus utangnya dengan cara menangkap dan menghabisi Kesatria Templar. Kesatria Templar adalah ordo yang dibentuk tahun 1119 setelah Perang Salib I tahun 1096. Tugas awalnya adalah mengawal dan memastikan peziarah yang datang ke Yerussalem  pergi dan pulang dengan selamat. Namun pekerjaan mereka berkembang hingga menjaga harta benda para peziarah Eropa yang notabene sebagian besarnya berupa emas dan perak. Kemudian para Kesatria Templar tersebut melakukan inovasi demi efektifitas dengan cara menyimpan emas dan perak tersebut lalu mereka menerbitkan “surat kredit” sebagai tanda bahwa peziarah sudah mempercayakan harta mereka. Bisnis para Kesatria ini berkembang pesat keseluruh Eropa. Dan praktik itu adalah cikal bakal Bank yang kita kenal hingga sekarang.

 

Kesatria Templar resmi menjadi bankir internasional pertama di dunia. Mereka memberikan pinjaman kepada sebagian besar raja Eropa. Orang menganggap kalau mereka bisa meminjamkan banyak uang, maka mereka mesti punya uang yang amat banyak. Dan salah satu yang menganggap demikian serta memiliki segunung utang kepada Kesatria Templar adalah Raja Philippe IV. Yang menarik adalah cara Raja menghabisi Kesatria Templar, dia menggalang dukungan rakyat seraya menghembuskan isu yang kemudian sangat dipercaya oleh rakyat; bahwa Kesatria Templar adalah ordo yang secara rahasia mengendalikan dunia dan mendalangi segala kehajatan, dari mulai gagal panen hingga wabah penyakit yang melanda Perancis di era penuh bencana itu.

 

Setelah Kesatria Templar dihabisi, beberapa diantaranya dibakar hidup-hidup ditengah ratusan pasang mata. Anak buah Raja menggeledah rumah-rumah dan kantor-kantor para Kesatria Templar, mereka tak menemukan banyak emas. Yang mereka temukan hanya buku catatan yang berisi angka-angka. Sementara itu, gagal panen hingga penyakit yang membuat rakyat Perancis sengsara tetap berlanjut, walaupun Kesatria Templar sudah tidak ada. Apa yang kemudian ada didalam benak masyarakat waktu itu? Mereka terbelah dua. Ada yang berpikir bahwa Raja Philippe IV yang juga didukung Paus saat itu telah berbohong. Namun tak sedikit yang berpandangan bahwa Kesatria Templar masih bertahan dan masih mengendalikan dunia dari tempat yang amat rahasia. Dan sampai hari ini cara berpikir yang terakhir masih bertahan  hingga hari ini, sering kita sebut sebagai Teori Konspirasi.

 

Pada akhirnya ketika rakyat biasa sibuk memusatkan perhatian pada jejak misterius Kesatria Templar, penggunaan uang makin marak dan Bank-Bank ramai bermunculan hingga sekarang. Pelajaran yang bisa diambil adalah narasi kemajuan akan terus berjalan entah kita percaya atau tidak.(*)

 

House of Cards; Demokrasi, Populisme Islam hingga Politik Lokal (re-post)

Salah satu “prestasi” saya yang agak membanggakan adalah, memanfaatkan waktu libur lebaran kemarin dengan menonton serial film “House of Cards”. Tayangan serial tv yang disiarkan Netflix tersebut mampu bertahan hingga session 6 (final session) sejak mulai dirilis pada tahun 2013. Kevin Spacey, aktor sekaligus produser serial tersebut, sangat menguasai situasi dan kondisi politik Amerika seperti sebenarnya (terlepas muncul masalah hukum serius kepadanya menjelang berakhirnya session terakhir). Seolah kita diperlihatkan muka asli politik dan politisi Amerika berikut kisah soal ambisi dan pengkhianatan yang sehari-hari menjadi tipologi dan karakter politik “machiavellianism”; menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

The road to power is paved with hypocrisy and casualties” kata Frank Underwood, anggota kongres Amerika dari Partai Demokrat sebagai pemeran utama yang diperankan oleh Kevin Spacey tersebut. Menjadi munafik atau menjadi korban adalah pilihan yang penuh resiko dalam politik. Keduanya adalah efek langsung dari jalan perebutan kekuasaan. Mungkin saja kita menolak cara berfikir Frank tersebut. Karena dewasa ini teori politik yang sudah berkembang secara jamak dimasyarakat adalah politik merupakan cara mulia untuk mencapai terwujudnya keinginan bersama. Konsep normatif ini tentunya bagus agar kemudian para fatalis yang antipati terhadap politik menjadi punya pertimbangan lain.

Bagi nalar yang sehat, politik merupakan kondisi aksiomatik. Aristoteles mengajukan istilah “Zoon Politicon” atau binatang yang berpolitik. Adalah sindiran tepat untuk menyelesaikan perdebatan seputar kekotoran politik. Ini soal akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Politik dapat membedakan manusia dan binatang. Tanpa politik manusia tak ubahnya seperti binatang. Karena itu kemuliaan manusia menurut ide tersebut terletak pada cara hidup dengan politik atau tidak dengan politik.

Tapi kemudian bagaimana meletakkan konsep aksioma politik tersebut kedalam cita-cita ideal dalam politik itu sendiri, yang akan menjadi perjalanan penuh tantangan. Niat tak bisa dihakimi karena terlalu samar untuk dinilai. Bagi politisi yang meraih simpati publik, idealisme bisa disuarakan secara terbuka dan biasanya menjadi “jualan” kampanye yang efektif. Namun kesuksesan politik seringkali ditentukan oleh perjuangan di ruang tertutup. Idealisme terlalu besar dan mewah untuk masuk dalam ruang gelap, pengap dan tertutup. Seringkali kontradiksi ini menjadi masalah laten.

Ada yang bilang bahwa ini hanya soal cara mengelola. Betulkah? Bisa jadi jika kita malas mencari akar persoalan sesungguhnya. Kontradiksi antara ruang tertutup dan terbuka akan menjadi lingkaran setan yang tak ada ujung. Namun melawan praktik politik yang terlanjur membiasakan kesepakatan diruang gelap tersebut juga akan sia-sia dan akan menyebabkan alienasi baru; keluguan berpolitik. Lalu harus bagaimana?

Di Negara ini semua perangkat keras politik dan sistem demokrasi-nya sejauh ini telah lengkap. 20 tahun transisi dari otoritarianisme hingga demokrasi prosedural yang makin liberal ini, merupakan momentum untuk mengisi perangkat keras tersebut dengan nalar dan konstruksi berpikir yang sehat.

Populisme menjadi menarik karena konsep ini mengisi ruang kosong yang gagal diisi oleh variasi ideologi yang jatuh bangun diterima atau ditolak oleh publik. “The End of Ideology” istilah yang disodorkan oleh Fukuyama menjelang berakhirnya perang dingin menjadi relevan untuk direnungkan. Pretensi dan asumsi setelah berakhirnya era idelogisasi politik itu yang menarik untuk dikejar lebih lanjut. Konflik antara agama dan demokrasi seperti yang diajukan oleh Huntington juga seperti menemukan bukti mutakhir. Namun ternyata makin kesini, buah pikir para futuris tersebut makin tak terbaca. Populisme dan didukung oleh kemajuan teknologi dewasa ini menggagalkan kerangka berpikir yang “vis a vis”, bipolaris atau bahkan perang konvensional.

Upaya untuk mengisi perangkat politik dengan konten yang padat akan nilai intelektualitas dan capaian masa depan harus terus dilakukan tanpa lelah. Dalam konteks politik lokal, upaya ini harus terus dipaksa. Politik lokal harus naik level. Perlu dibuat rumusan secara spesifik dan detil. Yakinlah bahwa ortodoksi pikiran dan pengelolaan tradisional dalam cara berkuasa atau cara melanggengkan kekuasaan akan punah sebentar lagi. Ini telah terbukti diseluruh belahan dunia. Populisme akan menjadi seleksi alam yang paling efektif dan efisien. Tanpa sadar kita sudah tiba pada era baru pengelolaan politik; digitalisasi demokrasi.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi nafasnya. Momok ruang tertutup akan tersapu oleh teknologi dan akan segera berhadapan dengan generasi baru politik Indonesia; tak peduli apa yang terjadi dahulu, kritis terhadap hari ini dan menolak putus asa pada masa depan. Secara alamiah kita akan tiba pada masa yang akan menempatkan isi kepala sebagai syarat utama dalam kontes demokrasi. Pranata demokrasi akan segera matang dan  berlaku tanpa perubahan dalam jangka waktu yang signifikan. Masyarakat terdidik akan segera tumbuh. Civil society yang sadar akan hak-hak (karenanya isu hukum akan mendominasi ruang publik) serta keterbukaan pikiran atas budaya baru yang akan tiba secara massif (open mind society).

Ditengah situasi yang serba terbuka tersebut, kesepakatan demi kesepakatan politik akan makin terbuka. Akan terjadi “zero-zero sum game”. Semua kalangan akan memiliki titik mulai yang sama. Namun tak bisa kita artikan bahwa akan menutup habis peluang terjadinya ruang tertutup dalam politik. Ruang gelap itu akan tetap ada, tetapi yang akan berbeda adalah isinya. Inilah yang dimaksud meningkatnya level politik lokal. Tema politiknya akan meningkat bukan sekedar pada rutinitas dan praktik politik antara legislatif dan eksekutif. Namun akan mulai berbicara soal hal-hal makro sekaligus mikro pengelolaan pemerintahan yang akan membuka jalan pikiran elit politik dan masyarakat secara luas.

Seiring perubahan demografi, persepsi soal pembangunan juga akan berubah. Tema soal pembangunan infrastruktur maupun sisi gelapnya, setahap demi setahap akan kehilangan narasinya. Dan akan digantikan oleh tema-tema yang lebih segar karena kecenderungan pergeseran demografi tersebut. Apalagi jika itu terjadi dalam lingkup Kota bukan Kabupaten. Misalnya kalau sekarang banyak orang memandang penting terbangunnya jalan raya yang mulus, kedepan pembahasan akan berubah menjadi pentingnya akses internet gratis kesemua wilayah kota secara massif bahkan lebih dari itu, akan merambat kearah isu lain seperti mekanisasi atau robotisasi aspek pelayanan publik. Tanpa mempertentangkan-nya secara diametral, karena urusan pembangunan jalan akan diangap standar minimum pelayanan yang sudah harus otomatis terlampaui. Apalagi jika ada perubahan yang radikal pada sistem pendidikan, niscaya akan mempercepat perubahan lanskap politik dalam konteks lokal tersebut.

Suka atau tidak, cepat atau lambat perubahan ekstrem akan sampai. Korban pertama dari perubahan tersebut salah satunya adalah politisi dan tentunya partai politik. Kemampuan antisipasi keduanya sangat berpengaruh terhadap kelanggengan. Di masa depan, sumber daya menjadi lebih beragam dan agak sulit terbaca oleh konservatisme khususnya dalam pikiran. Katakanlah kita belum mampu ikut menciptakan masa depan yang ekstrem itu, tapi membuat rencana antisipatif tetap harus dilakukan. Kalau  kita akan kehilangan semangat zaman. Dan dewasa ini semangat zaman bisa kalah oleh ego segelintir elit yang masih merasa relevan.

Belum lagi jika kita mendalami kajian prediksi eksistensi Negara dimasa depan. Ketika Negara dianggap tak lagi relevan dalam menjawab tantangan peradaban umat manusia. Negara-bangsa yang telah berumur hampir tiga abad ini direncanakan akan punah karena secara global warga dunia telah sedikit demi sedikit namun pasti dan alamiah mereduksi peran dan fungsi Negara. Kecanggihan teknologi dan gejolak pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi langsung terhadap fenomena ini. Bahkan keraguan terhadap eksistensi Negara tersebut direspon secara berlebihan hingga muncul lompatan imajinasi yang menggambarkan bahwa dunia ini telah akan menemui akhir waktu (kiamat). Perdebatan seputar bentuk kiamat dan bentuk kehidupan sesudahnya makin tajam dipermasalahkan oleh para pemikir hingga para pelamun. Terlepas dari dialektika tersebut, kata kunci yang harus digenggam erat adalah kemampuan antisipatif. Ini adalah standar minimal bagi kita yang cenderung abai terhadap kemampuan menciptakan masa depan.

Populisme dalam konteks agama khususnya Islam yang dewasa ini sedang berkembang. Sejatinya menjadi tidak terlalu menarik kalau diproduksi secara berlebihan menjadi komoditas politik elektoral dalam hal ini pilkada. Diskursus nya berkembang menjadi klaim revivalisme kalangan Islam politik. Ditengah kecurigaan yang belum selesai antara Islam dan politik itu sendiri. Ini merupakan babak baru dari proyek Islamic phobia yang massif dilakukan oleh kekuatan besar untuk memperpanjang kecurigaan warga dunia terhadap ide Islam rahmatan lil ‘alamin yang sejatinya tak perlu dipertentangkan lagi. Dan kabar buruknya, banyak umat dan pemimpin umat yang terprovokasi meladeni permainan ini. Itulah populisme, ide yang bisa dipakai siapapun dan bisa membuang siapapun. Islam bukanlah ajaran yang baru bisa bangkit jika ada gelombang arus populisme. Islam justru harus masuk dan mendarah daging dalam hidup pribadi maupun kehidupan masyarakat. Disitulah pentingnya kalangan Islam politik harus memiliki agenda. Agenda yang disusun secara independen dan sinergis bukan menumpang gelombang atau memanfaatkan kesalahan lawan ideologi.

Melalui pemanfaatan teknologi akhirnya banyak yang simpati untuk kemudian “hijrah” setelah mendengar dan meresapi ide tentang Islam yang sesungguhnya. Kecenderungan ini sangat positif namun harus dipastikan bersama bahwa model pendekatan tersebut harus langgeng. Dan ide soal universalitas Islam harus senantiasa digaungkan keseluruh lapisan masyarakat sebagai bentuk dialektika budaya.

Membahas Islam, adalah membahas tentang nilai-nilai yang terkandung didalam politik yang akan menjadi diferensiasi dengan nilai-nilai politik yang ada dan berkembang di Indonesia. Secara nilai, demokrasi adalah ruang terbuka. Ide apapun bisa mengisinya asalkan sesuai dengan rules of the game-nya. Apa-apa yang kita bawa akan tampak dan terlihat serta diuji oleh semua.

Demokrasi adalah lahan  terbuka, ia tidak akan berbicara siapa kita, namun ia akan bertanya apa yang kita bawa. Karenanya kalau dalam konteks meningkatkan level politik Islam, yang dibutuhkan adalah Objektifikasi nilai-nilai Islam kedalam ruang terbuka yang dinamakan demokrasi. Tema ini terlalu sering dibahas namun selalu saja ada ganjalan datang dari luar dan dari dalam. Seolah tak mau menyelesaikan tema ini untuk naik pada level berikutnya yaitu; memimpin Negara. Semoga saja kesadaraan penuh akan segera tiba, bahwa perdebatan hanyalah seputar konteks bukan teks.

Langkah awal untuk meningkatkan level peradaban politik lokal salah satunya dengan meng-aktivasi kemampuan riset dalam segala aspek. Walaupun hanya beberapa aspek prioritas dan aktual yang ada pada politik lokal. Beberapa yang dominan misalnya seperti isu tentang anggaran penerimaan dan belanja daerah yang turunannya akan berpengaruh pada isu lain semisal keberpihakan pada pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Kita sering terbiasa melakukan proses politik tanpa riset. Padahal kalau tanpa riset yang konphrehensif, kita tak mampu membuat indikator pencapaian target apalagi menilai keberhasilan pembangunan. Pada akhirnya semua berujung pada kesepakatan politik saja. Dan itu merupakan bentuk lain dari kesepakatan politik yang lahir dari ruang gelap. Sudah habis masanya melakukan model pengelolaan politik dan pemerintahan tanpa riset yang mendalam. Akuntabilitas harus memiliki basis yang kuat, dan basis yang kuat lahir dari riset yang menyeluruh. Riset akan mencakup keseluruhan proses; mulai dari perencanaan, administrasi dan birokrasi, hingga eksekusi dan pemanfaatan serta ruang gerak politik yang terkandung didalamnya.

Namun politik lokal bukan hanya menyangkut rutinitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Peningkatan level peradaban tentunya harus juga menyangkut aspek sosial dan budaya. Yang menjadi objek dalam riset ini adalah manusia dan sumber daya sekitarnya. Budaya literasi masyarakat misalnya, tak ada Negara maju yang masyarakatnya minim membaca. Atau dalam hal kebebasan pers, tak boleh ada satu jurnalis atau media-pun yang membuat berita tanpa data atau minim kemampuan dalam menciptakan realitas. Karena dewasa ini media bukan lagi berperan mengabarkan fakta atau realitas, namun menciptakan fakta dan realitas. Belum lagi aspek budaya lokal yang berhubungan dengan sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal yang biasa menjadi hal klise namun di beberapa tempat di dunia mampu menaikan level peradaban masyarakatnya dan dikagumi oleh bangsa lain.

Tak ada daerah yang tak punya sejarah. Sejarah adalah kumpulan peristiwa pada titik-titik waktu yang cenderung berulang, didalamnya terkandung segala hal yang dapat mempengaruhi pola pikir dan cara hidup masyarakat pada daerah tersebut. Pembacaan para aktor politik lokal cenderung lemah terhadap sejarah dan budaya sehingga diskursus politik yang terjadi tak pernah menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan budaya yang telah terbukti berhasil menciptakan masyarakat yang bertahan (survival society) jauh sebelum keteraturan politik (political order) itu ada.

Kembali pada cerita tentang “house of cards”. Praktik menghalalkan segala cara adalah karakter politik yang hanya mengenal kalah dan menang. Dan memang mungkin saja hanya ada dua hal itu saja dalam politik. Aktualisasi capaian politik memang harus realistik dan kongkrit. Tak ada solusi menang-menang bagi yang berpikiran sempit. Namun selalu ada kemenangan bagi mereka yang dada dan pikirannya terbuka lebar. Level peradaban politik demikian tentunya bisa muncul jika lahir dari pribadi penuh isi kepala dan sumber dayanya. Permainan kekuasaan memang selalu meninggalkan cerita baik dan buruk. Baik bagi yang mendapatkannya, buruk bagi yang terlepas olehnya. Bisa jadi, kunci untuk memahami tingkat kesadaran politik hingga pada level kelapangan adalah keyakinan bahwa tak ada satupun kerja besar yang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri.

Sikap mental tersebut tetap perlu. Namun merencanakan desain politik yang diinginkan adalah syarat utama. Bagaimanapun “ghost protocol” yang selalu tanpa rencana, tanpa bantuan dan tanpa pilihan adalah cerita lain jika harus dilakukan pada situasi tertentu. Politik itu scientific. Bisa dipelajari dan diukur. Baik dalam kondisi normal atau emergency.

Konflik politik adalah niscaya. Yang membedakan adalah apa yang diselisihkan dan dengan cara apa kita berselisih dengan partner konflik tersebut. Itu yang membedakan level peradaban para politisi.

So’ being hipocricy or being casualty, what we are choosing? And if you don’t like how the table is set, just turn over the table! That’s a real politician with the high level of  civilization.  24/06/2018

Literasi Keuangan

Dalam ekonomi, jika kita mengklasifikasi keseluruhan aktifitasnya secara umum maka hanya terdapat 2 sektor yang mewakili sifat aktifitasnya; yaitu sektor Industri yang bergerak dalam aktifitas Hulu dan sektor Perdagangan yg bergerak mewakili aktifitas Hilir. Ada juga sektor pertanian dan pertambangan, tapi anggaplah itu bagian dari proses produksi (Hulu), karena didalamnya terdapat upaya menghasilkan atau mendapatkan sesuatu serta menciptakan nilai tambah.

Kedua jenis sektor tersebut, Industri & Perdagangan, bergerak berdasarkan skalanya. Ada yg besar sekali hingga sampai yang kecil dan kecil sekali. Kita anggap bahwa yang kecil dan kecil sekali adalah UMKM dengan segala jenisnya; dari mulai industri rumahan hingga pedagang eceran.

Indonesia dengan proyeksi jumlah penduduk di tahun 2020 dikisaran 271 juta jiwa, dengan prosentase gabungan berdasarkan umur (15-64 tahun) sebesar 66,5%. Kemudian dengan jumlah penduduk Rural (tinggal didesa), berdasarkan data Bank Dunia tahun 2015, sebesar 46%, yang artinya 54% masyarakat Indonesia adalah masyarakat Urban. Dan menurut data Bank Dunia tersebut, proyeksi pertumbuhan populasi Urban di tahun 2050 akan mencapai 67%.

Dari data diatas, Indonesia berpotensi memiliki usia produktif yang sangat besar dan populasi yang besar itu akan hidup didalam kota-kota dengan segala karakteristiknya. Apakah ini merupakan kabar baik dari sisi ekonomi? Tergantung apakah kondisi ekonomi Indonesia mampu menyerap pertumbuhan usia produktif yang tumbuh setiap tahun. Sederhananya, seberapa besar Indonesia mampu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja baru yang lahir tiap tahunnya. Karena kalau tidak hal ini akan menjadi bom waktu (angka pengangguran yang tidak terkendali) yang bisa meledak kapan saja.

Peluang untuk menangkap bonus demografi tersebut, sebenarnya sudah terkonfirmasi pada fenomena tumbuh suburnya semangat masyarakat pada tema seputar wirausaha atau yang lebih umum dikenal dengan Entrepreneurship. Secara natural masyarakat mengkonsolidasi kesadaran dan semangat bersama pada tema ini dan pada saat yang bersamaan mereka melepaskan kepercayaan pada pemerintah untuk bisa menjamin kehidupan dan masa depan ekonomi mereka sendiri.

Dan keterlepasan (decouple) tersebut melahirkan warga negara yang tidak percaya (citizen dis-trust) kepada negaranya. Dan akan melahirkan fenomena ketidak tergantungan pada negara. Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah babak baru dalam sistem kehidupan, yaitu “peoples over states”; masyarakat yang lebih kuat daripada negara. Dan tren itu akan makin besar pasca merebaknya pandemik Covid-19.

Menguatnya individu juga adalah fenomena “post-capitalism” yang menggugat globalisasi yang pada faktanya malah melahirkan “global gap” atau kesenjangan global. Aset kekayaan dunia tidak tersebar merata dan hanya menumpuk pada segelintir elit ekonomi politik. Di Indonesia misalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, ditahun 2020 ini total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 47,9 Milyar Dollar atau jika dirupiah kan sebesar 766,4 Trilyun Rupiah (kurs 16 ribu). Jumlah itu setara dengan 30% APBN 2020 yang sebesar 2.540 Trilyun, dan juga setara dengan pendapatan 124 juta rumah tangga miskin per tahunnya, yang menurut data BPS kategori rumah tangga miskin adalah mereka yang mendapatkan penghasilan sebesar 1,9 juta rupiah setiap bulannya.

Jika melihat tren diatas, tema tentang entrepreneurship yang digaungkan oleh sebagian masyarakat akan menemukan “peak performance” nya dalam waktu yang tidak lama lagi. Terbukti dengan kemampuan sektor UMKM mampu menyerap angkatan kerja baru sebesar 96% setiap tahunnya. Ini adalah angka yang sangat fantastis. Terlepas apakah negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, itu satu hal dan fenomena pertumbuhan UMKM adalah hal lain. Dan ini semakin mengkonfirmasi teori tentang makin menguatnya individu dan masyarakat, serta makin lemahnya peran negara.

Namun, beberapa hal yang perlu di imbangi adalah semangat wirausaha tersebut harus dibarengi dengan semangat kelanggengan usaha (continuity). Karena tujuan berbisnis adalah menciptakan nilai tambah yang dapat dilipatgandakan untuk memperbesar aset. Jangan sampai semangat tersebut patah karena kegagalan memahami karakter inti dari bisnis. Apa itu karakter inti bisnis? Salah satu yang paling utama adalah mengelola aspek keuangan didalam bisnis.

Banyak sekali perusahaan atau UMKM yang berhenti ditengah jalan bukan karena tidak adanya pendapatan usaha (income revenue), namun mereka gagal mengelola pendapatan tersebut. Mereka biasanya sudah tidak bisa lagi menyelesaikan kewajiban-kewajiban seperti hutang atau gaji pegawai, tidak bisa melakukan ekspansi karena kehabisan modal kerja, dgn kata lain mereka mengalami gagal cashflow. Kalau sudah begitu biasanya mereka akan susah mendapat sumber-sumber pemasukan lain seperti investasi dan pembiayaan. Karena sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh investor maupun lembaga pembiayaan seperti bank atau non-bank. Padahal bisa jadi bukan karena pilihan jenis usaha-nya yang bermasalah, tetapi karena gagal dalam mengelola keuangan.

Pengetahuan tentang keuangan (Financial Literacy) adalah pengetahuan dasar bukan hanya bagi para wirausaha atau pebisnis, namun juga bagi semua orang. Didalam rumah tangga misalnya, seorang ibu rumah tangga harus bisa mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran yang didapat dan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Dan kemampuan mengelola tersebut untuk memastikan kelangsungan kehidupan didalam rumah serta menentukan keluarga tersebut memiliki simpanan untuk digunakan dikemudian hari. Karena hal-hal seperti ini biasanya dianggap seperti hal yang sudah biasa terjadi dan memang seharusnya terjadi, akhirnya tidak mengharuskan kita mempelajari lebih baik apa itu Literasi Keuangan. Padahal didunia yang sedang bergerak dan berubah dengan sangat cepat, kemampuan ini amat diperlukan untuk beradaptasi.

Begitupula bagi kalangan pekerja baik itu pegawai ASN (aparatur sipil negara) atau karyawan swasta. Seringkali mengalami masalah dalam mengelola keuangan pribadinya, dimana sebenarnya hal tersebut karena kurangnya Literasi Keuangan. Sebagian besar tidak memahami prosentase distribusi pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kalaupun sudah memahami prosentase distribusi, seringkali tidak memahami alasan filosofis dari besaran prosentase distribusi tersebut. Inilah yang menyebabkan seringkali kalangan pekerja lebih banyak membayar hutang dari pada membayar kebutuhan pokok sehari-hari. Alih-alih memiliki portofolio investasi untuk masa depan mereka sendiri.

Bicara tentang investasi, di Indonesia seiring bertumbuhnya semangat entrepreneurship, yg masuk dalam kategori sektor Industri & Perdagangan. Secara bersamaan, sebenarnya tumbuh pula semangat investasi individu pada produk-produk yang disediakan oleh sektor keuangan. Investasi adalah usaha menanamkan modal pada usaha atau komoditas tertentu yang memiliki potensi pertambahan nilai dalam periode tertentu. Dan dewasa ini, investasi sangat mudah dilakukan oleh individu dan dapat dimulai dengan jumlah yang kecil. Masyarakat sekarang dapat menanam dananya pada produk seperti saham, obligasi, reksadana dan mata uang asing. Tentunya instrumen tersebut baiknya dibeli dengan tujuan investasi yang spesifik.

Sektor keuangan adalah sektor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tingkat literasi masyarakat yang rendah pada tema tentang keuangan, membuat sektor ini menjadi hanya milik segelintir orang yang sudah memiliki basis aset yang besar. Oleh karena itu, perlu adanya upaya edukasi secara masif agar tercipta masyarakat yang sadar akan pentingnya sektor ini.

Bagi pelaku usaha, cara paling baik dalam menilai kelangsungan bisnis adalah dengan melihat laporan keuangan. Dan membuat laporan keuangan ini justru yang minim dilakukan oleh pelaku usaha UMKM. Padahal itu merupakan hal paling penting untuk memastikan kelangsungan bisnis. Bagaimana cara menghindari resiko dan melipatgandakan keuntungan serta menentukan berapa besaran pajak dan kewajiban lain, semuanya tergambar dalam laporan keuangan. Hanya pelaku usaha yang memiliki tingkat Literasi Keuangan yang baik yang dapat selamat dari ancaman krisis yang disebabkan oleh internal maupun eksternal.

Rendahnya tingkat Literasi Keuangan merupakan tantangan menarik. Karakter masyarakat Indonesia yang tidak terlalu terbuka ketika membicarakan soal uang menjadi tantangan budaya tersendiri. Masyarakat kita cenderung tertutup dan dalam tiap kesempatan dianggap hal yang tidak pantas ketika memulai pembicaraan tentang pendapatan dan rencana belanja. Keuangan memang adalah urusan sensitif karena terlalu privasi. Justru karena itu harus dipahami dengan pengetahuan yang baik. Bukan malah dianggap tabu untuk dipelajari. Sederhananya, bolehlah dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka kepada siapa saja, tetapi harus tetap dipelajari dengan baik agar kemampuan mengelola keuangan menggunakan pendekatan pengetahuan yang dapat menjamin kondisi keuangan pribadi, rumah tangga, UMKM, korporasi menjadi lebih terjamin hingga masa yang akan datang.

Menemukan Peta Jalan Di Tengah Pusaran Konflik Geopolitik (re-post)

Oleh: M. Fikri Aziz

Mari sejenak kita susun daftar pertanyaan berikut:

1. Mengapa isu tentang Komunisme beberapa tahun terakhir begitu kuat? Seiring dengan menguatnya “gelombang umat Islam”? Adakah keterkaitan antara dua fenomena tersebut? 

2. Dan apakah benar bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme ke seluruh dunia sebagai lawan tanding yang sepadan bagi ideologi yg sedang berkuasa; Liberalisme & Kapitalisme Barat? 

3. Lalu apa yang akan terjadi di Indonesia dan Dunia dalam beberapa tahun kedepan? 

Para pemikir strategis, sebelum menjelaskan sesuatu, pertama kali yang mereka lakukan adalah menyusun daftar pertanyaan yang benar. Karena kalau pertanyaannya keliru, sudah pasti jawabannya akan salah. Metode tersebut selalu dianjurkan oleh S. Rajaratnam, tokoh legendaris Singapura dan salah satu pendiri ASEAN, dengan tujuan untuk menemukan “pikiran yang tak terpikirkan”. 

Bukan tidak mungkin bahwa isu mutakhir yang saat ini ramai di tengah masyarakat berasal dari satuan-satuan kecil informasi yang dikembangkan secara sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga seolah-olah hasil rekayasa informasi tersebut dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang dapat menciptakan arus besar gelombang pikiran rakyat. 

Memang agak sulit menemukan nalar yang sehat ditengah kondisi sosial yang penuh dengan bias konfirmasi; cenderung mencari informasi dengan cara membenarkan apa yang dipercayai dan menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang disukai. Upaya untuk menghidupkan nalar dengan mengaktifkan metakognitif semakin jauh karena gempuran distorsi informasi makin hari makin datang bertubi-tubi. Baik yang pro maupun yang kontra, keduanya melakukan desain dalam konteks perang opini untuk menguasai pikiran masyarakat yang tujuannya mampu menggerakkan masyarakat untuk membela atau memperjuangkan ide-ide tertentu. 

Karenanya, tak berlebihan jika kita anggap fenomena menguatnya isu-isu tertentu adalah turunan dari konflik geopolitik yang mengemuka saat ini. AS memiliki segenap perangkat yang cukup untuk memainkan berbagai macam isu untuk mempertahankan pengaruhnya di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama AS selama dan setelah Perang Dingin, dengan mengajak negara-negara tersebut untuk melawan satu musuh bersama: Komunisme. Namun, apakah masih relevan dengan mengangkat isu tersebut dan menyematkannya kepada Tiongkok yang dalam 40 tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat? 

Tiongkok & Komunisme

Kishore Mahbubani dalam buku terbarunya “Has China Won?” menjelaskan dengan sangat baik kesalahan-kesalahan strategis AS dalam kontes geopolitik kali ini. Kesalahan tersebut bersumber dari kegagalan AS dalam memandang Tiongkok secara utuh. AS menganggap bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme kepada negara-negara yang menjalin hubungan dengan Tiongkok. Asumsi itu terbangun oleh para pemikir strategis AS yang mengira bahwa makin menguatnya Partai Komunis Cina dalam sistem politik negara itu. Namun strategi itu ternyata hanya untuk menutupi fakta yang sulit dibantah yaitu kegagalan AS dalam 40 tahun terakhir dalam meningkatkan rata-rata pendapatan 50 persen warga negaranya. Sebaliknya, Tiongkok berhasil membalik keadaan negerinya, 80 persen populasi Tiongkok yang 40 tahun lalu masih dibawah garis kemiskinan, saat ini menjadi kelas menengah yang kuat dan produktif. 

Apa yang terjadi pada para pemikir AS hingga begitu ceroboh dan salah dalam memetakan Tiongkok? Jawabannya adalah arogansi. Bukan hanya AS tapi dunia barat secara umum ternyata mengalami semacam “brain damage”, setelah memenangkan Perang Dingin tanpa satu peluru pun terlepas, ditambah “provokasi” yang dilontarkan oleh intelektual kenamaan Francis Fukuyama dalam “The End of History”, makin membuat dunia barat besar kepala. Apa yang dilakukan Tiongkok ketika fase akhir Perang Dingin saat itu? Mereka sibuk menerapkan ide modernisasi Tiongkok yang dicetuskan Deng Xiao Ping sepuluh tahun sebelumnya. 

Dan kejatuhan Uni Soviet tidak memiliki pengaruh apapun bagi Tiongkok. Karena sejak ide modernisasi Tiongkok dicetuskan, Republik Rakyat Tiongkok berubah menjadi negara “hybrid” yang sangat pragmatis. Komunisme dipakai untuk mempersatukan daratan Tiongkok namun memiliki jadwal terukur untuk membuka diri dengan sistem ekonomi global. Dengan tekun mereka mempelajari banyak hal dari kejatuhan Uni Soviet. Termasuk belajar bagaimana AS dan Dunia Barat memperlakukan Uni Soviet. 

Kedekatan pemimpin Republik Rakyat Tiongkok masalalu dengan Komunisme sebenarnya bukan tanpa alasan kuat. Alasan yang paling sahih adalah kekecewaan mereka terhadap Dunia Barat yang saat itu sedang melancarkan Imperialisme dan Kolonialisme, ditandai dengan dimulainya Perang Opium ditahun 1839-1860. Perang Anglo-China ini, pada dasarnya adalah sengketa dagang antara Dinasti Qing yang berkuasa di Tiongkok saat itu melawan Britania Raya dan Prancis. Berlarut hingga pencaplokan beberapa wilayah yang memiliki kondisi geografis strategis seperti Hongkong & Taiwan yang hingga saat ini masih dalam gejolak sengketa politik. 

Oleh para pemimpin Tiongkok saat itu, Komunisme hanyalah ide yang mampu dimanifestasikan kedalam kekuatan nyata: negara. Dan satu-satunya yang mampu melawan kebengisan Imperialisme Barat. Jadi, sebenarnya Komunisme tidak berurat akar dalam kehidupan rakyat Tiongkok. 

Lalu apa yang menjadi ide dasar dan tujuan oleh para pemimpin Tiongkok dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina sebagai satu-satunya Partai yang ada dinegara tersebut? Jawabannya adalah sejarah peradaban Tiongkok berumur 5000 tahun dan hampir 2000 tahun (1 – 1820 Masehi) menjadi peradaban yang kuat secara ekonomi. Keinginan membangkitkan kembali (revivalisme) peradaban Tiongkok yang kaya dan kuat lebih penting buat para pemimpin Tiongkok dan rakyatnya daripada sekedar menjual ideologi Komunisme. 

Itulah mengapa peta jalan modernisasi Tiongkok yang pertama kali dicetuskan Deng Xiao Ping tahun 1978-1979 mampu memposisikan Partai Komunis Cina pada tempat terhormat dihati dan benak rakyat Tiongkok. Sampai hari ini, tak ada satupun pemimpin Partai tersebut yang dapat bicara fasih tentang Komunisme, dalam kepala mereka hanya ada impian kembalinya kebesaran peradaban Tiongkok yang sudah ada sejak ribuan tahun. 

Sebagai ide, Komunisme sah untuk tetap hidup. Namun apakah ide itu dimanifestasikan dalam negara, sejarah sudah membuktikan keruntuhan Uni Soviet. Dan perlu diingat, Komunisme Uni Soviet jatuh bukan dengan perang militer. Tetapi, oleh kecanggihan strategi AS dalam membuka tabir keinginan asasi manusia; bebas, merdeka dan sejahtera.

Kebebasan (Liberty) dan Kemerdekaan (Freedom) adalah ide dasar dari Demokrasi. Kesejahteraan (Wealth) adalah tujuan bersama dari Kapitalisme yang dijanjikan oleh Barat kepada Dunia. Ide-ide tersebut dipromosikan melalui globalisasi. Demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan. Kekuatan modal akan menciptakan lapangan pekerjaan. Semua perangkat untuk mendukung tujuan ini dipersiapkan dengan baik melalui penciptaan institusi-institusi global seperti; PBB, Bank Dunia, IMF. Namun apa yang terjadi saat ini nampak sebaliknya, yang terjadi adalah bermunculan gejala negara gagal dan membesarnya kesenjangan global. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kaya yang memiliki akses kepada sumber daya sedangkan sebagian besar populasi dan negara-negara terjerembab dalam jebakan pendapatan menengah. Dalam konteks itu, Tiongkok tidak ikut-ikutan latah mengamini Demokrasi sebagai sistem politik. 

Jadi, terjawab sudah bagaimana  sebenarnya posisi Komunisme dalam sistem politik Tiongkok. Sampai hari ini, tak pernah ada bukti resmi atau pun tidak resmi tentang keinginan Tiongkok untuk menawarkan Komunisme kepada negara-negara yang tergabung dalam Belt & Road Initiative (BRI) atau kepada negara-negara lain yang belum bergabung. Bahkan dalam konteks hubungannya dengan AS, Komunisme tak pernah jadi masalah, yang ada adalah kegagalan para pemikir dan pemimpin AS dalam membaca Tiongkok. 

Islam & Isu Kebangkitan Komunisme

Lalu mengapa muncul gelombang perlawanan agama dalam hal ini umat islam terhadap Komunisme? Mari kembali membaca sejarah bagaimana AS menggunakan gelombang mujahidin untuk memberi pekerjaan rumah kepada Uni Soviet di Afghanistan. Akibatnya tidak sederhana, eks mujahidin kembali mengkonsolidasi diri, mengkristal menjadi tantangan bagi dunia Barat dikemudian hari, terutama setelah peristiwa 9/11. Terorisme kemudian menjadi horor baru dan secara jelas oleh AS dan Barat disematkan kepada Islam. 

Namun ternyata Islam tidak sekuat yang AS dan Barat perkirakan sebelumnya melalui tesis terkenal oleh Samuel Huntington “The Clash of Civilization”. Islam saat ini kurang cocok dengan sistem modern baik politik maupun ekonomi. Coba kita lihat dengan jujur, negara-negara Islam atau yang dikonotasikan mayoritas Islam, gagal tampil menjadi pemain utama dunia. Karena seringkali tersandung oleh hambatan-hambatan yang muncul dari dalam diri sendiri. Yang membedakan dengan Tiongkok adalah, mereka memimpikan kebangkitan peradaban dengan cara masuk dan menguasai sistem modern, sedangkan kaum revivalis Islam seringkali berbenturan dengan modernitas. Jadi, tantangan terbesar kelompok Islam dewasa ini bukanlah Komunisme tetapi modernitas. 

Fenomena aktual tentang meningkatnya resistensi umat Islam terhadap “kebangkitan” Komunisme, berdasarkan fakta sejarah dan situasi global saat ini, cukup layak jika disebut sebagai korban konflik geopolitik. 

Banyak umat Islam menganggap bahwa Komunisme memang sudah runtuh tetapi sebagai ide Komunisme belum mati. Pertanyaannya, siapa yang bisa membunuh ide? Jangankan Komunisme, yang jauh lahir terlebih dulu dari Komunisme seperti Paganisme dan Zoroaster masih ada dan hidup diimani oleh sebagian kecil penduduk bumi. Kalau muncul pertanyaan berikutnya, yang menyatakan bahwa kaum Pagan dan penganut Zoroaster tidak pernah memaksa dan mewujud menjadi suatu sistem politik, nampaknya memang titik masalahnya ada pada kurangnya literasi sejarah. 

Mungkin suatu kebetulan, ketika peristiwa 9/11 terjadi di tahun 2001. Dunia disibukkan oleh konflik diametral antara AS dan Islam (Invasi AS ke Afghanistan & Irak), Tiongkok di tahun itu secara resmi menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang langsung ditindak lanjuti dengan masuknya 900 juta tenaga kerja Tiongkok ke dalam sistem ekonomi global. Entah hal ini disadari atau tidak oleh AS dan Uni Eropa apalagi oleh Dunia Islam, yang jelas sejak saat itu Tiongkok tidak pernah berhenti bertumbuh. 

Sekarang sebagai sebuah fakta, Tiongkok telah menjadi negara terbesar didunia dari sisi Purchasing Power Parity (PPP) dan negara terbesar kedua dari sisi ekonomi setelah AS. Namun banyak yang telah memprediksi akan menjadi nomer satu didunia ditahun 2035, dan di tahun 2045 akan menguasai dunia dari segala aspek. Jelas akan terjadi konflik geopolitik yang panjang, bisa terjadi satu hingga dua dekade kedepan. 

Pentingnya Peta Jalan

Konflik dua kekuatan besar ini sangat rentan untuk berubah menjadi konflik militer terbuka. Ditengah kegalauan negara-negara maju, efek dari krisis keuangan global di tahun 2008, menjelma menjadi kesenjangan ekonomi yang merajalela kemudian mempelopori kebangkitan kaum populis yang didukung oleh elit-elit nasionalis-chauvinis, terjadi secara merata di Eropa dan AS. 

Tiba-tiba gugatan itu tertuju pada globalisasi dan derivasinya. O’ Sullivan memunculkan istilah “The Levelling” sebuah transisi yang sedang dialami dunia dari segala aspek. Bahwa dunia akan “naik kelas” dari sisi kesejahteraan antara negara miskin dan kaya, dari sisi kekuatan negara-bangsa dan kawasan, dari sisi akuntabilitas elit politik dan rakyat, kemudian dunia akan mengalami perubahan pada kekuatan institusi yang selama ini memiliki fungsi penting seperti Bank Sentral serta institusi-institusi yang punya peran penting dalam pembangunan di abad 20 seperti WTO dan IMF. 

Relevansi eksistensi negara-bangsa semakin pudar dan terus dipertanyakan. Globalisasi yang memiliki arti terhubungnya semua kepentingan negara-bangsa yang diterapkan dengan sejumlah aturan main yg disepakati secara internasional, hendak memilih untuk balik kebelakang atau terus melaju bahkan sampai tahap mendelegitimasi negara-bangsa itu sendiri. Dan AS sepertinya (untuk sementara waktu), memilih untuk balik kebelakang. 

Praktik hubungan internasional yang dibangun secara multilateral mendadak berubah menjadi unilateral seperti yang dilakukan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump. Keluarnya AS dari kesepakatan Trans Pasific Partnership (TPP) yang digagas saat AS di pimpin Obama, justru menjadi berkah geopolitik tersendiri bagi Tiongkok. Bahkan, ancaman Trump kepada negara-negara yang selama ini jadi pendukung AS untuk tidak ikut serta dalam Belt & Road Initiatives tidak diindahkan oleh negara-negara tersebut. Dalam hal ini, mereka menganggap Tiongkok dapat menawarkan kesepakatan yang bagus untuk ekonomi melalui pengembangan infrastruktur yang selama ini banyak diabaikan oleh AS. 

Agar terhindar dari Perang Dunia, yang terbaik bagi AS adalah mengambil langkah untuk kembali masuk kedalam pembicaraan multilateral. Walaupun memang tantangan internal AS sungguh demikian pelik. Trump dianggap tidak memiliki kompetensi sebagai orang nomer satu di negara itu. Karakternya yang dominan impulsif berakibat pada keputusan-keputusan strategis yang membahayakan. Termasuk bagaimana ia tidak memahami kompleksitas tema tentang defisit neraca perdagangan AS yang selalu ia keluhkan sebagai dasar dari deklarasi perang dagang dengan Tiongkok. Namun, jika ia kalah dalam pilpres AS November nanti, apakah AS akan merubah kebijakan luar negerinya? Belum tentu bahkan mendekati tidak. Mengapa? Dari semua kebijakan Trump yang tidak mendapat dukungan dari Partai Demokrat AS, ada satu dimana Partai Demokrat melalui elit-elitnya termasuk Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, mendukung kebijakan Trump, yaitu perang dagang melawan Tiongkok. 

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai bangsa ditengah kontes geopolitik ini? Ironinya, jarang sekali elit-elit di negara ini terutama yang sedang berkuasa, menaruh perhatian serius terhadap isu strategis ini. Terlihat dari kurangnya peta jalan untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang dapat berperan atau bahkan mengambil keuntungan dari kontes geopolitik ini. 

Politik luar negeri bebas aktif harusnya bukan hanya diartikan tidak memihak salah satu diantara keduanya, namun harus dipandang secara pragmatis. Deng Xiao Ping ketika menetapkan peta jalan dalam menyongsong modernisasi Tiongkok, juga dijadikan tarik-menarik oleh AS & Rusia di tahun 70an, perlu diingat saat itu merupakan puncak dari perang dingin. Tetapi ia berhasil membawa Tiongkok keluar dari jebakan dua kekuatan, dengan menjanjikan kepada AS suatu saat Tiongkok akan menerapkan sistem demokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Disisi lain, Tiongkok tetap mempertahankan eksistensi Partai Komunis Cina karena mereka yakin hanya itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang meritokratik. Yang terjadi kemudian, Uni Soviet lebih dulu jatuh, dan AS sekarang mendapat tantangan serius dari Tiongkok. 

Kuncinya ada di peta jalan dan kualitas elit yang lahir dari sistem meritokrasi. Bukan elit yang lahir dari proses demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan uang dan oligarki. Seperti demokrasi AS hari ini yang dibajak oleh kekuatan pemodal. 

Khusus mengenai peta jalan, didalamnya tentu harus memuat strategi jangka panjang. Tidak sadarnya AS atas cepatnya pertumbuhan Tiongkok, disamping soal arogansi karena merasa tidak akan terkalahkan, juga karena kurangnya strategi jangka panjang terhadap Tiongkok. Tidak seperti waktu mereka menghadapi Uni Soviet. Diawali dari sebuah artikel yang ditulis oleh “Mr. X” yg belakangan terungkap bahwa yang dimaksud adalah George Kennan, seorang ahli strategi kenamaan AS. Dia merumuskan dengan detil dan lengkap tentang langkah dan strategi apa yang harus dijalankan oleh AS secara jangka panjang. Hal itu juga sempat disinggung oleh Henry Kissinger, legenda hidup ahli geopolitik AS dalam satu buku khusus yang dia tulis “On China”. 

Alih-alih merumuskan strategi jangka panjang, masyarakat dan elit AS hari ini malah dipenuhi oleh emosi. Memandang Tiongkok dengan nada merendahkan karena sentimen “yellow peril” menganggap orang-orang asia berkulit kuning yang patut diwaspadai. Sikap rasis yang penuh emosi tersebut sama sekali tidak membantu AS keluar dari masalah sebenarnya. Justru yang harus dilakukan adalah AS harus kembali logis dan rasional serta pragmatis seperti ketika mereka memulai memberikan solusi bagi negara-negara yang telah habis-habisan bertarung pada Perang Dunia II. 

Bagi Indonesia tidak ada jalan lain selain melakukan adaptasi dan antisipasi. Kalau benar Tiongkok akan mengambil alih supremasi kepemimpinan dunia dalam jangka waktu satu hingga dua dekade kedepan, Indonesia punya waktu yang cukup untuk memanfaatkan transisi ini seefektif mungkin. Secara geografis letak wilayah Indonesia berada dekat dengan Tiongkok. Dari sisi kawasan regional, Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, kawasan yang paling plural di dunia namun tetap damai. Negara-negara dikawasan lain, tak bisa menandingi keberagaman dan keharmonisan yang terjadi disini. Stabilitas adalah modal penting pertumbuhan ekonomi dimanapun. 

Namun, jika AS ternyata mampu bertahan, tidak sulit bagi Indonesia karena memiliki sejarah panjang hubungan diantara keduanya sejak perang dingin hingga saat ini. Walaupun yang seharusnya harus diwaspadai dengan perhatian penuh adalah bukan AS atau Tiongkok yang memimpin, tapi transisi yang panjang ini mampu dilewati dengan selamat atau tidak. 

Saat-saat seperti ini kalimat yang diutarakan oleh Gramsci layak untuk kita renungi “Krisis terjadi tepatnya karena yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat muncul, dalam peralihan ini berbagai gejala mengerikan muncul!”.(*)