
Dok. Pribadi
Waktu mulai merangkak menuju pukul sembilan malam. Rasanya aku baru sebentar duduk di warung kopi Zamzami yang terletak agak di pinggir kota Banda Aceh. Pukul sembilan malam jadi semacam angka keramat bagi perempuan Aceh sepertiku. Walaupun beberapa tahun belakangan sudah diubah oleh Pemerintah Kota Banda Aceh menjadi pukul dua puluh tiga. Ah, aku tak terlalu peduli, bagiku menikmati kopi Aceh ini tak perlu bias gender.
Siapapun bisa menikmatinya, asal bayar tunai, bukan utang yang tak dibayar-bayar. Bang Zamzami sang pemilik warung kopi ini pasti setuju dengan pendirianku. Dan aku hanya peduli pada pendapatnya, bukan orang lain, karena dia satu-satunya bagiku yang mampu membuat kopi yang pas di lidahku.
Ketika aku mau membayar kopi sambil merapihkan laptop dan beberapa kertas kerjaku, tiba-tiba aku mendengar Bang Zamzami berbicara dengan seseorang yang tak kukenal. “Silahkan kau tanya ke Cut Nadia yang masih duduk disana, dia lebih mengerti daripada aku”, kata Bang Zamzami sambil menunjuk meja dimana aku masih menyusun kertas kerjaku.
Tampak pemuda itu enggan menghampiriku. Ia terlihat agak malu-malu. Setelah aku rapihkan semua benda bawaanku, aku menghampiri meja kasir untuk membayar. Orang itu masih berdiri mematung dekat meja kasir itu.
Bang Zamzami bilang padaku, “Nadia, ini Nurdin keponakan dari istriku, baru datang dari Jawa dan sedang menyusun skripsi, dia mau tanya tentang masa lalu kita, orang Aceh, mengapa kita tak bikin negara sendiri saja, kita kaya dan mampu untuk menghidupi diri kita sendiri, lagipula kita lah bangsa yang paling akhir dikalahkan oleh penjajah asing”.
Lalu Bang Zamzami melanjutkan, “Ah, kau Nurdin, tak ada angin tak ada hujan bertanya soal-soal yang aku tak mengerti! Kau tanya sendiri sana sama Nadia, dia dosen sejarah di Universitas ternama disini!”. Dan Nurdin tetap diam mematung tak berani mengucap satu patah kata pun, hanya melempar senyum.
Aku berusaha menjawab, “Kita rakyat Aceh punya sejarah panjang perlawanan terhadap bangsa-bangsa Asing yang berusaha memperdaya kita di tanah ini. Sudah banyak bangsa-bangsa besar datang kesini, sejak zaman Lamuri hingga Aceh Darussalam, ratusan tahun lalu kita bersaing dengan bangsa Franj, Kastilia, Britania, Zeeland, Peranggi, hingga Usmani. Bahkan orang-orang Lamuri menguasai sebagian besar daratan Andalas berikut Selat Malaka hingga Tumasik”.
“Perpecahan demi perpecahan datang dan pergi, namun kita tetap kuat. Kesultanan-kesultanan kecil, berpecah kemudian bersatu menjadi besar. Dan terus begitu hingga puncaknya didirikannya Aceh Darussalam. Kita bersatu karena berpegang pada Kitab Allah dan Kitab Sunnah Nabi. Hingga ada seorang asing datang dari Makkah lalu mengaku bernama Abdul Gaffar. Seorang alim, mampu merapal isi Al-Quran dan ribuan Hadits. Dia mulai berceramah dan menulis, mana perkataan Nabi yang sahih dan mana yang dhaif. Sejak itu, orang Aceh jadi tidak bersatu lagi. Dan akhirnya takluk oleh penjajah”, lanjutku dengan datar.
“Hingga akhirnya muncul Sukarno dan Hatta yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, kami orang Aceh sangat senang. Bagi kami waktu itu, proklamasi kemerdekaan adalah momentum persatuan agar kita terbebas dari penjajah asing. Saking senangnya, tahun 1948, kami kumpulkan uang, emas dan harta kami, untuk kami sumbangkan pada Republik Indonesia. Kami ingin pemerintah memiliki pesawat terbang sebagai bentuk perwujudan persatuan antara pusat pemerintahan di Jawa dengan kami yang ada di Sumatera. Itulah pesawat yang pertama kali dimiliki oleh bangsa kita, “Seulawah” namanya”. Jelasku dengan semangat 45.
“Lalu mengapa begini sekarang keadaan rakyat Aceh Kak? Dahulu ada Darul Islam (DI), Daerah Operasi Militer (DOM), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), setelah reformasi ada Perjanjian Helsinki, apa semua itu bagi rakyat Aceh Kak?”, mulai berani bertanya si Nurdin.
“Sudah malam Dik Nurdin, besok aku kesini lagi untuk menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda. Akan aku jelaskan sampai tuntas besok. Aku janji”. Kataku menutup obrolan singkat. Dan malam itu aku mulai menambah utang ku. Ya, janji adalah utang. Dan penjelasan tentang perasaan rakyat Aceh terhadap republik ini adalah salah satu hal yang tak akan bisa tuntas.
-FA