“The Psychology of Money” & Masa Depan Ekonomi Perilaku

Di satu pesta yang diadakan seorang miliarder di Shelter Island, Kurt Vonnegut memberi tahu kawannya, Joseph Heller, bahwa tuan rumah mereka, seorang manajer dana lindung nilai, mendapat lebih banyak uang daripada semua yang didapat Heller dari novel sangat populernya Catch-22. Heller menjawab, “Ya, tapi saya punya sesuatu yang dia tak akan punya… rasa cukup.”

 

Penggalan cerita tersebut merupakan salah satu yang berkesan cukup dalam bagi saya dari sekitar sembilan belas cerita yang ditulis oleh Morgan Housel dalam buku The Psychology of Money. “Rasa cukup” istilah yang sangat bertenaga untuk menggambarkan betapa seringkali kita keliru memandang uang. Karena selama ini uang dimaknai sebagai alat transaksi yang dengannya semua menjadi mudah untuk kita dapatkan. Kemudian upaya mendapatkannya selalu menjadi prioritas utama kehidupan semua orang. Setelah kehidupan berjalan seperti yang kita tahu, apakah kita cukup memahami tentang uang? Sayangnya tidak.

 

“Kita semua berpikir kita tahu cara kerja dunia. Namun kita semua hanya mengalami sebagian kecilnya.”, Kata Housel. Dia menjelaskan dengan sangat teliti bahwa sebagian besar  orang menilai uang seringkali melalui cara pandang matematis. Tanpa pernah tahu apa perasaan pialang saham yang mengalami kerugian yang besar lalu pulang dengan pikiran kosong karena harus menjelaskan banyak hal kepada keluarganya. Atau para pekerja lepas harian yang tidak mampu mendapatkan uang atau malah sudah mendapatkan uang tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

 

Secara umum keputusan manusia untuk mendapatkan uang karena ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan keputusan untuk menggunakannya seringkali bukan seperti motivasi pada awal keputusan itu dibuat. Keputusan menggunakan uang tidak berdasarkan spreadsheet rencana pengeluaran namun seringkali lahir dari ruang rapat, makan malam bersama teman, ngopi-ngopi atau kegiatan sosialisasi lain. Jadi ada hubungan yang amat kuat antara uang dengan suasana jiwa manusia, dan sangat terlihat dari cara kita memutuskan untuk menggunakannya.

 

Tak heran jika dari sekian tokoh penerima nobel dalam bidang ekonomi, terselip dua orang berlatar belakang psikologi; di tahun 2002 Daniel Kahneman (penulis buku best seller Thinking, Fast & Slow) dan di tahun 2017 Richard Thaler (penulis buku Mis-behave). Keduanya banyak meneliti tentang perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi (Economic Behavior). Dan dewasa ini ditengah ketidakpastian global, kita tidak lagi memperdebatkan apa mazhab ekonomi yang mampu menyelesaikan krisis berkepanjangan yang sedang dihadapi dunia tanpa tahu ujungnya. Namun yang pasti, dimasa depan yang akan bertahan untuk tetap relevan adalah manusia beserta seluruh perilakunya. Bukan lagi mazhab ekonomi sosialisme, kapitalisme, neo-liberalisme atau apapun. Kita anggap semua itu sudah tamat dengan segala catatan sejarah baik dan buruknya.

 

Psikologi didalam ekonomi sangat membantu sebagian besar orang keluar dari jebakan kerakusan. Perasaan cukup atas apa yang didapat dan dimiliki sejatinya menyelamatkan kehidupan bersama. Tak ada sistem ekonomi yang mampu mengatasi keserakahan. Dan ketamakan sebagian kecil orang di dunia ini terbukti telah menjadi bencana bagi sebagian besar manusia dan bahkan ekologi kehidupan secara umum. Karenanya rasa cukup adalah kosakata radikal ditengah modernitas yang mengedepankan perlombaan gengsi dengan gaya hidup konsumerisme yang nyata-nyata membawa kita pada lorong gelap panjang krisis multidimensi.

 

Ekonomi Perilaku akan semakin relevan tampil dimasa depan karena memiliki potensi digunakan bersama oleh para pelaku ekonomi. Dunia sedang menunggu jawaban atas pertanyaan kronik tentang jalan keluar dari ketimpangan dan ketidaksetaraan ekonomi negara-negara. Cuma masalahnya, para punggawa Ekonomi Perilaku harus mampu memperluas spektrum teori yang tidak hanya berkutat pada penelitian seputar marketing dan keputusan konsumen. Perlu diperluas lebih dalam hingga dinamika ekonomi strukturalis yang termasuk didalamya meneliti tentang korelasi antara ekonomi dengan politik, sosial, budaya dan seluruh sektor penting dunia.

 

Ekonomi adalah manusia itu sendiri. Setiap keputusan manusia untuk dirinya sendiri memiliki efek ekonomi bagi orang lain. Dalam konteks yang lebih besar, negara juga harus berpikir demikian. Keputusan membelanjakan sesuatu hanya untuk kepentingan yang tidak penting apalagi tidak mendesak harus nihil didalam “otak” negara. Ilmu ekonomi dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bersama dalam skala yang besar, namun akar filsafatnya sebenarnya sama. Dalam skala apapun, baik individu maupun negara, hutang tidak boleh lebih besar dari pendapatan. Itulah mengapa untuk hidup sejahtera dan memiliki kesan “cukup kaya” yang diperlukan adalah cukup masuk akal bukan rasional.

 

Memiliki hutang yang besar walaupun disertai dengan pendapatan yang sama besar adalah tindakan rasional. Namun apakah hal terebut masuk akal? Tentu saja tidak. Hal tersebut yang terjadi di Amerika Serikat pada rentang waktu antara 1945 hingga 1960 ( pasca Perang Dunia II, di awal Perang Dingin ). Akibatnya dirasakan bangsa Amerika 20-30 tahun kemudian. Istilah mudahnya, semua hutang harus dibayar lunas, waktu hanya bisa menundanya. Dan kita hidup saat ini pada zaman ketika semua hutang tersebut sedang jatuh tempo. Apakah fenomena tersebut terjadi juga di Indonesia? kurang lebih sama.

 

Kerakusan tak bisa diselesaikan oleh kerakusan berikutnya. Namun sayangnya otot pengetahuan kita saat ini amat terbatas untuk keluar dari jebakan hutang. Membayar hutang dengan menciptakan hutang baru bisa jadi benar secara teori ekonomi, apalagi jika yang melakukannya adalah negara. Namun disisi lain kita sebagai manusia juga punya tanggung jawab peradaban. Perilaku kita sebagai spesies ekonomi akan memiliki efek mata rantai ekonomi dalam skala besar. Oleh karenanya perlu juga bagi kita untuk berpikir ulang tentang definisi uang.

 

Uang menurut Y.N. Harari hanyalah nilai yang ada dalam imajinasi kita. Bukan kenyataan material, uang merupakan produk psikologis. Kata terakhir harus kita garis bawahi dengan seksama. Karena dalam sejarahnya bentuk uang terus mengalami perubahan. Dari kulit kerang, emas, logam hingga kertas seperti sekarang atau bahkan kode digital berbasis algoritma seperti yang akan datang kemudian hanyalah produk fisik yang disepakati secara kolektif. Namun yang tetap relevan adalah posisi uang dipikiran manusia sebagai produk psikologis yang melahirkan sistem kepercayaan universal. Membuat seluruh manusia saling percaya bertukar kebutuhan yang saling berbeda. Bahkan hal itu yang tak bisa dilakukan oleh agama sekalipun. Hingga kemudian uang menjadi puncak toleransi bagi seluruh manusia apapun latar belakangnya. Sebenci-bencinya Osama Bin Laden dengan Amerika Serikat, kita tak bisa menghindar pada satu fakta bahwa dia senang memiliki Dollar Amerika dan menggunakannya untuk alasan “suci” yang dia yakini.

 

Uang sebagai produk psikologis sangat ditentukan oleh kejiwaan manusia. Dan secara bentuk fisik uang hanyalah produk netral yang bisa dipakai oleh siapa saja. Oleh karena itu penggunaan uang dipengaruhi oleh banyak hal dan sebagian besarnya bukan karena pertimbangan sistem keuangan yang mafhum dikembangkan pada zaman modern. Termasuk cara mendapatkan dan mempertahankannya. Untuk mendapatkannya kondisi psikologis orang harus dominan diliputi optimisme dan keberanian. Sedangkan mempertahankan kekayaan jauh lebih sulit, karena harus berlaku sebaliknya; dominan diliputi kehati-hatian dan rasa takut yang besar.

 

Rasa cukup memang berbeda bagi tiap-tiap jiwa. Namun ada pengertian yang benar tentang kondisi dimana orang sudah memiliki kekayaan yang sebenarnya. Yaitu ketika kita bisa melakukan apa yang kita mau, kapanpun kita mampu melakukannya dan bersama siapapun yang kita inginkan. Untuk mewujudkan semua kemudahan itu, ada dua hal yang harus kita capai terlebih dahulu; flexibility dan freedom of time.

 

Ketidakpastian global mengarahkan kita untuk kembali duduk merenung sejenak. Berpikir dengan tenang tentang masa depan umat manusia beserta seluruh sistem yang menjadi penyebab kerusakan sekaligus sistem yang akan membawa kita keluar dari krisis panjang ini. Pertanyaan paling mendasar hari-hari ini adalah apa yang tersisa nanti dimasa depan? Yang paling lama bertahan yang akan tetap ada. Berusaha tetap relevan adalah tugas kehidupan manusia yang hidup saat ini. Dari sekian banyak cara untuk tetap relevan ditengah kebuntuan gagasan, mengembangkan diskursus mengenai Ekonomi Perilaku yang menyatukan antara konsep psikologi manusia dan teori-teori ekonomi yang ada adalah salah satu upaya untuk lebih menguatkan posisi manusia dihadapan robot-robot ciptaan yang sepertinya akan lebih pintar dari penciptanya.(*)

 

Literasi Keuangan

Dalam ekonomi, jika kita mengklasifikasi keseluruhan aktifitasnya secara umum maka hanya terdapat 2 sektor yang mewakili sifat aktifitasnya; yaitu sektor Industri yang bergerak dalam aktifitas Hulu dan sektor Perdagangan yg bergerak mewakili aktifitas Hilir. Ada juga sektor pertanian dan pertambangan, tapi anggaplah itu bagian dari proses produksi (Hulu), karena didalamnya terdapat upaya menghasilkan atau mendapatkan sesuatu serta menciptakan nilai tambah.

Kedua jenis sektor tersebut, Industri & Perdagangan, bergerak berdasarkan skalanya. Ada yg besar sekali hingga sampai yang kecil dan kecil sekali. Kita anggap bahwa yang kecil dan kecil sekali adalah UMKM dengan segala jenisnya; dari mulai industri rumahan hingga pedagang eceran.

Indonesia dengan proyeksi jumlah penduduk di tahun 2020 dikisaran 271 juta jiwa, dengan prosentase gabungan berdasarkan umur (15-64 tahun) sebesar 66,5%. Kemudian dengan jumlah penduduk Rural (tinggal didesa), berdasarkan data Bank Dunia tahun 2015, sebesar 46%, yang artinya 54% masyarakat Indonesia adalah masyarakat Urban. Dan menurut data Bank Dunia tersebut, proyeksi pertumbuhan populasi Urban di tahun 2050 akan mencapai 67%.

Dari data diatas, Indonesia berpotensi memiliki usia produktif yang sangat besar dan populasi yang besar itu akan hidup didalam kota-kota dengan segala karakteristiknya. Apakah ini merupakan kabar baik dari sisi ekonomi? Tergantung apakah kondisi ekonomi Indonesia mampu menyerap pertumbuhan usia produktif yang tumbuh setiap tahun. Sederhananya, seberapa besar Indonesia mampu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja baru yang lahir tiap tahunnya. Karena kalau tidak hal ini akan menjadi bom waktu (angka pengangguran yang tidak terkendali) yang bisa meledak kapan saja.

Peluang untuk menangkap bonus demografi tersebut, sebenarnya sudah terkonfirmasi pada fenomena tumbuh suburnya semangat masyarakat pada tema seputar wirausaha atau yang lebih umum dikenal dengan Entrepreneurship. Secara natural masyarakat mengkonsolidasi kesadaran dan semangat bersama pada tema ini dan pada saat yang bersamaan mereka melepaskan kepercayaan pada pemerintah untuk bisa menjamin kehidupan dan masa depan ekonomi mereka sendiri.

Dan keterlepasan (decouple) tersebut melahirkan warga negara yang tidak percaya (citizen dis-trust) kepada negaranya. Dan akan melahirkan fenomena ketidak tergantungan pada negara. Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah babak baru dalam sistem kehidupan, yaitu “peoples over states”; masyarakat yang lebih kuat daripada negara. Dan tren itu akan makin besar pasca merebaknya pandemik Covid-19.

Menguatnya individu juga adalah fenomena “post-capitalism” yang menggugat globalisasi yang pada faktanya malah melahirkan “global gap” atau kesenjangan global. Aset kekayaan dunia tidak tersebar merata dan hanya menumpuk pada segelintir elit ekonomi politik. Di Indonesia misalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, ditahun 2020 ini total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 47,9 Milyar Dollar atau jika dirupiah kan sebesar 766,4 Trilyun Rupiah (kurs 16 ribu). Jumlah itu setara dengan 30% APBN 2020 yang sebesar 2.540 Trilyun, dan juga setara dengan pendapatan 124 juta rumah tangga miskin per tahunnya, yang menurut data BPS kategori rumah tangga miskin adalah mereka yang mendapatkan penghasilan sebesar 1,9 juta rupiah setiap bulannya.

Jika melihat tren diatas, tema tentang entrepreneurship yang digaungkan oleh sebagian masyarakat akan menemukan “peak performance” nya dalam waktu yang tidak lama lagi. Terbukti dengan kemampuan sektor UMKM mampu menyerap angkatan kerja baru sebesar 96% setiap tahunnya. Ini adalah angka yang sangat fantastis. Terlepas apakah negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, itu satu hal dan fenomena pertumbuhan UMKM adalah hal lain. Dan ini semakin mengkonfirmasi teori tentang makin menguatnya individu dan masyarakat, serta makin lemahnya peran negara.

Namun, beberapa hal yang perlu di imbangi adalah semangat wirausaha tersebut harus dibarengi dengan semangat kelanggengan usaha (continuity). Karena tujuan berbisnis adalah menciptakan nilai tambah yang dapat dilipatgandakan untuk memperbesar aset. Jangan sampai semangat tersebut patah karena kegagalan memahami karakter inti dari bisnis. Apa itu karakter inti bisnis? Salah satu yang paling utama adalah mengelola aspek keuangan didalam bisnis.

Banyak sekali perusahaan atau UMKM yang berhenti ditengah jalan bukan karena tidak adanya pendapatan usaha (income revenue), namun mereka gagal mengelola pendapatan tersebut. Mereka biasanya sudah tidak bisa lagi menyelesaikan kewajiban-kewajiban seperti hutang atau gaji pegawai, tidak bisa melakukan ekspansi karena kehabisan modal kerja, dgn kata lain mereka mengalami gagal cashflow. Kalau sudah begitu biasanya mereka akan susah mendapat sumber-sumber pemasukan lain seperti investasi dan pembiayaan. Karena sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh investor maupun lembaga pembiayaan seperti bank atau non-bank. Padahal bisa jadi bukan karena pilihan jenis usaha-nya yang bermasalah, tetapi karena gagal dalam mengelola keuangan.

Pengetahuan tentang keuangan (Financial Literacy) adalah pengetahuan dasar bukan hanya bagi para wirausaha atau pebisnis, namun juga bagi semua orang. Didalam rumah tangga misalnya, seorang ibu rumah tangga harus bisa mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran yang didapat dan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Dan kemampuan mengelola tersebut untuk memastikan kelangsungan kehidupan didalam rumah serta menentukan keluarga tersebut memiliki simpanan untuk digunakan dikemudian hari. Karena hal-hal seperti ini biasanya dianggap seperti hal yang sudah biasa terjadi dan memang seharusnya terjadi, akhirnya tidak mengharuskan kita mempelajari lebih baik apa itu Literasi Keuangan. Padahal didunia yang sedang bergerak dan berubah dengan sangat cepat, kemampuan ini amat diperlukan untuk beradaptasi.

Begitupula bagi kalangan pekerja baik itu pegawai ASN (aparatur sipil negara) atau karyawan swasta. Seringkali mengalami masalah dalam mengelola keuangan pribadinya, dimana sebenarnya hal tersebut karena kurangnya Literasi Keuangan. Sebagian besar tidak memahami prosentase distribusi pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kalaupun sudah memahami prosentase distribusi, seringkali tidak memahami alasan filosofis dari besaran prosentase distribusi tersebut. Inilah yang menyebabkan seringkali kalangan pekerja lebih banyak membayar hutang dari pada membayar kebutuhan pokok sehari-hari. Alih-alih memiliki portofolio investasi untuk masa depan mereka sendiri.

Bicara tentang investasi, di Indonesia seiring bertumbuhnya semangat entrepreneurship, yg masuk dalam kategori sektor Industri & Perdagangan. Secara bersamaan, sebenarnya tumbuh pula semangat investasi individu pada produk-produk yang disediakan oleh sektor keuangan. Investasi adalah usaha menanamkan modal pada usaha atau komoditas tertentu yang memiliki potensi pertambahan nilai dalam periode tertentu. Dan dewasa ini, investasi sangat mudah dilakukan oleh individu dan dapat dimulai dengan jumlah yang kecil. Masyarakat sekarang dapat menanam dananya pada produk seperti saham, obligasi, reksadana dan mata uang asing. Tentunya instrumen tersebut baiknya dibeli dengan tujuan investasi yang spesifik.

Sektor keuangan adalah sektor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tingkat literasi masyarakat yang rendah pada tema tentang keuangan, membuat sektor ini menjadi hanya milik segelintir orang yang sudah memiliki basis aset yang besar. Oleh karena itu, perlu adanya upaya edukasi secara masif agar tercipta masyarakat yang sadar akan pentingnya sektor ini.

Bagi pelaku usaha, cara paling baik dalam menilai kelangsungan bisnis adalah dengan melihat laporan keuangan. Dan membuat laporan keuangan ini justru yang minim dilakukan oleh pelaku usaha UMKM. Padahal itu merupakan hal paling penting untuk memastikan kelangsungan bisnis. Bagaimana cara menghindari resiko dan melipatgandakan keuntungan serta menentukan berapa besaran pajak dan kewajiban lain, semuanya tergambar dalam laporan keuangan. Hanya pelaku usaha yang memiliki tingkat Literasi Keuangan yang baik yang dapat selamat dari ancaman krisis yang disebabkan oleh internal maupun eksternal.

Rendahnya tingkat Literasi Keuangan merupakan tantangan menarik. Karakter masyarakat Indonesia yang tidak terlalu terbuka ketika membicarakan soal uang menjadi tantangan budaya tersendiri. Masyarakat kita cenderung tertutup dan dalam tiap kesempatan dianggap hal yang tidak pantas ketika memulai pembicaraan tentang pendapatan dan rencana belanja. Keuangan memang adalah urusan sensitif karena terlalu privasi. Justru karena itu harus dipahami dengan pengetahuan yang baik. Bukan malah dianggap tabu untuk dipelajari. Sederhananya, bolehlah dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka kepada siapa saja, tetapi harus tetap dipelajari dengan baik agar kemampuan mengelola keuangan menggunakan pendekatan pengetahuan yang dapat menjamin kondisi keuangan pribadi, rumah tangga, UMKM, korporasi menjadi lebih terjamin hingga masa yang akan datang.

Menemukan Peta Jalan Di Tengah Pusaran Konflik Geopolitik (re-post)

Oleh: M. Fikri Aziz

Mari sejenak kita susun daftar pertanyaan berikut:

1. Mengapa isu tentang Komunisme beberapa tahun terakhir begitu kuat? Seiring dengan menguatnya “gelombang umat Islam”? Adakah keterkaitan antara dua fenomena tersebut? 

2. Dan apakah benar bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme ke seluruh dunia sebagai lawan tanding yang sepadan bagi ideologi yg sedang berkuasa; Liberalisme & Kapitalisme Barat? 

3. Lalu apa yang akan terjadi di Indonesia dan Dunia dalam beberapa tahun kedepan? 

Para pemikir strategis, sebelum menjelaskan sesuatu, pertama kali yang mereka lakukan adalah menyusun daftar pertanyaan yang benar. Karena kalau pertanyaannya keliru, sudah pasti jawabannya akan salah. Metode tersebut selalu dianjurkan oleh S. Rajaratnam, tokoh legendaris Singapura dan salah satu pendiri ASEAN, dengan tujuan untuk menemukan “pikiran yang tak terpikirkan”. 

Bukan tidak mungkin bahwa isu mutakhir yang saat ini ramai di tengah masyarakat berasal dari satuan-satuan kecil informasi yang dikembangkan secara sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga seolah-olah hasil rekayasa informasi tersebut dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang dapat menciptakan arus besar gelombang pikiran rakyat. 

Memang agak sulit menemukan nalar yang sehat ditengah kondisi sosial yang penuh dengan bias konfirmasi; cenderung mencari informasi dengan cara membenarkan apa yang dipercayai dan menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang disukai. Upaya untuk menghidupkan nalar dengan mengaktifkan metakognitif semakin jauh karena gempuran distorsi informasi makin hari makin datang bertubi-tubi. Baik yang pro maupun yang kontra, keduanya melakukan desain dalam konteks perang opini untuk menguasai pikiran masyarakat yang tujuannya mampu menggerakkan masyarakat untuk membela atau memperjuangkan ide-ide tertentu. 

Karenanya, tak berlebihan jika kita anggap fenomena menguatnya isu-isu tertentu adalah turunan dari konflik geopolitik yang mengemuka saat ini. AS memiliki segenap perangkat yang cukup untuk memainkan berbagai macam isu untuk mempertahankan pengaruhnya di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama AS selama dan setelah Perang Dingin, dengan mengajak negara-negara tersebut untuk melawan satu musuh bersama: Komunisme. Namun, apakah masih relevan dengan mengangkat isu tersebut dan menyematkannya kepada Tiongkok yang dalam 40 tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat? 

Tiongkok & Komunisme

Kishore Mahbubani dalam buku terbarunya “Has China Won?” menjelaskan dengan sangat baik kesalahan-kesalahan strategis AS dalam kontes geopolitik kali ini. Kesalahan tersebut bersumber dari kegagalan AS dalam memandang Tiongkok secara utuh. AS menganggap bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme kepada negara-negara yang menjalin hubungan dengan Tiongkok. Asumsi itu terbangun oleh para pemikir strategis AS yang mengira bahwa makin menguatnya Partai Komunis Cina dalam sistem politik negara itu. Namun strategi itu ternyata hanya untuk menutupi fakta yang sulit dibantah yaitu kegagalan AS dalam 40 tahun terakhir dalam meningkatkan rata-rata pendapatan 50 persen warga negaranya. Sebaliknya, Tiongkok berhasil membalik keadaan negerinya, 80 persen populasi Tiongkok yang 40 tahun lalu masih dibawah garis kemiskinan, saat ini menjadi kelas menengah yang kuat dan produktif. 

Apa yang terjadi pada para pemikir AS hingga begitu ceroboh dan salah dalam memetakan Tiongkok? Jawabannya adalah arogansi. Bukan hanya AS tapi dunia barat secara umum ternyata mengalami semacam “brain damage”, setelah memenangkan Perang Dingin tanpa satu peluru pun terlepas, ditambah “provokasi” yang dilontarkan oleh intelektual kenamaan Francis Fukuyama dalam “The End of History”, makin membuat dunia barat besar kepala. Apa yang dilakukan Tiongkok ketika fase akhir Perang Dingin saat itu? Mereka sibuk menerapkan ide modernisasi Tiongkok yang dicetuskan Deng Xiao Ping sepuluh tahun sebelumnya. 

Dan kejatuhan Uni Soviet tidak memiliki pengaruh apapun bagi Tiongkok. Karena sejak ide modernisasi Tiongkok dicetuskan, Republik Rakyat Tiongkok berubah menjadi negara “hybrid” yang sangat pragmatis. Komunisme dipakai untuk mempersatukan daratan Tiongkok namun memiliki jadwal terukur untuk membuka diri dengan sistem ekonomi global. Dengan tekun mereka mempelajari banyak hal dari kejatuhan Uni Soviet. Termasuk belajar bagaimana AS dan Dunia Barat memperlakukan Uni Soviet. 

Kedekatan pemimpin Republik Rakyat Tiongkok masalalu dengan Komunisme sebenarnya bukan tanpa alasan kuat. Alasan yang paling sahih adalah kekecewaan mereka terhadap Dunia Barat yang saat itu sedang melancarkan Imperialisme dan Kolonialisme, ditandai dengan dimulainya Perang Opium ditahun 1839-1860. Perang Anglo-China ini, pada dasarnya adalah sengketa dagang antara Dinasti Qing yang berkuasa di Tiongkok saat itu melawan Britania Raya dan Prancis. Berlarut hingga pencaplokan beberapa wilayah yang memiliki kondisi geografis strategis seperti Hongkong & Taiwan yang hingga saat ini masih dalam gejolak sengketa politik. 

Oleh para pemimpin Tiongkok saat itu, Komunisme hanyalah ide yang mampu dimanifestasikan kedalam kekuatan nyata: negara. Dan satu-satunya yang mampu melawan kebengisan Imperialisme Barat. Jadi, sebenarnya Komunisme tidak berurat akar dalam kehidupan rakyat Tiongkok. 

Lalu apa yang menjadi ide dasar dan tujuan oleh para pemimpin Tiongkok dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina sebagai satu-satunya Partai yang ada dinegara tersebut? Jawabannya adalah sejarah peradaban Tiongkok berumur 5000 tahun dan hampir 2000 tahun (1 – 1820 Masehi) menjadi peradaban yang kuat secara ekonomi. Keinginan membangkitkan kembali (revivalisme) peradaban Tiongkok yang kaya dan kuat lebih penting buat para pemimpin Tiongkok dan rakyatnya daripada sekedar menjual ideologi Komunisme. 

Itulah mengapa peta jalan modernisasi Tiongkok yang pertama kali dicetuskan Deng Xiao Ping tahun 1978-1979 mampu memposisikan Partai Komunis Cina pada tempat terhormat dihati dan benak rakyat Tiongkok. Sampai hari ini, tak ada satupun pemimpin Partai tersebut yang dapat bicara fasih tentang Komunisme, dalam kepala mereka hanya ada impian kembalinya kebesaran peradaban Tiongkok yang sudah ada sejak ribuan tahun. 

Sebagai ide, Komunisme sah untuk tetap hidup. Namun apakah ide itu dimanifestasikan dalam negara, sejarah sudah membuktikan keruntuhan Uni Soviet. Dan perlu diingat, Komunisme Uni Soviet jatuh bukan dengan perang militer. Tetapi, oleh kecanggihan strategi AS dalam membuka tabir keinginan asasi manusia; bebas, merdeka dan sejahtera.

Kebebasan (Liberty) dan Kemerdekaan (Freedom) adalah ide dasar dari Demokrasi. Kesejahteraan (Wealth) adalah tujuan bersama dari Kapitalisme yang dijanjikan oleh Barat kepada Dunia. Ide-ide tersebut dipromosikan melalui globalisasi. Demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan. Kekuatan modal akan menciptakan lapangan pekerjaan. Semua perangkat untuk mendukung tujuan ini dipersiapkan dengan baik melalui penciptaan institusi-institusi global seperti; PBB, Bank Dunia, IMF. Namun apa yang terjadi saat ini nampak sebaliknya, yang terjadi adalah bermunculan gejala negara gagal dan membesarnya kesenjangan global. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kaya yang memiliki akses kepada sumber daya sedangkan sebagian besar populasi dan negara-negara terjerembab dalam jebakan pendapatan menengah. Dalam konteks itu, Tiongkok tidak ikut-ikutan latah mengamini Demokrasi sebagai sistem politik. 

Jadi, terjawab sudah bagaimana  sebenarnya posisi Komunisme dalam sistem politik Tiongkok. Sampai hari ini, tak pernah ada bukti resmi atau pun tidak resmi tentang keinginan Tiongkok untuk menawarkan Komunisme kepada negara-negara yang tergabung dalam Belt & Road Initiative (BRI) atau kepada negara-negara lain yang belum bergabung. Bahkan dalam konteks hubungannya dengan AS, Komunisme tak pernah jadi masalah, yang ada adalah kegagalan para pemikir dan pemimpin AS dalam membaca Tiongkok. 

Islam & Isu Kebangkitan Komunisme

Lalu mengapa muncul gelombang perlawanan agama dalam hal ini umat islam terhadap Komunisme? Mari kembali membaca sejarah bagaimana AS menggunakan gelombang mujahidin untuk memberi pekerjaan rumah kepada Uni Soviet di Afghanistan. Akibatnya tidak sederhana, eks mujahidin kembali mengkonsolidasi diri, mengkristal menjadi tantangan bagi dunia Barat dikemudian hari, terutama setelah peristiwa 9/11. Terorisme kemudian menjadi horor baru dan secara jelas oleh AS dan Barat disematkan kepada Islam. 

Namun ternyata Islam tidak sekuat yang AS dan Barat perkirakan sebelumnya melalui tesis terkenal oleh Samuel Huntington “The Clash of Civilization”. Islam saat ini kurang cocok dengan sistem modern baik politik maupun ekonomi. Coba kita lihat dengan jujur, negara-negara Islam atau yang dikonotasikan mayoritas Islam, gagal tampil menjadi pemain utama dunia. Karena seringkali tersandung oleh hambatan-hambatan yang muncul dari dalam diri sendiri. Yang membedakan dengan Tiongkok adalah, mereka memimpikan kebangkitan peradaban dengan cara masuk dan menguasai sistem modern, sedangkan kaum revivalis Islam seringkali berbenturan dengan modernitas. Jadi, tantangan terbesar kelompok Islam dewasa ini bukanlah Komunisme tetapi modernitas. 

Fenomena aktual tentang meningkatnya resistensi umat Islam terhadap “kebangkitan” Komunisme, berdasarkan fakta sejarah dan situasi global saat ini, cukup layak jika disebut sebagai korban konflik geopolitik. 

Banyak umat Islam menganggap bahwa Komunisme memang sudah runtuh tetapi sebagai ide Komunisme belum mati. Pertanyaannya, siapa yang bisa membunuh ide? Jangankan Komunisme, yang jauh lahir terlebih dulu dari Komunisme seperti Paganisme dan Zoroaster masih ada dan hidup diimani oleh sebagian kecil penduduk bumi. Kalau muncul pertanyaan berikutnya, yang menyatakan bahwa kaum Pagan dan penganut Zoroaster tidak pernah memaksa dan mewujud menjadi suatu sistem politik, nampaknya memang titik masalahnya ada pada kurangnya literasi sejarah. 

Mungkin suatu kebetulan, ketika peristiwa 9/11 terjadi di tahun 2001. Dunia disibukkan oleh konflik diametral antara AS dan Islam (Invasi AS ke Afghanistan & Irak), Tiongkok di tahun itu secara resmi menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang langsung ditindak lanjuti dengan masuknya 900 juta tenaga kerja Tiongkok ke dalam sistem ekonomi global. Entah hal ini disadari atau tidak oleh AS dan Uni Eropa apalagi oleh Dunia Islam, yang jelas sejak saat itu Tiongkok tidak pernah berhenti bertumbuh. 

Sekarang sebagai sebuah fakta, Tiongkok telah menjadi negara terbesar didunia dari sisi Purchasing Power Parity (PPP) dan negara terbesar kedua dari sisi ekonomi setelah AS. Namun banyak yang telah memprediksi akan menjadi nomer satu didunia ditahun 2035, dan di tahun 2045 akan menguasai dunia dari segala aspek. Jelas akan terjadi konflik geopolitik yang panjang, bisa terjadi satu hingga dua dekade kedepan. 

Pentingnya Peta Jalan

Konflik dua kekuatan besar ini sangat rentan untuk berubah menjadi konflik militer terbuka. Ditengah kegalauan negara-negara maju, efek dari krisis keuangan global di tahun 2008, menjelma menjadi kesenjangan ekonomi yang merajalela kemudian mempelopori kebangkitan kaum populis yang didukung oleh elit-elit nasionalis-chauvinis, terjadi secara merata di Eropa dan AS. 

Tiba-tiba gugatan itu tertuju pada globalisasi dan derivasinya. O’ Sullivan memunculkan istilah “The Levelling” sebuah transisi yang sedang dialami dunia dari segala aspek. Bahwa dunia akan “naik kelas” dari sisi kesejahteraan antara negara miskin dan kaya, dari sisi kekuatan negara-bangsa dan kawasan, dari sisi akuntabilitas elit politik dan rakyat, kemudian dunia akan mengalami perubahan pada kekuatan institusi yang selama ini memiliki fungsi penting seperti Bank Sentral serta institusi-institusi yang punya peran penting dalam pembangunan di abad 20 seperti WTO dan IMF. 

Relevansi eksistensi negara-bangsa semakin pudar dan terus dipertanyakan. Globalisasi yang memiliki arti terhubungnya semua kepentingan negara-bangsa yang diterapkan dengan sejumlah aturan main yg disepakati secara internasional, hendak memilih untuk balik kebelakang atau terus melaju bahkan sampai tahap mendelegitimasi negara-bangsa itu sendiri. Dan AS sepertinya (untuk sementara waktu), memilih untuk balik kebelakang. 

Praktik hubungan internasional yang dibangun secara multilateral mendadak berubah menjadi unilateral seperti yang dilakukan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump. Keluarnya AS dari kesepakatan Trans Pasific Partnership (TPP) yang digagas saat AS di pimpin Obama, justru menjadi berkah geopolitik tersendiri bagi Tiongkok. Bahkan, ancaman Trump kepada negara-negara yang selama ini jadi pendukung AS untuk tidak ikut serta dalam Belt & Road Initiatives tidak diindahkan oleh negara-negara tersebut. Dalam hal ini, mereka menganggap Tiongkok dapat menawarkan kesepakatan yang bagus untuk ekonomi melalui pengembangan infrastruktur yang selama ini banyak diabaikan oleh AS. 

Agar terhindar dari Perang Dunia, yang terbaik bagi AS adalah mengambil langkah untuk kembali masuk kedalam pembicaraan multilateral. Walaupun memang tantangan internal AS sungguh demikian pelik. Trump dianggap tidak memiliki kompetensi sebagai orang nomer satu di negara itu. Karakternya yang dominan impulsif berakibat pada keputusan-keputusan strategis yang membahayakan. Termasuk bagaimana ia tidak memahami kompleksitas tema tentang defisit neraca perdagangan AS yang selalu ia keluhkan sebagai dasar dari deklarasi perang dagang dengan Tiongkok. Namun, jika ia kalah dalam pilpres AS November nanti, apakah AS akan merubah kebijakan luar negerinya? Belum tentu bahkan mendekati tidak. Mengapa? Dari semua kebijakan Trump yang tidak mendapat dukungan dari Partai Demokrat AS, ada satu dimana Partai Demokrat melalui elit-elitnya termasuk Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, mendukung kebijakan Trump, yaitu perang dagang melawan Tiongkok. 

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai bangsa ditengah kontes geopolitik ini? Ironinya, jarang sekali elit-elit di negara ini terutama yang sedang berkuasa, menaruh perhatian serius terhadap isu strategis ini. Terlihat dari kurangnya peta jalan untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang dapat berperan atau bahkan mengambil keuntungan dari kontes geopolitik ini. 

Politik luar negeri bebas aktif harusnya bukan hanya diartikan tidak memihak salah satu diantara keduanya, namun harus dipandang secara pragmatis. Deng Xiao Ping ketika menetapkan peta jalan dalam menyongsong modernisasi Tiongkok, juga dijadikan tarik-menarik oleh AS & Rusia di tahun 70an, perlu diingat saat itu merupakan puncak dari perang dingin. Tetapi ia berhasil membawa Tiongkok keluar dari jebakan dua kekuatan, dengan menjanjikan kepada AS suatu saat Tiongkok akan menerapkan sistem demokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Disisi lain, Tiongkok tetap mempertahankan eksistensi Partai Komunis Cina karena mereka yakin hanya itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang meritokratik. Yang terjadi kemudian, Uni Soviet lebih dulu jatuh, dan AS sekarang mendapat tantangan serius dari Tiongkok. 

Kuncinya ada di peta jalan dan kualitas elit yang lahir dari sistem meritokrasi. Bukan elit yang lahir dari proses demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan uang dan oligarki. Seperti demokrasi AS hari ini yang dibajak oleh kekuatan pemodal. 

Khusus mengenai peta jalan, didalamnya tentu harus memuat strategi jangka panjang. Tidak sadarnya AS atas cepatnya pertumbuhan Tiongkok, disamping soal arogansi karena merasa tidak akan terkalahkan, juga karena kurangnya strategi jangka panjang terhadap Tiongkok. Tidak seperti waktu mereka menghadapi Uni Soviet. Diawali dari sebuah artikel yang ditulis oleh “Mr. X” yg belakangan terungkap bahwa yang dimaksud adalah George Kennan, seorang ahli strategi kenamaan AS. Dia merumuskan dengan detil dan lengkap tentang langkah dan strategi apa yang harus dijalankan oleh AS secara jangka panjang. Hal itu juga sempat disinggung oleh Henry Kissinger, legenda hidup ahli geopolitik AS dalam satu buku khusus yang dia tulis “On China”. 

Alih-alih merumuskan strategi jangka panjang, masyarakat dan elit AS hari ini malah dipenuhi oleh emosi. Memandang Tiongkok dengan nada merendahkan karena sentimen “yellow peril” menganggap orang-orang asia berkulit kuning yang patut diwaspadai. Sikap rasis yang penuh emosi tersebut sama sekali tidak membantu AS keluar dari masalah sebenarnya. Justru yang harus dilakukan adalah AS harus kembali logis dan rasional serta pragmatis seperti ketika mereka memulai memberikan solusi bagi negara-negara yang telah habis-habisan bertarung pada Perang Dunia II. 

Bagi Indonesia tidak ada jalan lain selain melakukan adaptasi dan antisipasi. Kalau benar Tiongkok akan mengambil alih supremasi kepemimpinan dunia dalam jangka waktu satu hingga dua dekade kedepan, Indonesia punya waktu yang cukup untuk memanfaatkan transisi ini seefektif mungkin. Secara geografis letak wilayah Indonesia berada dekat dengan Tiongkok. Dari sisi kawasan regional, Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, kawasan yang paling plural di dunia namun tetap damai. Negara-negara dikawasan lain, tak bisa menandingi keberagaman dan keharmonisan yang terjadi disini. Stabilitas adalah modal penting pertumbuhan ekonomi dimanapun. 

Namun, jika AS ternyata mampu bertahan, tidak sulit bagi Indonesia karena memiliki sejarah panjang hubungan diantara keduanya sejak perang dingin hingga saat ini. Walaupun yang seharusnya harus diwaspadai dengan perhatian penuh adalah bukan AS atau Tiongkok yang memimpin, tapi transisi yang panjang ini mampu dilewati dengan selamat atau tidak. 

Saat-saat seperti ini kalimat yang diutarakan oleh Gramsci layak untuk kita renungi “Krisis terjadi tepatnya karena yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat muncul, dalam peralihan ini berbagai gejala mengerikan muncul!”.(*)