Oleh: M. Fikri Aziz
Mari sejenak kita susun daftar pertanyaan berikut:
1. Mengapa isu tentang Komunisme beberapa tahun terakhir begitu kuat? Seiring dengan menguatnya “gelombang umat Islam”? Adakah keterkaitan antara dua fenomena tersebut?
2. Dan apakah benar bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme ke seluruh dunia sebagai lawan tanding yang sepadan bagi ideologi yg sedang berkuasa; Liberalisme & Kapitalisme Barat?
3. Lalu apa yang akan terjadi di Indonesia dan Dunia dalam beberapa tahun kedepan?
Para pemikir strategis, sebelum menjelaskan sesuatu, pertama kali yang mereka lakukan adalah menyusun daftar pertanyaan yang benar. Karena kalau pertanyaannya keliru, sudah pasti jawabannya akan salah. Metode tersebut selalu dianjurkan oleh S. Rajaratnam, tokoh legendaris Singapura dan salah satu pendiri ASEAN, dengan tujuan untuk menemukan “pikiran yang tak terpikirkan”.
Bukan tidak mungkin bahwa isu mutakhir yang saat ini ramai di tengah masyarakat berasal dari satuan-satuan kecil informasi yang dikembangkan secara sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga seolah-olah hasil rekayasa informasi tersebut dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang dapat menciptakan arus besar gelombang pikiran rakyat.
Memang agak sulit menemukan nalar yang sehat ditengah kondisi sosial yang penuh dengan bias konfirmasi; cenderung mencari informasi dengan cara membenarkan apa yang dipercayai dan menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang disukai. Upaya untuk menghidupkan nalar dengan mengaktifkan metakognitif semakin jauh karena gempuran distorsi informasi makin hari makin datang bertubi-tubi. Baik yang pro maupun yang kontra, keduanya melakukan desain dalam konteks perang opini untuk menguasai pikiran masyarakat yang tujuannya mampu menggerakkan masyarakat untuk membela atau memperjuangkan ide-ide tertentu.
Karenanya, tak berlebihan jika kita anggap fenomena menguatnya isu-isu tertentu adalah turunan dari konflik geopolitik yang mengemuka saat ini. AS memiliki segenap perangkat yang cukup untuk memainkan berbagai macam isu untuk mempertahankan pengaruhnya di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama AS selama dan setelah Perang Dingin, dengan mengajak negara-negara tersebut untuk melawan satu musuh bersama: Komunisme. Namun, apakah masih relevan dengan mengangkat isu tersebut dan menyematkannya kepada Tiongkok yang dalam 40 tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat?
Tiongkok & Komunisme
Kishore Mahbubani dalam buku terbarunya “Has China Won?” menjelaskan dengan sangat baik kesalahan-kesalahan strategis AS dalam kontes geopolitik kali ini. Kesalahan tersebut bersumber dari kegagalan AS dalam memandang Tiongkok secara utuh. AS menganggap bahwa Tiongkok akan mempromosikan ideologi Komunisme kepada negara-negara yang menjalin hubungan dengan Tiongkok. Asumsi itu terbangun oleh para pemikir strategis AS yang mengira bahwa makin menguatnya Partai Komunis Cina dalam sistem politik negara itu. Namun strategi itu ternyata hanya untuk menutupi fakta yang sulit dibantah yaitu kegagalan AS dalam 40 tahun terakhir dalam meningkatkan rata-rata pendapatan 50 persen warga negaranya. Sebaliknya, Tiongkok berhasil membalik keadaan negerinya, 80 persen populasi Tiongkok yang 40 tahun lalu masih dibawah garis kemiskinan, saat ini menjadi kelas menengah yang kuat dan produktif.
Apa yang terjadi pada para pemikir AS hingga begitu ceroboh dan salah dalam memetakan Tiongkok? Jawabannya adalah arogansi. Bukan hanya AS tapi dunia barat secara umum ternyata mengalami semacam “brain damage”, setelah memenangkan Perang Dingin tanpa satu peluru pun terlepas, ditambah “provokasi” yang dilontarkan oleh intelektual kenamaan Francis Fukuyama dalam “The End of History”, makin membuat dunia barat besar kepala. Apa yang dilakukan Tiongkok ketika fase akhir Perang Dingin saat itu? Mereka sibuk menerapkan ide modernisasi Tiongkok yang dicetuskan Deng Xiao Ping sepuluh tahun sebelumnya.
Dan kejatuhan Uni Soviet tidak memiliki pengaruh apapun bagi Tiongkok. Karena sejak ide modernisasi Tiongkok dicetuskan, Republik Rakyat Tiongkok berubah menjadi negara “hybrid” yang sangat pragmatis. Komunisme dipakai untuk mempersatukan daratan Tiongkok namun memiliki jadwal terukur untuk membuka diri dengan sistem ekonomi global. Dengan tekun mereka mempelajari banyak hal dari kejatuhan Uni Soviet. Termasuk belajar bagaimana AS dan Dunia Barat memperlakukan Uni Soviet.
Kedekatan pemimpin Republik Rakyat Tiongkok masalalu dengan Komunisme sebenarnya bukan tanpa alasan kuat. Alasan yang paling sahih adalah kekecewaan mereka terhadap Dunia Barat yang saat itu sedang melancarkan Imperialisme dan Kolonialisme, ditandai dengan dimulainya Perang Opium ditahun 1839-1860. Perang Anglo-China ini, pada dasarnya adalah sengketa dagang antara Dinasti Qing yang berkuasa di Tiongkok saat itu melawan Britania Raya dan Prancis. Berlarut hingga pencaplokan beberapa wilayah yang memiliki kondisi geografis strategis seperti Hongkong & Taiwan yang hingga saat ini masih dalam gejolak sengketa politik.
Oleh para pemimpin Tiongkok saat itu, Komunisme hanyalah ide yang mampu dimanifestasikan kedalam kekuatan nyata: negara. Dan satu-satunya yang mampu melawan kebengisan Imperialisme Barat. Jadi, sebenarnya Komunisme tidak berurat akar dalam kehidupan rakyat Tiongkok.
Lalu apa yang menjadi ide dasar dan tujuan oleh para pemimpin Tiongkok dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina sebagai satu-satunya Partai yang ada dinegara tersebut? Jawabannya adalah sejarah peradaban Tiongkok berumur 5000 tahun dan hampir 2000 tahun (1 – 1820 Masehi) menjadi peradaban yang kuat secara ekonomi. Keinginan membangkitkan kembali (revivalisme) peradaban Tiongkok yang kaya dan kuat lebih penting buat para pemimpin Tiongkok dan rakyatnya daripada sekedar menjual ideologi Komunisme.
Itulah mengapa peta jalan modernisasi Tiongkok yang pertama kali dicetuskan Deng Xiao Ping tahun 1978-1979 mampu memposisikan Partai Komunis Cina pada tempat terhormat dihati dan benak rakyat Tiongkok. Sampai hari ini, tak ada satupun pemimpin Partai tersebut yang dapat bicara fasih tentang Komunisme, dalam kepala mereka hanya ada impian kembalinya kebesaran peradaban Tiongkok yang sudah ada sejak ribuan tahun.
Sebagai ide, Komunisme sah untuk tetap hidup. Namun apakah ide itu dimanifestasikan dalam negara, sejarah sudah membuktikan keruntuhan Uni Soviet. Dan perlu diingat, Komunisme Uni Soviet jatuh bukan dengan perang militer. Tetapi, oleh kecanggihan strategi AS dalam membuka tabir keinginan asasi manusia; bebas, merdeka dan sejahtera.
Kebebasan (Liberty) dan Kemerdekaan (Freedom) adalah ide dasar dari Demokrasi. Kesejahteraan (Wealth) adalah tujuan bersama dari Kapitalisme yang dijanjikan oleh Barat kepada Dunia. Ide-ide tersebut dipromosikan melalui globalisasi. Demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan. Kekuatan modal akan menciptakan lapangan pekerjaan. Semua perangkat untuk mendukung tujuan ini dipersiapkan dengan baik melalui penciptaan institusi-institusi global seperti; PBB, Bank Dunia, IMF. Namun apa yang terjadi saat ini nampak sebaliknya, yang terjadi adalah bermunculan gejala negara gagal dan membesarnya kesenjangan global. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kaya yang memiliki akses kepada sumber daya sedangkan sebagian besar populasi dan negara-negara terjerembab dalam jebakan pendapatan menengah. Dalam konteks itu, Tiongkok tidak ikut-ikutan latah mengamini Demokrasi sebagai sistem politik.
Jadi, terjawab sudah bagaimana sebenarnya posisi Komunisme dalam sistem politik Tiongkok. Sampai hari ini, tak pernah ada bukti resmi atau pun tidak resmi tentang keinginan Tiongkok untuk menawarkan Komunisme kepada negara-negara yang tergabung dalam Belt & Road Initiative (BRI) atau kepada negara-negara lain yang belum bergabung. Bahkan dalam konteks hubungannya dengan AS, Komunisme tak pernah jadi masalah, yang ada adalah kegagalan para pemikir dan pemimpin AS dalam membaca Tiongkok.
Islam & Isu Kebangkitan Komunisme
Lalu mengapa muncul gelombang perlawanan agama dalam hal ini umat islam terhadap Komunisme? Mari kembali membaca sejarah bagaimana AS menggunakan gelombang mujahidin untuk memberi pekerjaan rumah kepada Uni Soviet di Afghanistan. Akibatnya tidak sederhana, eks mujahidin kembali mengkonsolidasi diri, mengkristal menjadi tantangan bagi dunia Barat dikemudian hari, terutama setelah peristiwa 9/11. Terorisme kemudian menjadi horor baru dan secara jelas oleh AS dan Barat disematkan kepada Islam.
Namun ternyata Islam tidak sekuat yang AS dan Barat perkirakan sebelumnya melalui tesis terkenal oleh Samuel Huntington “The Clash of Civilization”. Islam saat ini kurang cocok dengan sistem modern baik politik maupun ekonomi. Coba kita lihat dengan jujur, negara-negara Islam atau yang dikonotasikan mayoritas Islam, gagal tampil menjadi pemain utama dunia. Karena seringkali tersandung oleh hambatan-hambatan yang muncul dari dalam diri sendiri. Yang membedakan dengan Tiongkok adalah, mereka memimpikan kebangkitan peradaban dengan cara masuk dan menguasai sistem modern, sedangkan kaum revivalis Islam seringkali berbenturan dengan modernitas. Jadi, tantangan terbesar kelompok Islam dewasa ini bukanlah Komunisme tetapi modernitas.
Fenomena aktual tentang meningkatnya resistensi umat Islam terhadap “kebangkitan” Komunisme, berdasarkan fakta sejarah dan situasi global saat ini, cukup layak jika disebut sebagai korban konflik geopolitik.
Banyak umat Islam menganggap bahwa Komunisme memang sudah runtuh tetapi sebagai ide Komunisme belum mati. Pertanyaannya, siapa yang bisa membunuh ide? Jangankan Komunisme, yang jauh lahir terlebih dulu dari Komunisme seperti Paganisme dan Zoroaster masih ada dan hidup diimani oleh sebagian kecil penduduk bumi. Kalau muncul pertanyaan berikutnya, yang menyatakan bahwa kaum Pagan dan penganut Zoroaster tidak pernah memaksa dan mewujud menjadi suatu sistem politik, nampaknya memang titik masalahnya ada pada kurangnya literasi sejarah.
Mungkin suatu kebetulan, ketika peristiwa 9/11 terjadi di tahun 2001. Dunia disibukkan oleh konflik diametral antara AS dan Islam (Invasi AS ke Afghanistan & Irak), Tiongkok di tahun itu secara resmi menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang langsung ditindak lanjuti dengan masuknya 900 juta tenaga kerja Tiongkok ke dalam sistem ekonomi global. Entah hal ini disadari atau tidak oleh AS dan Uni Eropa apalagi oleh Dunia Islam, yang jelas sejak saat itu Tiongkok tidak pernah berhenti bertumbuh.
Sekarang sebagai sebuah fakta, Tiongkok telah menjadi negara terbesar didunia dari sisi Purchasing Power Parity (PPP) dan negara terbesar kedua dari sisi ekonomi setelah AS. Namun banyak yang telah memprediksi akan menjadi nomer satu didunia ditahun 2035, dan di tahun 2045 akan menguasai dunia dari segala aspek. Jelas akan terjadi konflik geopolitik yang panjang, bisa terjadi satu hingga dua dekade kedepan.
Pentingnya Peta Jalan
Konflik dua kekuatan besar ini sangat rentan untuk berubah menjadi konflik militer terbuka. Ditengah kegalauan negara-negara maju, efek dari krisis keuangan global di tahun 2008, menjelma menjadi kesenjangan ekonomi yang merajalela kemudian mempelopori kebangkitan kaum populis yang didukung oleh elit-elit nasionalis-chauvinis, terjadi secara merata di Eropa dan AS.
Tiba-tiba gugatan itu tertuju pada globalisasi dan derivasinya. O’ Sullivan memunculkan istilah “The Levelling” sebuah transisi yang sedang dialami dunia dari segala aspek. Bahwa dunia akan “naik kelas” dari sisi kesejahteraan antara negara miskin dan kaya, dari sisi kekuatan negara-bangsa dan kawasan, dari sisi akuntabilitas elit politik dan rakyat, kemudian dunia akan mengalami perubahan pada kekuatan institusi yang selama ini memiliki fungsi penting seperti Bank Sentral serta institusi-institusi yang punya peran penting dalam pembangunan di abad 20 seperti WTO dan IMF.
Relevansi eksistensi negara-bangsa semakin pudar dan terus dipertanyakan. Globalisasi yang memiliki arti terhubungnya semua kepentingan negara-bangsa yang diterapkan dengan sejumlah aturan main yg disepakati secara internasional, hendak memilih untuk balik kebelakang atau terus melaju bahkan sampai tahap mendelegitimasi negara-bangsa itu sendiri. Dan AS sepertinya (untuk sementara waktu), memilih untuk balik kebelakang.
Praktik hubungan internasional yang dibangun secara multilateral mendadak berubah menjadi unilateral seperti yang dilakukan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump. Keluarnya AS dari kesepakatan Trans Pasific Partnership (TPP) yang digagas saat AS di pimpin Obama, justru menjadi berkah geopolitik tersendiri bagi Tiongkok. Bahkan, ancaman Trump kepada negara-negara yang selama ini jadi pendukung AS untuk tidak ikut serta dalam Belt & Road Initiatives tidak diindahkan oleh negara-negara tersebut. Dalam hal ini, mereka menganggap Tiongkok dapat menawarkan kesepakatan yang bagus untuk ekonomi melalui pengembangan infrastruktur yang selama ini banyak diabaikan oleh AS.
Agar terhindar dari Perang Dunia, yang terbaik bagi AS adalah mengambil langkah untuk kembali masuk kedalam pembicaraan multilateral. Walaupun memang tantangan internal AS sungguh demikian pelik. Trump dianggap tidak memiliki kompetensi sebagai orang nomer satu di negara itu. Karakternya yang dominan impulsif berakibat pada keputusan-keputusan strategis yang membahayakan. Termasuk bagaimana ia tidak memahami kompleksitas tema tentang defisit neraca perdagangan AS yang selalu ia keluhkan sebagai dasar dari deklarasi perang dagang dengan Tiongkok. Namun, jika ia kalah dalam pilpres AS November nanti, apakah AS akan merubah kebijakan luar negerinya? Belum tentu bahkan mendekati tidak. Mengapa? Dari semua kebijakan Trump yang tidak mendapat dukungan dari Partai Demokrat AS, ada satu dimana Partai Demokrat melalui elit-elitnya termasuk Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, mendukung kebijakan Trump, yaitu perang dagang melawan Tiongkok.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai bangsa ditengah kontes geopolitik ini? Ironinya, jarang sekali elit-elit di negara ini terutama yang sedang berkuasa, menaruh perhatian serius terhadap isu strategis ini. Terlihat dari kurangnya peta jalan untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang dapat berperan atau bahkan mengambil keuntungan dari kontes geopolitik ini.
Politik luar negeri bebas aktif harusnya bukan hanya diartikan tidak memihak salah satu diantara keduanya, namun harus dipandang secara pragmatis. Deng Xiao Ping ketika menetapkan peta jalan dalam menyongsong modernisasi Tiongkok, juga dijadikan tarik-menarik oleh AS & Rusia di tahun 70an, perlu diingat saat itu merupakan puncak dari perang dingin. Tetapi ia berhasil membawa Tiongkok keluar dari jebakan dua kekuatan, dengan menjanjikan kepada AS suatu saat Tiongkok akan menerapkan sistem demokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Disisi lain, Tiongkok tetap mempertahankan eksistensi Partai Komunis Cina karena mereka yakin hanya itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang meritokratik. Yang terjadi kemudian, Uni Soviet lebih dulu jatuh, dan AS sekarang mendapat tantangan serius dari Tiongkok.
Kuncinya ada di peta jalan dan kualitas elit yang lahir dari sistem meritokrasi. Bukan elit yang lahir dari proses demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan uang dan oligarki. Seperti demokrasi AS hari ini yang dibajak oleh kekuatan pemodal.
Khusus mengenai peta jalan, didalamnya tentu harus memuat strategi jangka panjang. Tidak sadarnya AS atas cepatnya pertumbuhan Tiongkok, disamping soal arogansi karena merasa tidak akan terkalahkan, juga karena kurangnya strategi jangka panjang terhadap Tiongkok. Tidak seperti waktu mereka menghadapi Uni Soviet. Diawali dari sebuah artikel yang ditulis oleh “Mr. X” yg belakangan terungkap bahwa yang dimaksud adalah George Kennan, seorang ahli strategi kenamaan AS. Dia merumuskan dengan detil dan lengkap tentang langkah dan strategi apa yang harus dijalankan oleh AS secara jangka panjang. Hal itu juga sempat disinggung oleh Henry Kissinger, legenda hidup ahli geopolitik AS dalam satu buku khusus yang dia tulis “On China”.
Alih-alih merumuskan strategi jangka panjang, masyarakat dan elit AS hari ini malah dipenuhi oleh emosi. Memandang Tiongkok dengan nada merendahkan karena sentimen “yellow peril” menganggap orang-orang asia berkulit kuning yang patut diwaspadai. Sikap rasis yang penuh emosi tersebut sama sekali tidak membantu AS keluar dari masalah sebenarnya. Justru yang harus dilakukan adalah AS harus kembali logis dan rasional serta pragmatis seperti ketika mereka memulai memberikan solusi bagi negara-negara yang telah habis-habisan bertarung pada Perang Dunia II.
Bagi Indonesia tidak ada jalan lain selain melakukan adaptasi dan antisipasi. Kalau benar Tiongkok akan mengambil alih supremasi kepemimpinan dunia dalam jangka waktu satu hingga dua dekade kedepan, Indonesia punya waktu yang cukup untuk memanfaatkan transisi ini seefektif mungkin. Secara geografis letak wilayah Indonesia berada dekat dengan Tiongkok. Dari sisi kawasan regional, Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, kawasan yang paling plural di dunia namun tetap damai. Negara-negara dikawasan lain, tak bisa menandingi keberagaman dan keharmonisan yang terjadi disini. Stabilitas adalah modal penting pertumbuhan ekonomi dimanapun.
Namun, jika AS ternyata mampu bertahan, tidak sulit bagi Indonesia karena memiliki sejarah panjang hubungan diantara keduanya sejak perang dingin hingga saat ini. Walaupun yang seharusnya harus diwaspadai dengan perhatian penuh adalah bukan AS atau Tiongkok yang memimpin, tapi transisi yang panjang ini mampu dilewati dengan selamat atau tidak.
Saat-saat seperti ini kalimat yang diutarakan oleh Gramsci layak untuk kita renungi “Krisis terjadi tepatnya karena yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat muncul, dalam peralihan ini berbagai gejala mengerikan muncul!”.(*)