Dalam ekonomi, jika kita mengklasifikasi keseluruhan aktifitasnya secara umum maka hanya terdapat 2 sektor yang mewakili sifat aktifitasnya; yaitu sektor Industri yang bergerak dalam aktifitas Hulu dan sektor Perdagangan yg bergerak mewakili aktifitas Hilir. Ada juga sektor pertanian dan pertambangan, tapi anggaplah itu bagian dari proses produksi (Hulu), karena didalamnya terdapat upaya menghasilkan atau mendapatkan sesuatu serta menciptakan nilai tambah.
Kedua jenis sektor tersebut, Industri & Perdagangan, bergerak berdasarkan skalanya. Ada yg besar sekali hingga sampai yang kecil dan kecil sekali. Kita anggap bahwa yang kecil dan kecil sekali adalah UMKM dengan segala jenisnya; dari mulai industri rumahan hingga pedagang eceran.
Indonesia dengan proyeksi jumlah penduduk di tahun 2020 dikisaran 271 juta jiwa, dengan prosentase gabungan berdasarkan umur (15-64 tahun) sebesar 66,5%. Kemudian dengan jumlah penduduk Rural (tinggal didesa), berdasarkan data Bank Dunia tahun 2015, sebesar 46%, yang artinya 54% masyarakat Indonesia adalah masyarakat Urban. Dan menurut data Bank Dunia tersebut, proyeksi pertumbuhan populasi Urban di tahun 2050 akan mencapai 67%.
Dari data diatas, Indonesia berpotensi memiliki usia produktif yang sangat besar dan populasi yang besar itu akan hidup didalam kota-kota dengan segala karakteristiknya. Apakah ini merupakan kabar baik dari sisi ekonomi? Tergantung apakah kondisi ekonomi Indonesia mampu menyerap pertumbuhan usia produktif yang tumbuh setiap tahun. Sederhananya, seberapa besar Indonesia mampu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja baru yang lahir tiap tahunnya. Karena kalau tidak hal ini akan menjadi bom waktu (angka pengangguran yang tidak terkendali) yang bisa meledak kapan saja.
Peluang untuk menangkap bonus demografi tersebut, sebenarnya sudah terkonfirmasi pada fenomena tumbuh suburnya semangat masyarakat pada tema seputar wirausaha atau yang lebih umum dikenal dengan Entrepreneurship. Secara natural masyarakat mengkonsolidasi kesadaran dan semangat bersama pada tema ini dan pada saat yang bersamaan mereka melepaskan kepercayaan pada pemerintah untuk bisa menjamin kehidupan dan masa depan ekonomi mereka sendiri.
Dan keterlepasan (decouple) tersebut melahirkan warga negara yang tidak percaya (citizen dis-trust) kepada negaranya. Dan akan melahirkan fenomena ketidak tergantungan pada negara. Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah babak baru dalam sistem kehidupan, yaitu “peoples over states”; masyarakat yang lebih kuat daripada negara. Dan tren itu akan makin besar pasca merebaknya pandemik Covid-19.
Menguatnya individu juga adalah fenomena “post-capitalism” yang menggugat globalisasi yang pada faktanya malah melahirkan “global gap” atau kesenjangan global. Aset kekayaan dunia tidak tersebar merata dan hanya menumpuk pada segelintir elit ekonomi politik. Di Indonesia misalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, ditahun 2020 ini total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 47,9 Milyar Dollar atau jika dirupiah kan sebesar 766,4 Trilyun Rupiah (kurs 16 ribu). Jumlah itu setara dengan 30% APBN 2020 yang sebesar 2.540 Trilyun, dan juga setara dengan pendapatan 124 juta rumah tangga miskin per tahunnya, yang menurut data BPS kategori rumah tangga miskin adalah mereka yang mendapatkan penghasilan sebesar 1,9 juta rupiah setiap bulannya.
Jika melihat tren diatas, tema tentang entrepreneurship yang digaungkan oleh sebagian masyarakat akan menemukan “peak performance” nya dalam waktu yang tidak lama lagi. Terbukti dengan kemampuan sektor UMKM mampu menyerap angkatan kerja baru sebesar 96% setiap tahunnya. Ini adalah angka yang sangat fantastis. Terlepas apakah negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, itu satu hal dan fenomena pertumbuhan UMKM adalah hal lain. Dan ini semakin mengkonfirmasi teori tentang makin menguatnya individu dan masyarakat, serta makin lemahnya peran negara.
Namun, beberapa hal yang perlu di imbangi adalah semangat wirausaha tersebut harus dibarengi dengan semangat kelanggengan usaha (continuity). Karena tujuan berbisnis adalah menciptakan nilai tambah yang dapat dilipatgandakan untuk memperbesar aset. Jangan sampai semangat tersebut patah karena kegagalan memahami karakter inti dari bisnis. Apa itu karakter inti bisnis? Salah satu yang paling utama adalah mengelola aspek keuangan didalam bisnis.
Banyak sekali perusahaan atau UMKM yang berhenti ditengah jalan bukan karena tidak adanya pendapatan usaha (income revenue), namun mereka gagal mengelola pendapatan tersebut. Mereka biasanya sudah tidak bisa lagi menyelesaikan kewajiban-kewajiban seperti hutang atau gaji pegawai, tidak bisa melakukan ekspansi karena kehabisan modal kerja, dgn kata lain mereka mengalami gagal cashflow. Kalau sudah begitu biasanya mereka akan susah mendapat sumber-sumber pemasukan lain seperti investasi dan pembiayaan. Karena sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh investor maupun lembaga pembiayaan seperti bank atau non-bank. Padahal bisa jadi bukan karena pilihan jenis usaha-nya yang bermasalah, tetapi karena gagal dalam mengelola keuangan.
Pengetahuan tentang keuangan (Financial Literacy) adalah pengetahuan dasar bukan hanya bagi para wirausaha atau pebisnis, namun juga bagi semua orang. Didalam rumah tangga misalnya, seorang ibu rumah tangga harus bisa mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran yang didapat dan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Dan kemampuan mengelola tersebut untuk memastikan kelangsungan kehidupan didalam rumah serta menentukan keluarga tersebut memiliki simpanan untuk digunakan dikemudian hari. Karena hal-hal seperti ini biasanya dianggap seperti hal yang sudah biasa terjadi dan memang seharusnya terjadi, akhirnya tidak mengharuskan kita mempelajari lebih baik apa itu Literasi Keuangan. Padahal didunia yang sedang bergerak dan berubah dengan sangat cepat, kemampuan ini amat diperlukan untuk beradaptasi.
Begitupula bagi kalangan pekerja baik itu pegawai ASN (aparatur sipil negara) atau karyawan swasta. Seringkali mengalami masalah dalam mengelola keuangan pribadinya, dimana sebenarnya hal tersebut karena kurangnya Literasi Keuangan. Sebagian besar tidak memahami prosentase distribusi pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kalaupun sudah memahami prosentase distribusi, seringkali tidak memahami alasan filosofis dari besaran prosentase distribusi tersebut. Inilah yang menyebabkan seringkali kalangan pekerja lebih banyak membayar hutang dari pada membayar kebutuhan pokok sehari-hari. Alih-alih memiliki portofolio investasi untuk masa depan mereka sendiri.
Bicara tentang investasi, di Indonesia seiring bertumbuhnya semangat entrepreneurship, yg masuk dalam kategori sektor Industri & Perdagangan. Secara bersamaan, sebenarnya tumbuh pula semangat investasi individu pada produk-produk yang disediakan oleh sektor keuangan. Investasi adalah usaha menanamkan modal pada usaha atau komoditas tertentu yang memiliki potensi pertambahan nilai dalam periode tertentu. Dan dewasa ini, investasi sangat mudah dilakukan oleh individu dan dapat dimulai dengan jumlah yang kecil. Masyarakat sekarang dapat menanam dananya pada produk seperti saham, obligasi, reksadana dan mata uang asing. Tentunya instrumen tersebut baiknya dibeli dengan tujuan investasi yang spesifik.
Sektor keuangan adalah sektor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tingkat literasi masyarakat yang rendah pada tema tentang keuangan, membuat sektor ini menjadi hanya milik segelintir orang yang sudah memiliki basis aset yang besar. Oleh karena itu, perlu adanya upaya edukasi secara masif agar tercipta masyarakat yang sadar akan pentingnya sektor ini.
Bagi pelaku usaha, cara paling baik dalam menilai kelangsungan bisnis adalah dengan melihat laporan keuangan. Dan membuat laporan keuangan ini justru yang minim dilakukan oleh pelaku usaha UMKM. Padahal itu merupakan hal paling penting untuk memastikan kelangsungan bisnis. Bagaimana cara menghindari resiko dan melipatgandakan keuntungan serta menentukan berapa besaran pajak dan kewajiban lain, semuanya tergambar dalam laporan keuangan. Hanya pelaku usaha yang memiliki tingkat Literasi Keuangan yang baik yang dapat selamat dari ancaman krisis yang disebabkan oleh internal maupun eksternal.
Rendahnya tingkat Literasi Keuangan merupakan tantangan menarik. Karakter masyarakat Indonesia yang tidak terlalu terbuka ketika membicarakan soal uang menjadi tantangan budaya tersendiri. Masyarakat kita cenderung tertutup dan dalam tiap kesempatan dianggap hal yang tidak pantas ketika memulai pembicaraan tentang pendapatan dan rencana belanja. Keuangan memang adalah urusan sensitif karena terlalu privasi. Justru karena itu harus dipahami dengan pengetahuan yang baik. Bukan malah dianggap tabu untuk dipelajari. Sederhananya, bolehlah dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka kepada siapa saja, tetapi harus tetap dipelajari dengan baik agar kemampuan mengelola keuangan menggunakan pendekatan pengetahuan yang dapat menjamin kondisi keuangan pribadi, rumah tangga, UMKM, korporasi menjadi lebih terjamin hingga masa yang akan datang.