Salah satu “prestasi” saya yang agak membanggakan adalah, memanfaatkan waktu libur lebaran kemarin dengan menonton serial film “House of Cards”. Tayangan serial tv yang disiarkan Netflix tersebut mampu bertahan hingga session 6 (final session) sejak mulai dirilis pada tahun 2013. Kevin Spacey, aktor sekaligus produser serial tersebut, sangat menguasai situasi dan kondisi politik Amerika seperti sebenarnya (terlepas muncul masalah hukum serius kepadanya menjelang berakhirnya session terakhir). Seolah kita diperlihatkan muka asli politik dan politisi Amerika berikut kisah soal ambisi dan pengkhianatan yang sehari-hari menjadi tipologi dan karakter politik “machiavellianism”; menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
“The road to power is paved with hypocrisy and casualties” kata Frank Underwood, anggota kongres Amerika dari Partai Demokrat sebagai pemeran utama yang diperankan oleh Kevin Spacey tersebut. Menjadi munafik atau menjadi korban adalah pilihan yang penuh resiko dalam politik. Keduanya adalah efek langsung dari jalan perebutan kekuasaan. Mungkin saja kita menolak cara berfikir Frank tersebut. Karena dewasa ini teori politik yang sudah berkembang secara jamak dimasyarakat adalah politik merupakan cara mulia untuk mencapai terwujudnya keinginan bersama. Konsep normatif ini tentunya bagus agar kemudian para fatalis yang antipati terhadap politik menjadi punya pertimbangan lain.
Bagi nalar yang sehat, politik merupakan kondisi aksiomatik. Aristoteles mengajukan istilah “Zoon Politicon” atau binatang yang berpolitik. Adalah sindiran tepat untuk menyelesaikan perdebatan seputar kekotoran politik. Ini soal akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Politik dapat membedakan manusia dan binatang. Tanpa politik manusia tak ubahnya seperti binatang. Karena itu kemuliaan manusia menurut ide tersebut terletak pada cara hidup dengan politik atau tidak dengan politik.
Tapi kemudian bagaimana meletakkan konsep aksioma politik tersebut kedalam cita-cita ideal dalam politik itu sendiri, yang akan menjadi perjalanan penuh tantangan. Niat tak bisa dihakimi karena terlalu samar untuk dinilai. Bagi politisi yang meraih simpati publik, idealisme bisa disuarakan secara terbuka dan biasanya menjadi “jualan” kampanye yang efektif. Namun kesuksesan politik seringkali ditentukan oleh perjuangan di ruang tertutup. Idealisme terlalu besar dan mewah untuk masuk dalam ruang gelap, pengap dan tertutup. Seringkali kontradiksi ini menjadi masalah laten.
Ada yang bilang bahwa ini hanya soal cara mengelola. Betulkah? Bisa jadi jika kita malas mencari akar persoalan sesungguhnya. Kontradiksi antara ruang tertutup dan terbuka akan menjadi lingkaran setan yang tak ada ujung. Namun melawan praktik politik yang terlanjur membiasakan kesepakatan diruang gelap tersebut juga akan sia-sia dan akan menyebabkan alienasi baru; keluguan berpolitik. Lalu harus bagaimana?
Di Negara ini semua perangkat keras politik dan sistem demokrasi-nya sejauh ini telah lengkap. 20 tahun transisi dari otoritarianisme hingga demokrasi prosedural yang makin liberal ini, merupakan momentum untuk mengisi perangkat keras tersebut dengan nalar dan konstruksi berpikir yang sehat.
Populisme menjadi menarik karena konsep ini mengisi ruang kosong yang gagal diisi oleh variasi ideologi yang jatuh bangun diterima atau ditolak oleh publik. “The End of Ideology” istilah yang disodorkan oleh Fukuyama menjelang berakhirnya perang dingin menjadi relevan untuk direnungkan. Pretensi dan asumsi setelah berakhirnya era idelogisasi politik itu yang menarik untuk dikejar lebih lanjut. Konflik antara agama dan demokrasi seperti yang diajukan oleh Huntington juga seperti menemukan bukti mutakhir. Namun ternyata makin kesini, buah pikir para futuris tersebut makin tak terbaca. Populisme dan didukung oleh kemajuan teknologi dewasa ini menggagalkan kerangka berpikir yang “vis a vis”, bipolaris atau bahkan perang konvensional.
Upaya untuk mengisi perangkat politik dengan konten yang padat akan nilai intelektualitas dan capaian masa depan harus terus dilakukan tanpa lelah. Dalam konteks politik lokal, upaya ini harus terus dipaksa. Politik lokal harus naik level. Perlu dibuat rumusan secara spesifik dan detil. Yakinlah bahwa ortodoksi pikiran dan pengelolaan tradisional dalam cara berkuasa atau cara melanggengkan kekuasaan akan punah sebentar lagi. Ini telah terbukti diseluruh belahan dunia. Populisme akan menjadi seleksi alam yang paling efektif dan efisien. Tanpa sadar kita sudah tiba pada era baru pengelolaan politik; digitalisasi demokrasi.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi nafasnya. Momok ruang tertutup akan tersapu oleh teknologi dan akan segera berhadapan dengan generasi baru politik Indonesia; tak peduli apa yang terjadi dahulu, kritis terhadap hari ini dan menolak putus asa pada masa depan. Secara alamiah kita akan tiba pada masa yang akan menempatkan isi kepala sebagai syarat utama dalam kontes demokrasi. Pranata demokrasi akan segera matang dan berlaku tanpa perubahan dalam jangka waktu yang signifikan. Masyarakat terdidik akan segera tumbuh. Civil society yang sadar akan hak-hak (karenanya isu hukum akan mendominasi ruang publik) serta keterbukaan pikiran atas budaya baru yang akan tiba secara massif (open mind society).
Ditengah situasi yang serba terbuka tersebut, kesepakatan demi kesepakatan politik akan makin terbuka. Akan terjadi “zero-zero sum game”. Semua kalangan akan memiliki titik mulai yang sama. Namun tak bisa kita artikan bahwa akan menutup habis peluang terjadinya ruang tertutup dalam politik. Ruang gelap itu akan tetap ada, tetapi yang akan berbeda adalah isinya. Inilah yang dimaksud meningkatnya level politik lokal. Tema politiknya akan meningkat bukan sekedar pada rutinitas dan praktik politik antara legislatif dan eksekutif. Namun akan mulai berbicara soal hal-hal makro sekaligus mikro pengelolaan pemerintahan yang akan membuka jalan pikiran elit politik dan masyarakat secara luas.
Seiring perubahan demografi, persepsi soal pembangunan juga akan berubah. Tema soal pembangunan infrastruktur maupun sisi gelapnya, setahap demi setahap akan kehilangan narasinya. Dan akan digantikan oleh tema-tema yang lebih segar karena kecenderungan pergeseran demografi tersebut. Apalagi jika itu terjadi dalam lingkup Kota bukan Kabupaten. Misalnya kalau sekarang banyak orang memandang penting terbangunnya jalan raya yang mulus, kedepan pembahasan akan berubah menjadi pentingnya akses internet gratis kesemua wilayah kota secara massif bahkan lebih dari itu, akan merambat kearah isu lain seperti mekanisasi atau robotisasi aspek pelayanan publik. Tanpa mempertentangkan-nya secara diametral, karena urusan pembangunan jalan akan diangap standar minimum pelayanan yang sudah harus otomatis terlampaui. Apalagi jika ada perubahan yang radikal pada sistem pendidikan, niscaya akan mempercepat perubahan lanskap politik dalam konteks lokal tersebut.
Suka atau tidak, cepat atau lambat perubahan ekstrem akan sampai. Korban pertama dari perubahan tersebut salah satunya adalah politisi dan tentunya partai politik. Kemampuan antisipasi keduanya sangat berpengaruh terhadap kelanggengan. Di masa depan, sumber daya menjadi lebih beragam dan agak sulit terbaca oleh konservatisme khususnya dalam pikiran. Katakanlah kita belum mampu ikut menciptakan masa depan yang ekstrem itu, tapi membuat rencana antisipatif tetap harus dilakukan. Kalau kita akan kehilangan semangat zaman. Dan dewasa ini semangat zaman bisa kalah oleh ego segelintir elit yang masih merasa relevan.
Belum lagi jika kita mendalami kajian prediksi eksistensi Negara dimasa depan. Ketika Negara dianggap tak lagi relevan dalam menjawab tantangan peradaban umat manusia. Negara-bangsa yang telah berumur hampir tiga abad ini direncanakan akan punah karena secara global warga dunia telah sedikit demi sedikit namun pasti dan alamiah mereduksi peran dan fungsi Negara. Kecanggihan teknologi dan gejolak pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi langsung terhadap fenomena ini. Bahkan keraguan terhadap eksistensi Negara tersebut direspon secara berlebihan hingga muncul lompatan imajinasi yang menggambarkan bahwa dunia ini telah akan menemui akhir waktu (kiamat). Perdebatan seputar bentuk kiamat dan bentuk kehidupan sesudahnya makin tajam dipermasalahkan oleh para pemikir hingga para pelamun. Terlepas dari dialektika tersebut, kata kunci yang harus digenggam erat adalah kemampuan antisipatif. Ini adalah standar minimal bagi kita yang cenderung abai terhadap kemampuan menciptakan masa depan.
Populisme dalam konteks agama khususnya Islam yang dewasa ini sedang berkembang. Sejatinya menjadi tidak terlalu menarik kalau diproduksi secara berlebihan menjadi komoditas politik elektoral dalam hal ini pilkada. Diskursus nya berkembang menjadi klaim revivalisme kalangan Islam politik. Ditengah kecurigaan yang belum selesai antara Islam dan politik itu sendiri. Ini merupakan babak baru dari proyek Islamic phobia yang massif dilakukan oleh kekuatan besar untuk memperpanjang kecurigaan warga dunia terhadap ide Islam rahmatan lil ‘alamin yang sejatinya tak perlu dipertentangkan lagi. Dan kabar buruknya, banyak umat dan pemimpin umat yang terprovokasi meladeni permainan ini. Itulah populisme, ide yang bisa dipakai siapapun dan bisa membuang siapapun. Islam bukanlah ajaran yang baru bisa bangkit jika ada gelombang arus populisme. Islam justru harus masuk dan mendarah daging dalam hidup pribadi maupun kehidupan masyarakat. Disitulah pentingnya kalangan Islam politik harus memiliki agenda. Agenda yang disusun secara independen dan sinergis bukan menumpang gelombang atau memanfaatkan kesalahan lawan ideologi.
Melalui pemanfaatan teknologi akhirnya banyak yang simpati untuk kemudian “hijrah” setelah mendengar dan meresapi ide tentang Islam yang sesungguhnya. Kecenderungan ini sangat positif namun harus dipastikan bersama bahwa model pendekatan tersebut harus langgeng. Dan ide soal universalitas Islam harus senantiasa digaungkan keseluruh lapisan masyarakat sebagai bentuk dialektika budaya.
Membahas Islam, adalah membahas tentang nilai-nilai yang terkandung didalam politik yang akan menjadi diferensiasi dengan nilai-nilai politik yang ada dan berkembang di Indonesia. Secara nilai, demokrasi adalah ruang terbuka. Ide apapun bisa mengisinya asalkan sesuai dengan rules of the game-nya. Apa-apa yang kita bawa akan tampak dan terlihat serta diuji oleh semua.
Demokrasi adalah lahan terbuka, ia tidak akan berbicara siapa kita, namun ia akan bertanya apa yang kita bawa. Karenanya kalau dalam konteks meningkatkan level politik Islam, yang dibutuhkan adalah Objektifikasi nilai-nilai Islam kedalam ruang terbuka yang dinamakan demokrasi. Tema ini terlalu sering dibahas namun selalu saja ada ganjalan datang dari luar dan dari dalam. Seolah tak mau menyelesaikan tema ini untuk naik pada level berikutnya yaitu; memimpin Negara. Semoga saja kesadaraan penuh akan segera tiba, bahwa perdebatan hanyalah seputar konteks bukan teks.
Langkah awal untuk meningkatkan level peradaban politik lokal salah satunya dengan meng-aktivasi kemampuan riset dalam segala aspek. Walaupun hanya beberapa aspek prioritas dan aktual yang ada pada politik lokal. Beberapa yang dominan misalnya seperti isu tentang anggaran penerimaan dan belanja daerah yang turunannya akan berpengaruh pada isu lain semisal keberpihakan pada pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Kita sering terbiasa melakukan proses politik tanpa riset. Padahal kalau tanpa riset yang konphrehensif, kita tak mampu membuat indikator pencapaian target apalagi menilai keberhasilan pembangunan. Pada akhirnya semua berujung pada kesepakatan politik saja. Dan itu merupakan bentuk lain dari kesepakatan politik yang lahir dari ruang gelap. Sudah habis masanya melakukan model pengelolaan politik dan pemerintahan tanpa riset yang mendalam. Akuntabilitas harus memiliki basis yang kuat, dan basis yang kuat lahir dari riset yang menyeluruh. Riset akan mencakup keseluruhan proses; mulai dari perencanaan, administrasi dan birokrasi, hingga eksekusi dan pemanfaatan serta ruang gerak politik yang terkandung didalamnya.
Namun politik lokal bukan hanya menyangkut rutinitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Peningkatan level peradaban tentunya harus juga menyangkut aspek sosial dan budaya. Yang menjadi objek dalam riset ini adalah manusia dan sumber daya sekitarnya. Budaya literasi masyarakat misalnya, tak ada Negara maju yang masyarakatnya minim membaca. Atau dalam hal kebebasan pers, tak boleh ada satu jurnalis atau media-pun yang membuat berita tanpa data atau minim kemampuan dalam menciptakan realitas. Karena dewasa ini media bukan lagi berperan mengabarkan fakta atau realitas, namun menciptakan fakta dan realitas. Belum lagi aspek budaya lokal yang berhubungan dengan sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal yang biasa menjadi hal klise namun di beberapa tempat di dunia mampu menaikan level peradaban masyarakatnya dan dikagumi oleh bangsa lain.
Tak ada daerah yang tak punya sejarah. Sejarah adalah kumpulan peristiwa pada titik-titik waktu yang cenderung berulang, didalamnya terkandung segala hal yang dapat mempengaruhi pola pikir dan cara hidup masyarakat pada daerah tersebut. Pembacaan para aktor politik lokal cenderung lemah terhadap sejarah dan budaya sehingga diskursus politik yang terjadi tak pernah menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan budaya yang telah terbukti berhasil menciptakan masyarakat yang bertahan (survival society) jauh sebelum keteraturan politik (political order) itu ada.
Kembali pada cerita tentang “house of cards”. Praktik menghalalkan segala cara adalah karakter politik yang hanya mengenal kalah dan menang. Dan memang mungkin saja hanya ada dua hal itu saja dalam politik. Aktualisasi capaian politik memang harus realistik dan kongkrit. Tak ada solusi menang-menang bagi yang berpikiran sempit. Namun selalu ada kemenangan bagi mereka yang dada dan pikirannya terbuka lebar. Level peradaban politik demikian tentunya bisa muncul jika lahir dari pribadi penuh isi kepala dan sumber dayanya. Permainan kekuasaan memang selalu meninggalkan cerita baik dan buruk. Baik bagi yang mendapatkannya, buruk bagi yang terlepas olehnya. Bisa jadi, kunci untuk memahami tingkat kesadaran politik hingga pada level kelapangan adalah keyakinan bahwa tak ada satupun kerja besar yang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri.
Sikap mental tersebut tetap perlu. Namun merencanakan desain politik yang diinginkan adalah syarat utama. Bagaimanapun “ghost protocol” yang selalu tanpa rencana, tanpa bantuan dan tanpa pilihan adalah cerita lain jika harus dilakukan pada situasi tertentu. Politik itu scientific. Bisa dipelajari dan diukur. Baik dalam kondisi normal atau emergency.
Konflik politik adalah niscaya. Yang membedakan adalah apa yang diselisihkan dan dengan cara apa kita berselisih dengan partner konflik tersebut. Itu yang membedakan level peradaban para politisi.
So’ being hipocricy or being casualty, what we are choosing? And if you don’t like how the table is set, just turn over the table! That’s a real politician with the high level of civilization. 24/06/2018