Pandemi & Narasi Kemajuan (Belajar Dari Sejarah)

Satu demi satu korban berjatuhan. Menit demi menit kabar duka datang berseliweran. Seolah semua sedang menunggu giliran. Wabah ini begitu mengerikan, mudah sekali manusia terpapar, konon katanya hanya dengan berpapasan dapat menular. Virus yang super kecil itu mampu bergentayangan diudara selama beberapa jam. Entah benar atau tidak, mereka yang dinyatakan positif tertular telah tembus puluhan ribu tiap harinya. Itu hanya di Indonesia, belum diseluruh dunia.

 

Kengerian ini makin menjadi-jadi. Fasilitas kesehatan masyarakat seperti rumah sakit dari mulai Instalasi Gawat Darurat (IGD) hingga Intensive Care Unit (ICU) penuh oleh pasien yang mengalami perburukan saturasi oksigen. Rumah sakit mengalami kekurangan daya tampung sehingga tak mampu lagi menerima pasien. Akibatnya, banyak pasien meninggal dunia dalam antrian atau meninggal dalam isolasi mandiri di rumah. Isolasi mandiri ini anjuran petugas atau tenaga kesehatan, jika pasien yang dinyatakan positif Covid-19 hanya mengalami gejala ringan seperti demam atau batuk tanpa ada sesak nafas.

 

Hampir semua informasi tentang virus ini datang dengan berbagai macam versi. Mungkin karena virus ini jenis penyakit baru sehingga hampir seluruhnya masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan bahwa Orang Tanpa Gejala (OTG) yang telah di uji usap dan dinyatakan positif, mereka dianggap bisa menularkan. Namun informasi lain mengatakan tidak karena belum ada penelitian yang menyimpulkan demikian. Gegara simpang siur informasi tersebut, belakangan mengubah persepsi kita tentang istilah “sakit” itu sendiri; mereka yang nampak sehat tanpa ada gejala apapun, kita anggap sakit dan ajaibnya kita percaya mereka bisa menularkan penyakit pula.

 

Kebingungan massal merebak. Wabah ini bukan hanya berimbas pada mereka yang terpapar, tapi juga menjangkiti pikiran semua orang yang masih sehat. Hidup seperti tidak bisa kembali lagi layaknya hidup normal sebelum pandemi terjadi. Hari-hari kita sekarang diliputi panik, cemas dan curiga. Padahal kata ilmuwan, hanya antibodi diri kita sendiri yang mampu melawan virus itu. Dan antibodi ini tak bisa muncul dari jiwa yang takut, panik, dan cemas. Tak disangka kita akhirnya mengalami pergumulan sejarah yang penuh dengan paradoks seperti saat ini.

 

Ditengah situasi penuh paradoks ini saya mengulang membaca sejarah peradaban umat manusia. Muncul pertanyaan dikepala saya, pernahkah umat manusia mengalami peristiwa menakutkan seperti saat ini di masa lalu? Ternyata pernah. Membaca sejarah bagi saya bukan hanya diniatkan untuk menambah pengetahuan tentang apa-apa yang kita tidak tahu di masa lalu, tetapi juga amat penting untuk mengalihkan situasi jiwa yang amat membutuhkan teropong yang utuh dalam melihat masalah yang begitu akut kita rasakan seperti saat ini. Pandangan makro dengan cara meneropong jauh kebelakang dirasa perlu untuk sejenak mengalihkan  penglihatan mikroskopis yang terlalu fokus dengan masalah yang belum ada jawabannya. Hal tersebut bisa menghasilkan suasana jiwa yang lain. Setidaknya sedikit memberi perasaan bahwa ternyata didunia ini, bukan hanya kita, manusia yang hidup saat ini yang pernah merasakan situasi mengerikan semacam ini.  

 

Pada abad ke-13, ketika berlangsungnya “Pax Mongolica” atau pengaruh kuat dalam sosial, budaya dan ekonomi yang ditanamkan oleh kekaisaran Mongol yang telah menaklukan sebagian besar Asia dan sebagian kecil Eropa, terjadi pandemi wabah penyakit pes yang disebabkan oleh kuman Yersinia Pestis. Yang menyebabkan wabah ini meluas adalah jejaring inter-komunikasi pada zaman itu yang lazim dilakukan oleh kurir berkuda dari orang-orang Mongol. Kurir mongol rutin berkuda dengan kecepatan tinggi sejauh ratusan kilometer tiap harinya. Kutu yang terinfeksi terbawa oleh penumpang atau kurir yang dapat berpindah hingga ribuan kilometer. Sebagai gambaran saja kurir berkuda saat itu seringkali melakukan perjalanan dari ujung kaki pegunungan Himalaya hingga hutan Siberia.

 

Dengan cara demikian, kutu terinfeksi yang terbawa dari Himalaya sampai ke hutan utara bertemu banyak hewan pengerat, calon inang, yang belum pernah bertemu parasit yang dibawanya. Penyakit berubah menjadi ganas, sebagaimana penyakit bila menemukan inang baru. Keganasan itu berpindah dari sesama hewan pengerat ke tubuh manusia yang sengaja lewat. Kemudian penyakit itu mengalir ke Barat melalui sepanjang jalur sutera. Menginfeksi Eropa hingga menewaskan sepertiga penduduk Eropa saat itu atau sekitar 75 juta jiwa!. Dengan keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu yang dimiliki dunia, peristiwa wabah itu terjadi selama beberapa dasawarsa. Sejarah mencatat peristiwa itu dengan sebutan “Black Death” atau Wabah Hitam.

 

Pada rentang waktu itu, Eropa dan gereja sebenarnya baru selesai kalah perang pada putaran ke delapan dari bagian Perang Salib pendek (1095-1270) di Suriah. Pasalnya, beberapa sejarawan meyakini jika Perang Salib sebenarnya lebih panjang bahkan baru benar-benar berakhir pada abad ke-17. Bisa dibayangkan kondisinya, sudah kalah perang kemudian diserang wabah berpuluh tahun.

 

Yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap gereja katolik secara perlahan. Para pendeta berkhotbah meminta pengikutnya untuk banyak berdoa kepada Tuhan tapi tetap saja mati terpapar wabah. Hingga menjelang akhir abad ke-13, perlawanan makin menjadi. Gereja pada waktu itu masih menggunakan bahasa dan huruf latin dalam Al-Kitab, karena dianggap keramat.  Dimulailah pertentangan oleh mereka yang ingin menerjemahkan Al-Kitab kedalam bahasa lokal sehari-hari. Sebabnya, mereka tidak percaya kalau gereja selama ini  tidak membohongi mereka dalam menjelaskan isi Al-Kitab.

 

Apa respon gereja? Mereka menganggap hal tersebut adalah pelanggaran terhadap kesucian ajaran Kristen dan menuduh para pembangkang sebagai kelompok “bid’ah”. Dan mulai menghabisi mereka satu persatu, mereka yang berani menerjemahkan Al-Kitab dibakar hidup-hidup. Sikap gereja tersebut bukannya mendapat simpati tetapi malah lama kelamaan membuat gelombang perlawanan yang makin membesar hingga bertahun-tahun berikutnya. Dari situ kelak akan lahir sebuah sekte Kristen baru yang sampai hari ini kita sebut sebagai Kristen Protestan.

 

Pada tahun 1519, seorang biarawan sekaligus pengajar bernama Martin Luther di Jerman menerbitkan tulisan; “Sembilan Puluh Lima Kritik atas Gereja Roma”. Kritik utama Sang Teolog ini utamanya tentang “surat pengampunan dosa”. Karena saat itu gereja “mengobral” surat pengampunan dosa dengan tujuan komersil. Penyebabnya ada pada sejarah panjang Perang Salib. Surat Martin Luther tersebut seperti percikan api yang membakar mesiu ditengah upaya gereja bersusah payah mempertahankan kredibilitas setelah perang dan wabah. Dan pergerakan protestan terus berlanjut hingga menghasilkan banyak aliran ajaran Kristen serta kerajaan sekuler.

 

Perang saudara berlanjut hingga dua abad dan berakhir dengan Perdamaian Westfalen pada 1648. Perdamaian itu berisi kesepakatan diantara masing-masing penguasa sekuler untuk menentukan versi ajaran Kristen yang mereka akan anut untuk wilayahnya. Dan pada akhirnya, perang saudara di Eropa ini adalah benih suatu kontrak sosial baru yang kelak disebut sebagai; Negara-Bangsa.

 

Konflik gereja tersebut bukan hanya menghasilkan sebuah tatanan sosial baru yang kelak akan muncul dan masih kita gunakan hingga sekarang. Namun juga menghasilkan pergolakan ilmu pengetahuan. Kebangkitan ilmu pengetahuan yang kelak disebut science serta scientist bagi para punggawanya, berawal dari gesekan konflik didalam gereja. Copernicus, menemukan teori Heliosentris, yang meyakini bahwa matahari adalah pusat dari sistem tata surya sehingga bumi yang kita huni juga ikut mengelilinginya adalah orang gereja. Dia mengoreksi teori Geosentris yang dicetuskan Ptolemeus pada abad ke-2 SM. Copernicus memiliki seorang murid yang bernama John Kepler yang juga orang gereja, yang kemudian menyempurnakan teori Heliosentris. Kepler dengan semangat skolastik ala gereja berpikir bahwa ciptaan Tuhan mesti mencerminkan kesempurnaan Tuhan. Dia menyempurnakan ide Heliosentris dengan menambahkan satu asumsi elegan: bahwa jalur planet yang mengelilingi matahari bukan berbentuk lingkaran, tapi berbentuk elips. Dan posisi planet yang mengelilingi matahari dapat dihitung secara presisi melalui matematika.

 

Hingga abad ke-18 filsuf alam yang kelak disebut scientist, terus bermunculan. Dan kemunculannya bukan atas dasar falsafah materialisme. Ada narasi besar baru yang terbentuk di Eropa Barat. Yang pada zaman itu memiliki saingan berat; Narasi Restorasi di peradaban Timur (baca: Dunia Islam). Narasi besar baru tersebut adalah Narasi Kemajuan, yang lahir dari pergolakan panjang gereja katolik yang berkelindan diantara perang dan wabah. Dan narasi tersebut terbukti mengungguli restorasi peradaban Timur yang terus saja mengulang-ulang kehebatan Madinah abad ke-7.

 

Sampai disini kita bisa memahami, seringkali sejarah membentuk pola. Bencana yang pada awalnya begitu mengerikan kemudian membentuk keteraturan yang langgeng. Tak pernah disangka sebelumnya, bangsa Eropa bersama gereja mengalami kesengsaraan bertubi-tubi karena perang yang tak dapat dimenangkan serta wabah yang panjang. Kemudian menimbulkan reaksi alamiah dari dalam berupa ketidakpuasan yang berujung pemberontakan. Dan pergolakan tersebut kelak melahirkan dua  hal penting bagi peradaban, yaitu terciptanya embrio  Negara-Bangsa dan peletak dasar kemajuan Ilmu Pengetahuan.

 

Akankah pandemi Covid-19 kelak akan melahirkan keteraturan baru? Tergantung narasi apa yang muncul dikepala kita; Narasi Kemajuan atau Narasi Restorasi. Narasi Kemajuan berarti kemampuan merumuskan peta jalan ditengah ketidakpastian sistemik yang melanda seluruh dimensi. Sedangkan Narasi Restorasi biasanya adalah perasaan yang belum selesai dalam konteks mewujudkan mimpi masa lalu. Imajinasi baru tentang dunia dimasa depan sangat penting ditengah bencana yang bertubi ini. Justru disaat ini pikiran kita harus sering-sering dialihkan pada bentuk atau model peradaban seperti apa kelak pasca pandemi. Istilah “New Normal” yang tercetus untuk mendefinisikan cara hidup baru bersama pandemi akankah cukup untuk menggambarkan kelanggengan peradaban kedepan? Tentu saja tidak. Karena tema peradaban adalah tema yang sophisticated. Banyak dimensi yang harus diikut sertakan dan semuanya harus memiliki relevansi yang utuh.

 

Namun yang tidak kalah penting juga, kita harus mendalami fenomena sosial, politik dan ekonomi mutakhir. Misalnya apakah melemahnya posisi negara akibat globalisasi disertai dengan krisis ekonomi dan sosial bahkan politik yang menimpa negara-negara di dunia saat ini, mirip dengan pergolakan antara gereja katolik dengan penganut Kristen yang dilanda kecemasan kolektif pasca perang dan wabah? Disertai pula dis-trust terhadap gereja, apakah juga sama dengan fenomena meluasnya dis-trust rakyat terhadap negara sebagai institusi yang diyakini selama beberapa abad terakhir mampu melahirkan keteraturan? Jika iya, maka sejarah sedang mengulang dirinya sendiri.

 

Cuma masalahnya, kemana gerak langkah narasi kemajuan? Kita termasuk bagian dari narasi tersebut atau tidak. Fenomena “Singularitas” layak kita jadikan sebagai sebuah contoh. Singularitas Teknologi misalnya, adalah suatu masa dimana kecerdasan buatan akan melampaui kecerdasan manusia. Kalau sudah kejadian maka peradaban umat manusia akan berubah. Walaupun  fenomena singularitas sulit diprediksi, tapi satu yang pasti upaya kearah sana makin hari makin terlihat mengalami kemajuan. Saya meyakini fenomena singularitas adalah salah satu narasi kemajuan yang sedang terjadi saat ini. Berikut fenomena lain yang telah dan akan mendisrupsi tatanan dunia yang masih eksis. Sebut saja misalnya Digital Economy, Green Energy, Block Chain dan lain sebagainya.

 

Dan narasi kemajuan tak meminta kita untuk selalu mempercayainya. Banyak diantara kita yang masih mengganggap beberapa fenomena baru yang muncul sebagai konspirasi pihak-pihak yang ingin menguasai dunia. Dan sekali lagi, sejarah mengulang dirinya sendiri. Pada suatu hari ditahun 1307, Raja Perancis Philippe IV memutuskan menghapus utangnya dengan cara menangkap dan menghabisi Kesatria Templar. Kesatria Templar adalah ordo yang dibentuk tahun 1119 setelah Perang Salib I tahun 1096. Tugas awalnya adalah mengawal dan memastikan peziarah yang datang ke Yerussalem  pergi dan pulang dengan selamat. Namun pekerjaan mereka berkembang hingga menjaga harta benda para peziarah Eropa yang notabene sebagian besarnya berupa emas dan perak. Kemudian para Kesatria Templar tersebut melakukan inovasi demi efektifitas dengan cara menyimpan emas dan perak tersebut lalu mereka menerbitkan “surat kredit” sebagai tanda bahwa peziarah sudah mempercayakan harta mereka. Bisnis para Kesatria ini berkembang pesat keseluruh Eropa. Dan praktik itu adalah cikal bakal Bank yang kita kenal hingga sekarang.

 

Kesatria Templar resmi menjadi bankir internasional pertama di dunia. Mereka memberikan pinjaman kepada sebagian besar raja Eropa. Orang menganggap kalau mereka bisa meminjamkan banyak uang, maka mereka mesti punya uang yang amat banyak. Dan salah satu yang menganggap demikian serta memiliki segunung utang kepada Kesatria Templar adalah Raja Philippe IV. Yang menarik adalah cara Raja menghabisi Kesatria Templar, dia menggalang dukungan rakyat seraya menghembuskan isu yang kemudian sangat dipercaya oleh rakyat; bahwa Kesatria Templar adalah ordo yang secara rahasia mengendalikan dunia dan mendalangi segala kehajatan, dari mulai gagal panen hingga wabah penyakit yang melanda Perancis di era penuh bencana itu.

 

Setelah Kesatria Templar dihabisi, beberapa diantaranya dibakar hidup-hidup ditengah ratusan pasang mata. Anak buah Raja menggeledah rumah-rumah dan kantor-kantor para Kesatria Templar, mereka tak menemukan banyak emas. Yang mereka temukan hanya buku catatan yang berisi angka-angka. Sementara itu, gagal panen hingga penyakit yang membuat rakyat Perancis sengsara tetap berlanjut, walaupun Kesatria Templar sudah tidak ada. Apa yang kemudian ada didalam benak masyarakat waktu itu? Mereka terbelah dua. Ada yang berpikir bahwa Raja Philippe IV yang juga didukung Paus saat itu telah berbohong. Namun tak sedikit yang berpandangan bahwa Kesatria Templar masih bertahan dan masih mengendalikan dunia dari tempat yang amat rahasia. Dan sampai hari ini cara berpikir yang terakhir masih bertahan  hingga hari ini, sering kita sebut sebagai Teori Konspirasi.

 

Pada akhirnya ketika rakyat biasa sibuk memusatkan perhatian pada jejak misterius Kesatria Templar, penggunaan uang makin marak dan Bank-Bank ramai bermunculan hingga sekarang. Pelajaran yang bisa diambil adalah narasi kemajuan akan terus berjalan entah kita percaya atau tidak.(*)